"Ya... kita bisa tenang kalau tinggal disana." Jawab Risa.
"Cukup!" Kata Pak Dedi yang kemudian meminum segelas air dan bersandar di kursi sambil menghela nafas panjang.Â
"Bapak tahu maksudmu." Lanjut Pak Dedi.
"Pak dengar Risa dulu, Bapak tidak bisa terus menerus-"
"Cukup, Cukup. Cukup!" Bentak Pak Dedi yang membuat Risa terdiam. "Berapa harga yang mereka tawarkan kepadamu?" Tanya Pak Dedi.
"Bapak, semua ini supaya kita bisa berkumpul lagi." Ucap Risa dengan nada pelan.
 Pak Dedi memukul meja dengan sangat keras. Suara piring dan gelas terdengar beradu. Matanya menunjukkan perasaan kecewa dan nafasnya terasa tersengal-sengal menahan emosi.
"Jadi kamu datang kesini bukan untuk membantu bapak mempertahankan rumah kita, tapi untuk membujuk bapak." Ucap Pak Dedi dengan nada pelan tanpa memandang wajah anaknya yang sudah enggan ia lihat lagi.
"Bapak, bukan begitu..."
Pak Dedi berdiri, sambil menahan emosinya ia berjalan kesana kemari. Sampai puncaknya ia menendang kursi hingga jatuh.
"Kamu tahu? Dulu kakek mu dan bapak tinggal menumpang di rumah saudara. Sampai perlahan-lahan kami membangun rumah ini. Rumah ini satu-satunya kenangan dan peninggalan kakekmu! Satu-persatu bata merah bapak susun bersama kakekmu, tembok pun jadi. Kemudian bapak goreskan kuas dan mengisi tembok ini dengan warna hijau muda sesuai permintaan nenekmu." Ujar Pak Dedi menceritakan semuanya, sedangkan Risa hanya diam mendengarkan sambil menunduk dan tak mempu menatap wajah bapaknya.
"Disini bapak menghabiskan masa muda dengan kakek dan nenekmu, kenangan itu masih bisa bapak ingat saat melihat ruangan ini. Kemudian bapak menikah dengan ibumu, kita buat acara resepsi di depan rumah ini. Lalu kalian lahir, kakek dan nenek meninggal, rumah ini di wasiatkan ke bapak. Sekarang mau di hancurkan begitu saja bapak tidak terima!" Ucap Pak Dedi membentak.
"Risa, kamu lebih baik pergi saja. Ikut susul saja ibumu di Wonosobo." Ujar Pak Dedi.