Mohon tunggu...
Harry Darmawan Hamdie
Harry Darmawan Hamdie Mohon Tunggu... Relawan - PNS pada Satuan Polisi Pamong Praja Kab. Barito Utara, Inisiator Beras Berkah Muara Teweh Kalteng.

PNS pada Satuan Polisi Pamong Praja di Kab. Barito Utara Kalimantan Tengah. Inisiator Komunitas Beras Berkah di Muara Teweh Kalteng dan Ketua Yayasan Beras Berkah Muara Teweh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Laporan Pandangan Mata Tentang Kemiskinan

16 Desember 2022   16:29 Diperbarui: 29 Desember 2022   18:20 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau ada statement pertumbuhan ekonomi kita tinggi, saya seperti kehilangan obyektifitas, karena sehari-hari menyaksikan dengan kepala dan mata sendiri keadaan ekonomi masyarakat yang terseok-seok dengan kemiskinan yang ekstrem. Pertumbuhan ekonomi hanya fatamorgana bagi mereka yang diselimuti keadaan yang miskin dan papa.

Awalnya saya pikir kemiskinan itu timbul karena Covid-19. Namun setelah dipikir lebih dalam dan wabah itu berlalu ternyata tampaknya masalah tidak sesimpel itu, Ferguso.

Salah satu penyebab kemiskinan ekstrem itu adalah masyarakat yang mengalami gangguan jiwa, stres dan disabilitas. Tidak punya akses terhadap pekerjaan bahkan pengobatan yang layak. Sedikit sekali orang yang dikenal "stres" diberi pekerjaan, bahkan untuk pekerjaan informal sekalipun.

Penyebab lainnya adalah banyak orangtua yang tidak memiliki jaminan hari tua. Mengharapkan anak, anak pun hidupnya tidak baik-baik saja. Pekerjaan yang tidak layak yang harus dijalani ketika muda membuat mereka tidak mampu membayar biaya sekolah anak untuk mendapat pendidikan layak.

Minimnya pendidikan menyebabkan sulitnya anak mendapatkan pekerjaan yang baik. Akhirnya masih kami temui orangtua yang masih nestapa dalam kemiskinan dengan anak yang kerja serabutan bahkan menganggur dirumah.

Kurangnya kemampuan bekerja, tidak memiliki skill apapun untuk berkarya. Pekerjaan sebagai buruh penyadap karet, misalnya, harus terus dilakoni meskipun harga karet ambruk. Padahal banyak masyarakat yang masih mengandalkan hidupnya dari ladang itu.

Buruh penyadap karet tidak mengenal usia, beberapa lansia pun harus berjibaku di hutan menyadap karet demi sepiring nasi, ditambah garam.

Sementara bagi anak muda yang punya kekuatan fisik mencoba peruntungannya menjadi buruh kelapa sawit, sayangnya sering kurang beruntung.

Keluarga miskin dengan anak yang banyak juga perlu mendapat perhatian. Mereka yang morat-marit dengan 4 atau 5 orang anak di tengah kecamuk inflasi mengalami dampak langsung yang sangat mengerikan.

Sementara bantuan tunai sangat terbatas dengan proses pendataan yang berjalan lambat dan pencairan berbulan-bulan. Itu pun kalau mereka dapat.

Ketidakberdayaan ekonomi menyebabkan anak anak tidak bersekolah. Sekolah saya anggap masih jalan terbaik meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sekolah mampu menambah kecakapan mereka untuk bertahan hidup dan mencari nafkah.

Putus sekolah tampaknya tidak mungkin ditengah gencarnya kampanye wajib belajar 9 tahun tanpa SPP. Semua kebutuhan sekolah sudah dibayarkan oleh dana BOS. Kenyataannya, toh ternyata masih ada anak yang putus sekolah karena orang tak mampu membeli baju seragam atau memberi uang jajan.

Kadang bagi mereka yang miskin, anak dipaksa diajak mencari uang atau mengemis untuk menambah rasa iba orang. Mengenyampingkan sekolah, serta memasuki lingkaran setan kemiskinan.

Menimpakan kesalahan kepada mereka yang miskin memang menjadi alasan pembenar paling mudah bagi pemerintah. Kan sudah diberikan dana subsidi, BLT, dan subsidi lain. Saya yakin di dalam hati mereka yang membagi pun tahu bahwa jumlah yang dibagi itu pastinya kurang menopang kehidupan mereka dengan layak.

Kebijakan penanggulangan kemiskinan tentu saja tidak cukup hanya dengan bantuan tunai semacam itu. Tanpa maksud jahat, saya kira anggaran penanggulangan kemiskinan jauh lebih kecil daripada anggaran infrastruktur.

Apalagi banyak infrastruktur yang dibuat untuk memanjakan orang yang tidak miskin. Infrastruktur yang barangkali mengejar angka pertumbuhan ekonomi tapi kurang memperhatikan kesenjangan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun