Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Health Promoter

Master of Public Health Universitas Gadjah Mada | Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aurora dan Badai di Kepalanya

9 November 2019   22:04 Diperbarui: 9 November 2019   22:10 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: deviantart.com

Malam sedari tadi telah menyapa.  Sudahkah dia menjawab? Sepertinya untuk membalas sapaan saja ia sudah tak bersemangat.

 "Apa kabarmu hari ini, Aurora?" tanya lampu belajar yang sedang memperhatikannya.

Tetap tak ada sahutan yang diberikan. Tatapan kosong masih terarah jauh ke langit-langit rumah. Semua orang juga tahu, tanya yang tak terjawab seringkali bisa jadi pertanda luka yang sedang menetap.

Ada banyak sakit yang sedang menempel di angan Aurora hari ini. Mungkin saja karena sedang terjadi pergantian musim di pikirannya. Hari-hari panas telah berganti dengan dinginnya hujan akhir tahun. Sialnya, angin kencang menjadi awalan yang kurang menyenangkan bagi suasana di isi kepala Aurora.

"Hujan adalah teman baikku, tapi mengapa hari ini dia menggandeng badai? Mungkin dia sengaja ingin membuatku cemburu." batin Aurora melihat hujan sedang bersenda gurau bersama badai dalam logikanya. Badai memang selalu jadi momok bagi setiap umat tak terkecuali bagi Aurora.

Mata coba ditutupnya. Mungkin saja dengan berhenti melihat ke atas, semua luka di angan akan terlepas. Namun tetap saja bukan itu solusinya, karena perkara sebenarnya adalah badai yang belum berhenti di pikirannya. Bagaimana memberhentikan badai? Kan tak ada manusia yang bisa menyuruh angin berhenti saat ia sedang semangat meniup?

Saat isi pikiran sedang porak-poranda oleh hujan dan badai, hati sedang nyaman dipeluk ragu. Semua sahabat seolah telah berkhianat. Terang saja, pikiran dan hati selalu jadi ruang terbaik untuknya menghabiskan waktu gembiranya, tapi hari ini kedua ruang tersebut penuh oleh ketidakkaruan.

"Aurora? Tidak bisa tidur lagi malam ini?" bisik lembut sejenak mengalihkan perhatian Aurora dari badai di otaknya. Sang ibu sudah hafal anaknya. Apalagi sepulang sekolah tadi, Aurora tidak seriang biasanya.

"Ia mama, ada badai di pikiranku hari ini. " Aurora berkata lemas. Jika wajah riang berpaling, Aurora selalu butuh seseorang untuk menemaninya melawan sepi dan mamanya akan selalu jadi orang yang tepat.

"Bukankah badai juga selalu menerpa pikiranmu, mama? Mengapa kau tak pernah takut?" Lanjut Aurora dengan tanya pada sang mama.

"Badai? Yah, mama juga merasa takut. Tapi meskipun kita takut terhadap badai, kita harus tahu bahwa badai pasti akan berakhir. Jadi tugas kita adalah menunggu badai tersebut berakhir." Jawab sang mama sambil mengusap kepala Aurora yang sedang bergejolak.

"Lalu, bagaimana jika badai itu datang lagi?"

"Yah, tunggu lagi sampai badainya berakhir. Nah, jika kamu takut, kamu bisa bercerita pada mama sambil menunggu waktu badai tersebut berhenti."

Dialog tentang badaipun berakhir saat Aurora terlelap dalam tidurnya.

***

"Selamat pagi, mama."

"Selamat pagi, nak." Jawab sang mama sambil memberikan sepotong mimpi manis kesukaan Aurora untuk disantap, sebelum ia pergi ke sekolah.

"Ma, tadi aku melihat pelangi yang indah sekali di pikiranku."  Mendengar hal tersebut, sang mama hanya tersenyum.

"Apakah badai selalu meninggalkan pelangi?" tanya Aurora penasaran.

"Ia nak, begitulah badai. Meskipun ia memang menyeramkan, namun ia selalu meninggalkan pelangi yang indah." Jawab sang mama.

"Kalau begitu, setiap ia kembali, aku tidak akan takut lagi. Aku hanya akan berdiam diri untuk menunggunya berhenti dan memberikanku pelangi untuk kunikmati." Aurora berkata dengan penuh semangat.

Kupang, 9 November 2019

HAD

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun