PKL yang menggunakan argumen ini biasanya menggunakan tetangganya sebagai tameng atas pelanggarannya. "Saya ikut sebelah pak, mereka maju ke trotoar saya juga", atau "Mereka berjualan di atas parit saya ikut aja".
Intinya mereka menganggap ini pelanggaran berjamaah dan mereka hanya makmum tetangga yang jadi imamnya.
Padahal kasus atau pelanggaran yang dilakukan tetangga bisa jadi beda karena ada banyak aturan yang harus diperhatikan.
Bisa jadi PKL disebelahnya melakukan pelanggaran yang lebih besar atau sebaliknya.
Sering anggota Satpol PP merasa diadu domba dengan tetangganya sendiri padahal mereka saling mengkhianati demi alasan pembenar pelanggaran yang dilakukan.
 3. Kalo tidak di sini dimana?
Pertanyaan seperti ini sangat sering dilontarkan kepada anggota Satpol PP, padahal bukan tugas Satpol PP untuk mencari tempat bagi PKL. Penertiban dilakukan karena PKL melakukan pelanggaran terhadap perda dan perkada, mengganggu ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Jawaban yang dapat diberikan Satpol PP adalah "Bapak dapat berjualan di tempat yang tidak dilarang". Bukan di atas trotoar, di atas parit, di bahu jalan atau tempat lain yang dilarang, berjualan ditempat yang dilarang harus ditertibkan.
 4. Bertameng pembesar
Sering juga PKL pelanggar menggunakan pejabat/aparat sebagai tameng. "Saya cuma bekerja pak, ini punya pejabat anu, atau aparat ini, bapak tahu, kok". Nanti kalo kita tanya kepada pejabat yang bersangkutan paling beliau tidak mengaku dan menyalahkan yang menjalankan kenapa melanggar.
Bisa jadi pejabat atau aparat yang punya usaha PKL (biasanya waralaba) juga tidak paham aturan atau sudah mengintruksikan sesuai aturan tapi tidak dilaksanakan oleh karyawannya di lapangan.