Khusus untuk infrastruktur, masih ada kepala daerah yang ingin membangun Monumen keabadian, (meminjam istilah Mark Manson dalam buku Seni Untuk Bersikap Masa Bodoh), Kepala Daerah ingin dikenang selama mungkin dengan biaya berapapun tanpa kajian akademis yang memadai.
Reformasi birokrasi, dengan dalih tahun-tahun politik, penempatan pejabat diarahkan untuk mendukung keberhasilan keberlanjutan kekuasaan pasca lengser. Bukannya menempatkan pejabat yang kompeten yang akan membuat dinas/instansi menjadi lebih efektif dan efisien menjalankan tugas agar pemerintah daerah mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dinas instansi daerah malah berubah menjadi alat kampanye terselubung dan "mendahului" kepala daerah. Kepala Dinas Berlomba-lomba larut dalam loyalitas, namun juga menjadi yang pertama melompat apabila pilihan yang didukung gagal. Tidak sedikit sumber daya dinas instansi yang teralihkan untuk membayar harga loyalitas tersebut.Â
Tentu tidak semua daerah mengalami kegagapan dalam menghadapi pergantian kepemimpinan. Masih ada kepala daerah menunjukan jiwa kepemimpinannya dan meninggalkan warisan berupa kinerja pemerintahan yang baik tanpa "cawe cawe" dalam pengertian negatif terhadap suksesi yang akan terjadi.
Masih ada kepala daerah yang melakukan hal kebalikan dari sekedar membius masyarakat dengan roti dan sirkus tapi benar benar melakukan pembangunan yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.
Akhirnya, frasa "Roti dan Sirkus" seperti yang dijelaskan di wikipedia, dalam konteks politik, frasa tersebut berarti menghasilkan persetujuan publik, bukan dengan keunggulan dalam pelayanan publik atau kebijakan publik, namun dengan pengalihan perhatian, yaitu dengan memenuhi kebutuhan masyarakat yang paling mendasar dengan menawarkan solusi paliatif : makanan atau hiburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H