"Selamat siang." Baru saja aku pulang dari menyirami beberapa tanaman di kebun.
"Siang kakak. Kenapa mukanya begitu?" Tanya mama saat melihat wajahku nampak sangat kusut. Ia memang paling bisa membaca isi hatiku.
Aku adalah anak sulung dari 2 bersaudara, sehingga mama selalu memanggilku dengan sebutan kakak. Dan entah mengapa, aku sangat nyaman ketika ia memanggilku demikian. Mungkin saja karena aku merasa dewasa saat dipanggil dengan sebutan kakak.
Tanya dari mama kubalas saja dengan pembisuan. Aku lalu meninggalkannya yang sedang menenun dengan serunya di samping rumah. Tubuhku terasa letih sekali hari ini. Bukan hanya lelah fisik, hatiku juga cukup lelah. Yah, lelah dengan hidup yang kujalani ini.
Mengapa aku lahir di keluarga miskin ini? Ah, aku harusnya tak menanyakan hal tersebut. Aku memang sangat tidak pandai bersyukur!
"Kakak, sini tolong bantu mama ambilkan lumpur di sawah". Baru saja aku ingin meregangkan badan yang lemas ini, sudah harus ku pergi lagi mengambil lumpur. Terang saja, lumpur tersebut hendak digunakan oleh mama untuk mewarnai benang tenunannya.
Mamaku memang sangat gemar menenun. Namun, tidak biasanya ia kelihatan sangat bersemangat melakukan hobinya ini. Sudah beberapa hari ini kuperhatikan bahwa ia tak pernah melepas benang dan alat tenunannya tersebut.
Lumpur yang sudah kubawa dari sawah lansung saja ku tuangkan ke dalam lubang kecil yang telah tersedia di samping rumah. Beberapa benang yang baru saja direndam dalam sebuah periuk besar yang mendidih, lansung saja kuambil.
Nampak banyak sekali kulit kayu dan beberapa jenis daun dalam periuk mendidih tersebut. Benang yang kuambil lalu kumasukan dan lansung ku campur dengan adonan lumpur sawah dalam lubang. Benang tersebut lalu berubah menjadi hitam pekat.
Sambil mencampuri benang dan lumpur dalam lubang, terus kuperhatikan wajah mama yang terlihat sangat cerah.
"Mama, kenapa mama semangat sekali tenun? Saya lihat mama beberapa hari ini seperti tidak rasa capek saat tenun." Tanyaku dengan nada penasaran.
"Sudah, kakak kerja saja." Jawabnya singkat dengan bibir yang tersenyum tipis.
Sebenarnya, aku tidak terlalu suka mengerjakan hal-hal berbau tenun. Aku memang sudah diajarkan cara menenun oleh mama. Akupun telah menguasainya. Namun, bagiku menenun merupakan hal yang sangat rumit dan butuh kesabaran. Sedang aku, aku tidak pandai dalam bersabar.
"Kakak kalau kerja mukanya jangan masam begitu, nanti hasilnya tidak baik." Tegur mama karena melihat tatapanku yang kosong dan ekspresi wajahku yang cemberut.
"Mama tidak capek? Proses tenun sangat panjang dan susah, tapi mama tidak bosan juga." Tanyaku lagi dengan nada penasaran.
"Yah, karena mama suka. Asal kakak tahu, meski menenun ini prosesnya panjang, namun hasilnya akan sangat bagus dan punya harga yang mahal. Begitu juga dengan kita punya hidup. Semua proses yang panjang, usaha yang keras dan kesabaran pasti akan beri kita hasil yang baik." Jawab mamaku yang bijak ini.
"Kalau kakak capek, istirahat dulu. Mama lihat kakak punya muka sangat pucat." Seru mama menyadari keletihanku. Ah, terima kasih mama terbaik di dunia. Aku sangat mencintaimu. Aku lalu beristirahat dan memulihkan fisik dan hati yang sedang lelah ini.
***
"Hallo selamat siang". "Selamat siang". "Mama Tarochi ada kah?" terlihat seorang wanita mengetuk pintu dan lansung ku sambut. Aku lalu mempersilahkannya untuk duduk.
Baru saja hendak kupanggil, mama lansung muncul dari belakang dengan membawa beberapa set hasil tenunan yang ia kerjakan dengan semangat beberapa bulan ini.
"Wah, indah sekali. Saya suka sekali dengan motif dan warnanya." Seru wanita tersebut memuji hasil tenunan mama. Sambil mama dan wanita tersebut berbincang, aku minta diri ke belakang untuk membuat minuman.
Baru saja hendak ku antarkan minuman ke depan, terlihat wanita tersebut sudah berpamitan. Minuman tersebut lantas jadi mubasir.
"Kakak? Kakak? Mari sini." Mama memanggilku dengan terburu-buru. Dengan cepat lansung kudapati mama di depan rumah.
Baru saja aku muncul, mama lansung memelukku dengan erat. Kulihat air matanya membasahi pipi. Ada apa gerangan? Apakah wanita tadi melakukan hal yang tidak menyenangkan? Tenunan milik mama juga tidak terlihat lagi.
"Ada apa mama? Mama kenapa?" Tanyaku sambil mengusap pundak mama.
"Lia, ini. Kamu sekarang sudah bisa daftar kuliah. Terima kasih Tuhan." Mama menunjukan uang yang sedang ia pegang. Barulah ku tahu bahwa wanita yang bertamu tadi adalah pemesan tenun dari mama.
Tak ada satupun kata yang terucap. Air mataku juga ikut menetes. Doaku setiap malam akhirnya terjawab. Masih kuingat bahwa saban hari, aku masih menyalahkan keadaanku sebagai anak petani miskin. Aku bahkan merasa iri hati dengan teman-temanku yang sudah berkuliah.
Beberapa waktu lalu aku hendak mengubur mimpiku untuk berkuliah. Bapakku sedang sakit, sedang kondisi ekonomi tidak memungkinkan. Namun, Tuhan memang sayang padaku. Benarlah,Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi yang selalu berharap padanya.
"Kakak Lia, Kenapa kamu diam?" Mama kembali menyadarkanku dari lamunanku. Yah, ini bukan mimpi. Aku bisa melanjutkan pendidikan yang kuimpikan. Terima kasih mamaku.
***
"Selamat yah Ibu Lia, semua busananya sangat indah. Tenunan dari NTT memang sangat bagus." Ucap salah satu kenalanku yang hadir dalam pameran busana yang sedang kuadakan. Kata-katanya menyadarkanku dari lamunan saat aku melihat para model berjalan dipanggung dan memamerkan semua busana yang ku buat sendiri.
"Terima kasih." Balasku tersenyum. Pameran busana yang kuimpikan semenjak mulai berkuliah akhirnya menjadi kenyataan. Hal pertama yang kuingat saat ini adalah mama.
"Semua proses yang panjang, usaha yang keras dan kesabaran pasti akan beri kita hasil yang baik." Kalimat dari mama tersebut selalu menjadi pegangan hidupku hingga sekarang. Terima kasih mamaku sayang. Aku sangat mencintaimu. Apakah kau melihatku dari atas sana?
Kupang, 12 Juli 2019
Harry Andrean Dethan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H