Sebagai pengguna sarung kelas berat saya mengalami kendala berat menulis tentang kreasi outfit pake sarung, topik Kompasiana hari ini.
Saya termasuk kaum tua, sarung ya sarung, dari tidur sampai tidur lagi porsi memakai sarungnya banyak, berjam-jam. Tidur 7-8 jam makai sarung, bangun subuh sampai kerja, makai sarung. Pulang kerja, istirahat siang, biasanya tidur siang, makai sarung juga. Pulang kerja, kalo tidak ada acara di luar ya pakai sarung. Tidur, sarung lagi.
Memakai sarung, kalo untuk aktivitas di rumah tidak ada urusan dengan keindahan atau kreatifitas tampilan. Tampil apa adanya, dan sederhana.Â
Namun bila harus keluar, ke mesjid atau hari raya, terpaksa mematut-matutkan sarung yang di pakai. Tidak semua sarung dalam kondisi fit. Banyak yang cuma bisa dipakai untuk tidur.Â
Tidak mungkin juga menggunakan sarung yang cedera, berlubang atau kotor. Atau sarung yang sudah dipakai berhari hari. Meskipun hanya dipakai shalat fardhu di rumah.
Saya punya sarung yang memang untuk di rumah dan yang agak bagus dipakai untuk keluar. Jumlah sarung lebih banyak daripada jumlah celana panjang. Saya cuma punya 2 jeans, 2 celana panjang gunung dan beberapa celana seragam.
Saya tidak pernah menjadikan sarung sebagai outfit menjadi celana panjang, atau menjadikannya pakaian ninja, pakaian ninja dari sarung itu untuk anak kecil, atau maling yang menutupi wajahnya.
Jangan memakai sarung dengan baju gamis, sarung akan ketelan panjangnya gamis, sesimpel itu.
Bagi penggemar berat sarung, memakai sarung dengan celana dalam seperti mengekang kebebasan bersarung. Rasanya tidak plong. Namun bila kita masih satu kamar dengan anak karena keterbatasan luas rumah dan jumlah kamar, sebaiknya pakai celana dalam.
Saya kemana-mana perjalanan selalu membawa sarung. Ketika pengen shalat kita tinggal tarik sarung dari tas, lebih terjamin kebersihannya daripada pakaian yang kita pakai ketika perjalanan.
Bahkan, kami sekeluarga pernah punya pengalaman ketika menyaksikan tabrakan di jalan Muara Teweh-Palangka Raya. Dua orang pengendara motor meninggal sekaligus. Kami kemudian menutup mayat korban dengan sarung kami.Â
Lebih baik daripada membiarkannya terbuka sering ada orang nir-empati yang memotret dan menyebarkannya di media sosial. Menutup korban kecelakaan dengan sarung juga lebih baik daripada dengan kertas koran, koran semakin sulit sekarang ditemukan.
Di masyarakat terutama warga Nahdatul Ulama (NU) ada kebiasaan memberikan semacam souvenir peringatan 100 hari kematian. Bagi saya, sarung adalah souvenir yang paling bermanfaat.
Kreatifitas sarung bagi saya paling-paling kombinasi antara warna sarung dengan outfit lain. Saya menyukai baju koko putih daripada warna lainnya bukan hanya kerena sunahnya tapi baju koko putih bisa dipadankan dengan warna sarung apapun.
Untuk alasan kepraktisan, bila memakai sarung, saya menyukai baju koko lengan pendek yang ada kantongnya. Ketika berwudhu tidak perlu melipat, ketika shalat saya bisa menyimpan hape dan kacamata. Sarung kan tidak ada kantongnya.
Untuk acara lebih formal, saya memandankan koko lengan panjang dengan sarung. Meskipun sarung bisa dipandankan dengan baju batik, tapi saya tidak pernah memadukannya karena tidak ada sarung batik, meskipun baju batik ada.Â
Kesimpulan saya baju koko putih dengan lengan pendek atau panjang adalah outfit terbaik untuk menemani sarung-sarung yang saya miliki. Mungkin juga memang hanya sampai disitu kemampuan/kreatifitas saya dalam dunia outfit persarungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H