Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sundel Bolong

3 Januari 2020   03:41 Diperbarui: 3 Januari 2020   03:44 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini minumannya." Kata Iwan. Aku pun membuka mata dan melihatnya di sampingku.

"Ngapain kamu bikin minum lagi, tadi istrimu sudah kasih aku minum." Jawabku yang segera mengganti posisi duduk.

"Oh iya, Iwan. Kok istrimu gitu ya? Tadi kaya ngomong aneh gitu." Tanyaku yang segera menghabiskan minuman yang diberikan saras tadi.

Iwan tak menjawab dan hanya melihat gelas minumanku yang habis itu. Wajahnya keheranan dan berkeringat. Aku pun bingung dibuatnya.

"Siapa yang kasih kamu minum?" Tanya Iwan. "Dan juga, aku gak punya istri. Aku tinggal sendiri." Kata Iwan dengan badan bergetar.

"Terus Saras itu siapa?" Tanyaku yang ikut merasa tegang.

  Iwan hanya diam sambil menunjukkan wajah ketakutan. Begitu juga aku yang ketakutan mendengar penjelasan dari Iwan, sesekali kupikir dia hanya bercanda. Tapi kalau dilihat dari raut wajahnya, ia terlihat benar-benar sedang dilanda ketakutan.

"Hahahahahahahahahaha..." Terdengar suara tertawa seorang wanita yang terdengar menyeramkan dari dapur rumah Iwan. Suaranya sangat memekik dan nyaring, aku segera berteriak tak karuan. Ketakutan dan berlari ke dalam sebuah kamar di rumah tersebut. Begitu juga Iwan yang ikut masuk ke dalam kamar kemudian mengunci pintu. Kalau dari suaranya, aku yakin itu suara tawa kuntilanak!

"Wan! Iwan itu apaan?!" Tanyaku yang panik sekaligus ketakutan.

  Iwan tak menjawab dan hanya bersandar di pintu sambil ketakutan. Sedangkan aku duduk di samping sebuah meja. Suara tertawa itu masih terdengar, sangat menakutkan. Iwan tak berani mengatakan apa-apa, sedangkan aku membaca doa-doa yang ku percaya dapat mengusir setan. Ya benar, sudah jelas ada setan jahat yang mengganggu rumah ini. Mata ku sudah berkaca-kaca mau menangis saking takutnya. Tak lama berselang, suara tertawa itu berhenti dan tak lagi terdengar. Namun aku tetap mengucapkan doa-doa itu dengan pelan sambil meringkuk di samping meja kamar Iwan.

  Iwan mengintip dan tak menemukan siapa-siapa diluar kamar. "Gak ada siapa-siapa." Kata Iwan sambil menelan ludah. Dalam hati hanya ada satu keinginanku, aku ingin segera pulang. Daripada harus tidur di rumah angker ini, itupun kalau bisa tidur, kalau tidak bisa yang ada aku menunggu sampai pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun