Dengan Tajuk "Indonesia Bebas Lokalisasi Tahun 2019" Pemerintah menutup semua lokalisasi dengan harapan akan menghilangkan prostitusi di Indonesia.
Pemerintah pusat melibatkan pemerintah daerah melaksanakan kebijakan tersebut. Pemerintah daerah kemudian berbondong bondong membuat peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah sebagai alat utama penutupan lokalisasi yang memang tersebur di banyak daerah di Indonesia.
Di Kabupaten Barito Utara, penutupan lokalisasi prostitusi dilakukan dengan Peraturan Bupati Nomor 31 tahun 2018 Jo. Perbup 28 tahun 2019 tentang Penutupan Lokalisasi Prostitusi di Lembah Durian Km. 3,5 Jalan Negara Muara Teweh- Puruk Cahu Kel. Melayu, Kec.Teweh Tengah Kab. Barito Utara.
Meskipun ada beberapa pihak, lembaga swadaya masyarakat termasuk dari Komnas HAM kontra terhadap kebijakan penutupan lokalisasi dan menginginkan agar kebijakan ditinjau ulang namun tekad pemerintah sudah bulat dan ratusan lokalisasi tetap ditutup.
Beberapa argumen penolakan atas penutupan lokalisasi yang dilontarkan saat itu misalnya: Pertama, penutupan lokalisasi tidak menghilangkan prostitusi, Pekerja seks akan buka praktek sendiri. Bahkan lokalisasi skala kecil akan bermunculan dan tersebar tanpa kendali atau pengawasan.
Penyakit HIV atau penyakit kelamin menular lainnya akan sulit dikontrol dan ditanggulangi. Pekerja seks akan tersebar di jalan dan hotel tanpa mendapatkan pelayanan kesehatan yang biasa didapatkan di lokalisasi.
Ketiga, meningkatnya kriminalitas atau kekerasan kepada pekerja seks oleh pelanggan/klien karena transaksi dilakukan sembunyi sembunyi dan ilegal.
Ketiga argumentasi penolakan tersebut nampaknya menjadi kenyataan. Praktek prostitusi tetap terjadi bahkan berkembang dengan online, penyakit HIV juga tidak terkontrol lagi (meskipun redup oleh pandemi covid), dan kriminalitas kepada pekerja seks masih terjadi.
Pada tanggal 18 Februari 2020 Pemerintah Kab.Barito Utara bersama DPRD Kab. Barito Utara mensahkan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2020 tentang Penanggulangan Prostitusi dan Perbuatan Asusila.
Berdasarkan Pasal 3 Perda tersebut bertujuan untuk memelihara tatanan masyarakat, menjaga harkat dan martabat manusia, dasar dan pedoman penanggulangan prostitusi dan perbuatan asusila, mencegah berkembangnya prostitusi dan perbuatan asusila, serta mencegah penyakit menular dan HIV AIDS.
Sayangnya kewajiban pemerintah pada Perda ini kurang lengkap karena tidak adanya upaya membantu pekerja seks untuk mendapatkan pekerjaan yang layak atau keahlian yang bisa meningkatkan pendapatan pekerja seks. Padahal masalah ekonomi masih menjadi faktor utama prostitusi.
Masih menurut Perda 1 tahun 2020, setiap orang yang melanggar larangan sesuai ketentuan pasal 10, dapat dikenai sanksi administratif. Selain itu pelaku prostitusi diancam pidana paling lama kurungan 6 bulan atau denda paling banyak 50 juta rupiah.
Pengenaan pidana pada perda bagi pelaku prostitusi menempatkan perda lebih kuat daripada KUHP yang hanya bisa mempidana pihak yang menfasilitasi prostitusi dan pelaku perselingkuhan itupun dengan delik aduan.
Secara tidak langsung Perda 1 tahun 2020 tentang Penanggulangan Prostitusi dan Perbuatan Asusila tersebut adalah salah satu usaha untuk menanggulangi dampak dari kebijakan penutupan lokalisasi prostitusi.
Kegagalan dalam penerapan Perda akan mengakibatkan dampak negatif yang lebih besar daripada lokalisasi tidak ditutup. Semoga aparat pemerintah diberikan kemampuan untuk menerapkannya dengan konsisten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H