Sebuah proyek pembangunan kantor bertingkat terpaksa terhambat dan terhenti pengerjaannya. Para pekerja bangunan tak ada yang masuk, beberapa dari meeka pulang ke kampung masing-masing. Hanya ada beberapa kendaraan berat yang masih terparkir disana. Para mandor pun sudah beberapa hari ini tak ada di lokasi semenjak proyek ini di tunda sementara waktu.
 Semua itu terjadi akibat salah satu kepala keluarga menolak menjual rumah dan tanahnya kepada pihak perusahaan yang akan memulai pembangunan. Semua rumah telah rata dengan tanah, para pemiliknya telah menjualnya kepada perusahaan yang memerlukan lahan. Mereka dibayar dengan harga yang sangat tinggi, yang uangnya dapat untk membangun rumah lebih besar dan tanah yang luas. Kecuali satu, Pak Dedi yang sampai saat ini belum mau menjual rumah dan tanahnya. Bahkan pihak perusahaan sudah menawarkan harga yang lebih tinggi dari rumah lainnya, tapi Pak Dedi dengan tegas menolak.
 Selama beberapa bulan terakhir Pak Dedi hidup seorang diri. Para tetangganya sudah lama meninggalkan wilayah itu. Hanya ada rumah Pak Dedi sendiri, di tengah lapangan tanah merah yang luas dan siap untuk dibangun bangunan bertingkat. Sedangkan anak dan istrinya sudah maninggalkannya beberapa minggu lalu, mereka memilih pulang ke Wonosobo daripada harus mengikuti keinginan Pak Dedi yang bertahan di tengah lahan tanah merah yang luas ini seorang diri, tanpa tetangga. Beberapa warga kampung sebelah memuji dan mendukung sikap tegas Pak Dedi, namun sebagian lainnya mengecap Pak Dedi egois. Namun Pak Dedi tetap teguh bersama prinsipnya. Tak jarang beberapa kali, ada warga yang datang dan memberikannya makanan secara cuma-cuma.
 Setiap kali ada pihak perusahaan yang bermaksud melakukan negosiasi dengan Pak Dedi, Pak Dedi langsung mengusirnya bahkan mengancamnya akan melempar dengan gelas. Menariknya, ada satu kalimat yang selalu keluar dari mulutnya. "Anak sulungku akan pulang dari Hong Kong, saat dia datang aku akan mewarisi rumah ini kepada dia." Begitu ucapannya.
 Pak Dedi masih memiliki anak yang bekerja di sebagai TKW di Hong Kong. Pak Dedi berharap kepada anak pertamanya ini, dialah yang dianggap sebagai penyelamatnya. Yang kelak akan membelanya mempertahankan rumah yang susah payah ia bangun bersama almarhum ayahnya berpuluh-puluh tahun lalu. Pak Dedi selalu duduk di beranda rumahnya, memandangi sebuah padang luas tanah merah sambil berharap anaknya pulang.
 Tiba-tiba Pak Dedi berdiri pada suatu sore karena melihat sebuah mobil yang mengarah ke rah rumahnya. Dengan wajah kesal, Pak Dedi mengeluarkan sebuah stik baseball yang lumayan keras. Matanya melotot menatap datangnya mobil itu.
Saat mobil berhenti, dua orang yang memakai atasan kemeja turun dari mobil dengan hati-hati. Melihat Pak Dedi yang sudah siap menghajarnya, kedua orang itu pun terdiam di mobil.
"Bapak, bapak tenang dulu ya. Kami kesini mau silaturahmi." Kata Orang itu yang bicara dengan hati-hati.
"Iya pak, tenang dulu pak. Kami bawa makanan lho ini. Bakso kesukaan bapak, yang di depan terminal." Ucap orang lainnya.
"Kok kalian tahu saya suka Bakso terminal?" Tanya Pak Dedi.
Kedua orang itu pun perlahan berjalan sedikit demi sedikit mendekat ke arah Pak Dedi. "Iya Pak saya kan tahu dari-" Belum sampai menyelesaikan kalimatnya, Pak Dedi lebih dulu memotong omongannya.
"Jangan coba-coba mendekat. Jangan coba-coba sogok saya, berapapun kalian bayar saya tidak akan jual rumah ini! Sampai matipun tak akan saya jual!" Bentak Pak Dedi sambil menodongkan stik baseball ke arah mereka berdua.
 Dari kejauhan datang sepeda motor yang membawa seorang penumpang perempuan menuju ke arah rumah Pak Dedi. Perempuan itu adalah Risa anak sulung Pak Dedi yang baru pulang dari Hong Kong. Pak Dedi senang bukan main melihatnya, wajahnya yang semula kesal berubah menjadi senang gembira.
"Itu anak saya! Dia akan membela rumah ini, pergi kalian! Jangan ganggu aku dan anakku! Pergi!" Bentak Pak Dedi yang semakin agresif dan mencoba mengejar mereka. Kedua orang perusahaan itu ketakutan masuk ke mobil kemudian pergi meinggalkan rumah itu.
 Motor itu berhenti di depan rumah Pak Dedi, Risa turun kemudian menghampiri bapaknya yang sudah lama ia tak jumpa. Setelah mencium tangan bapaknya, Risa juga memeluknya. Setelah sama-sama melepas rindu mereka duduk dan berbincang di beranda rumah.
"Mereka itu mau menggusur rumah kita Risa, untung ada kamu. Cuma kamu yang bisa mengerti bapak Risa, kamu adalah anak bapak yang paling bisa diandalkan." Kata Pak Dedi sambil tersenyum penuh harap kepada Risa.
"Risa paham pak, Ibu sudah cerita semuanya ke Risa. Lewat telepon." Balas Risa.
"Ibumu? Bagaimana keadaan dia? Sehat?" Tanya Pak Dedi.
"Alhamdulillah pak, sehat." Jawab Risa sambil tersenyum. "Sudah lama kita tidak makan malam bareng pak, Risa bawa makanan nih." Kata Risa mengajak Bapaknya itu makan.
Mereka pun makan bersama malam itu. Sebuah momen yang sudah lama tak dirasakan Pak Dedi selama ini. Akhirnya, ia bisa kembali makan bersama keluarganya setelah berbulan-bulan hidup seorang diri. Ada perasaan haru dan sedih dalam dirinya, namun Pak Dedi tetap berusaha tersenyum di momen yang membahagiakan itu. Tak ingin sekalipun ia tunjukkan sisi lemahnya di depan anak perempuannya itu.
"Pak... Bapak tidak kangen Ibu dan Rio?" Tanya Risa.
"Kalau dibilang kangen, pasti kangen. Tapi bapak harus disini, mempertahankan istana kita Risa." Jawab Pak Dedi.
"Pak, Ibu bilang ada tanah murah di Wonosobo. Disana udaranya sejuk, asri. Sepertinya enak kalau Risa tinggal disana. Sama Bapak juga." Ucap Risa sambil tersenyum. Mendengar ucapan anaknya itu, Pak Dedi berhenti makan kemudian menatap serius anaknya itu.
"Apa maksudmu...?" Tanya Pak Dedi.
"Ya... kita bisa tenang kalau tinggal disana." Jawab Risa.
"Cukup!" Kata Pak Dedi yang kemudian meminum segelas air dan bersandar di kursi sambil menghela nafas panjang.Â
"Bapak tahu maksudmu." Lanjut Pak Dedi.
"Pak dengar Risa dulu, Bapak tidak bisa terus menerus-"
"Cukup, Cukup. Cukup!" Bentak Pak Dedi yang membuat Risa terdiam. "Berapa harga yang mereka tawarkan kepadamu?" Tanya Pak Dedi.
"Bapak, semua ini supaya kita bisa berkumpul lagi." Ucap Risa dengan nada pelan.
 Pak Dedi memukul meja dengan sangat keras. Suara piring dan gelas terdengar beradu. Matanya menunjukkan perasaan kecewa dan nafasnya terasa tersengal-sengal menahan emosi.
"Jadi kamu datang kesini bukan untuk membantu bapak mempertahankan rumah kita, tapi untuk membujuk bapak." Ucap Pak Dedi dengan nada pelan tanpa memandang wajah anaknya yang sudah enggan ia lihat lagi.
"Bapak, bukan begitu..."
Pak Dedi berdiri, sambil menahan emosinya ia berjalan kesana kemari. Sampai puncaknya ia menendang kursi hingga jatuh.
"Kamu tahu? Dulu kakek mu dan bapak tinggal menumpang di rumah saudara. Sampai perlahan-lahan kami membangun rumah ini. Rumah ini satu-satunya kenangan dan peninggalan kakekmu! Satu-persatu bata merah bapak susun bersama kakekmu, tembok pun jadi. Kemudian bapak goreskan kuas dan mengisi tembok ini dengan warna hijau muda sesuai permintaan nenekmu." Ujar Pak Dedi menceritakan semuanya, sedangkan Risa hanya diam mendengarkan sambil menunduk dan tak mempu menatap wajah bapaknya.
"Disini bapak menghabiskan masa muda dengan kakek dan nenekmu, kenangan itu masih bisa bapak ingat saat melihat ruangan ini. Kemudian bapak menikah dengan ibumu, kita buat acara resepsi di depan rumah ini. Lalu kalian lahir, kakek dan nenek meninggal, rumah ini di wasiatkan ke bapak. Sekarang mau di hancurkan begitu saja bapak tidak terima!" Ucap Pak Dedi membentak.
"Risa, kamu lebih baik pergi saja. Ikut susul saja ibumu di Wonosobo." Ujar Pak Dedi.
"Maaf Pak..." Ucap Risa yang merasa bersalah.
"Risa bisakan kamu tinggal bapak sendiri dulu? Kamu menginap saja di rumah Bu Diah. Dia baik sama keluarga kita. Ayo pergi!" Ujar Pak Dedi.
 Risa pun pamit dengan bapaknya dan kemudian berjalan meninggalkan rumah itu. "Assalamuallaikum, nanti pagi Risa kembali pak." Ucap Risa sebelum meninggalkan bapaknya sendirian. Pak Dedi pun menatap anaknya yang berjalan menjauh di tengah gelapnya malam, saat ia tak bisa lagi melihat Risa, ia segera menutup pintu. Dalam rasa kecewanya itu, ia menatap seisi rumah yang dulu menjadi tempatnya tumbuh dan berkembang bersama almarhum Ibu dan Ayahnya.
"Mungkin benar, aku egois." Kata Pak Dedi sambil tersenyum.
 Pak Dedi mengambil sebuah kartu nama, di kartu itu tertulis nama seorang petugas perusahaan yang hendak membeli rumah dan tanah Pak Dedi. Disana juga ia melihat sebuah nomor telepon untuk menghubunginya. Pak Dedi tersenyum kemudian memandangi ruangan rumah ini untuk terakhir kalinya.
 Keesokan paginya, warga kampung digegerkan oleh peristiwa yang tak pernah di duga sebelumnya. Pukul 05:30, rumah Pak Dedi kebakaran. Api sudah sangat besar melahap rumah Pak Dedi saat warga dan petugas pemadam kebakaran datang sehingga sudah cukup sulit memadamkan apinya. Risa anak Pak Dedi menangis histeris melihat rumah kesayangan Bapaknya ludes terbakar api.
 Asap mengepul dengan sangat pekat dari rumah Pak Dedi, seluruh rumah habis terbakar. Butuh berjam-jam sampai api bisa padam. Para warga dan petugas kebakaran tak menemukan Pak Dedi dimanapun, Pak Dedi menghilang bak ditelan bumi saat kebakaran melanda rumahnya. Seluruh benda-bendanya telah menjadi abu. Tak ada yang bisa diselamatkan.
 Penyebab kebakaran pun belum jelas, akan tetapi warga menemukan sebuah kartu nama yang tergeletak agak jauh dari rumah. Kartu nama itu adalah atas nama perusahaan yang hendak membangun gadung bertingkat. Warga pun beramai-ramai mencurigai perusahaan itu menjadi dalang pembakaran rumah Pak Dedi, namun mereka menolak tuduhan itu. Kasus ini pun berlanjut ke proses hukum, sehingga pembangunan itu tak bisa dilanjutkan untuk waktu yang lama. Sedangkan kemana perginya Pak Dedi yang menghilang misterius masih menjadi pertanyaan para warga kampung dan keluarganya.
Cerpen karya Harry Wijaya
Depok, 28 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H