Bahkan, kami sekeluarga pernah punya pengalaman ketika menyaksikan tabrakan di jalan Muara Teweh-Palangka Raya. Dua orang pengendara motor meninggal sekaligus. Kami kemudian menutup mayat korban dengan sarung kami.Â
Lebih baik daripada membiarkannya terbuka sering ada orang nir-empati yang memotret dan menyebarkannya di media sosial. Menutup korban kecelakaan dengan sarung juga lebih baik daripada dengan kertas koran, koran semakin sulit sekarang ditemukan.
Di masyarakat terutama warga Nahdatul Ulama (NU) ada kebiasaan memberikan semacam souvenir peringatan 100 hari kematian. Bagi saya, sarung adalah souvenir yang paling bermanfaat.
Kreatifitas sarung bagi saya paling-paling kombinasi antara warna sarung dengan outfit lain. Saya menyukai baju koko putih daripada warna lainnya bukan hanya kerena sunahnya tapi baju koko putih bisa dipadankan dengan warna sarung apapun.
Untuk alasan kepraktisan, bila memakai sarung, saya menyukai baju koko lengan pendek yang ada kantongnya. Ketika berwudhu tidak perlu melipat, ketika shalat saya bisa menyimpan hape dan kacamata. Sarung kan tidak ada kantongnya.
Untuk acara lebih formal, saya memandankan koko lengan panjang dengan sarung. Meskipun sarung bisa dipandankan dengan baju batik, tapi saya tidak pernah memadukannya karena tidak ada sarung batik, meskipun baju batik ada.Â
Kesimpulan saya baju koko putih dengan lengan pendek atau panjang adalah outfit terbaik untuk menemani sarung-sarung yang saya miliki. Mungkin juga memang hanya sampai disitu kemampuan/kreatifitas saya dalam dunia outfit persarungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H