Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sundel Bolong

3 Januari 2020   03:41 Diperbarui: 3 Januari 2020   03:44 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu aku bernyanyi bersama rekan-rekanku seperti biasa. Meramaikan acara-acara dan memberikan hiburan kepada pengunjung. Ya, aku adalah penyanyi wanita yang biasa dipanggil untuk mengisi suatu acara dari kampung ke kampung. Bersama tim ku, aku bernyanyi dan rekan lainnya akan mengiringiku dengan musik yang mereka mainkan.

Malam ini terasa begitu ramai, kami tak henti-hentinya menerima request dari para penonton dan pengunjung acara hajatan ini. Akan tetapi inilah pekerjaan kami, passion kami. Antusias para pengunjung membuat kami semakin bersemangat. Semua keseruan itu kami rasakan sejak awal bernyanyi hingga tak terasa sudah waktunya acara selesi.

Para penonton sudah agak menjauh dari pangung. Aku turun ke ruang ganti untuk beristirahat. Para rekan-rekan memberikan ucapan terima kasih dan saling bersuka cita atas kelancaran acara malam ini. Salah satunya adalah manager kami, Iwan namanya. Ia adalah manager yang dewasa dan memiliki kepemimpinan yang baik. Terkadang ia membelikan kami minuman apabila acara berlangsung lancar, yang hebatnya lagi ia tak memakai uang kas. Melainkan uang pribadinya sendiri, karena manager kami ini sangat menghargai kekompakan tim ini.

"Isma, hari sudah larut. Mau langsung pulang?" Tanya Iwan yang datang kepada ku dari samping. Aku yang sedang melihat ke arah lain pun langsung menoleh ke arahnya.

"Iya mau langsung pulang.' Jawabku yang kemudian memakai tas.

"Menginaplah di rumahku. Rumahku dekat kok." Ujarnya sambil tersenyum.

"Lho? Jangan lah, gak enak."

"Gak apa-apa. Rumah mu itu jauh banget lho!"

Aku kemudian terpaksa menurut apa yang dikatakan Iwan, entah kenapa aku mudah saja menerima ajakan itu. Padahal aku tak pernah semudah ini saat ada laki-laki yang ingin menawarkanku seperti ini. Dalam kepalaku aku masih mencari-cari alasan yang tepat untuk menolak ajakan ini. Tapi tidak bisa, aku tak menemukan alasan itu.

Akhirnya, dengan menaiki motornya Iwan memboncengku menuju rumahnya. Dalam hati aku berfikir sedikit cemas. Bagaimana kalau dia berniat jahat? Seharusnya aku menolak, tapi tak bisa. Aku sudah berusaha tapi tetap tak bisa. Hingga sampai di rumahnya pun aku tak bisa menolak, seakan ada sesuatu yang memaksaku untuk menuruti perkataannya, secara tak langsung.

"Ayo Isma, duduk dulu." Kata Iwan sambil tersenyum saat kami berdua masuk ke dalam rumah. Aku pun duduk seperti yang ia bilang. "Aku mau simpan barang-barang ini dulu, habis itu bikin minum buat kamu. Tunggu ya." Kata Iwan yang kemudian berjalan ke belakang.

Rumah ini berukuran sedang, sangat cocok untuk sebuah keluarga kecil. Hebatnya Iwan bisa membeli rumah ini di umurnya yang baru menginjak 28 tahun. Aku pun bersantai sejenak di sofanya sambil melihat sekitar. Melihat-lihat bingkai foto di dinding rumahnya itu.

"Ini mbak, minumannya." Kata seorang wanita yang menghampiriku. Wanita itu terlihat seumuran dengan Iwan. Akan tetapi baru kali ini aku bertemu dengannya.

"Terima kasih? Siapanya Iwan ya?" Tanya ku.

Wanita itu kemudian duduk di sampingku, dan berbisik dengan sedikit perasaan was-was. "Aku Saras istrinya Iwan, kami baru menikah diam-diam. Jangan kasih tau siapa-siapa ya. Nanti kalau sudah waktunya, biar Iwan sendiri yang kasih tau orang-orang." Bisik wanita yang mengaku sebagai Saras itu.

Aku hanya mengangguk saat mendengar penjelasan Saras. Dalam hati aku merasa lega saat mengetahui Saras adalah istri Iwan, ternyata Iwan benar-benar tulus mau memberiku tempat menginap tanpa ada maksud lain. Di rumah ini sudah ada istrinya, dia tak akan macam-macam denganku. Saras sendiri adalah wanita ramah yang suka mengobrol aku dan Saras kemudian berbincang-bincang sambil sesekali membicarakan Iwan yang masih sibuk di belakang.

"Iwan itu sadis lho, hati-hati." Kata Saras sambil tersenyum.

Aku yang sedang minum pun hampir tersedak karena ingin tertawa. "Kok sadis mbak?" Tanyaku.

"Soalnya, kalo mainnya udah kebablasan Iwan gak akan tanggung jawab dan gak akan segan-segan juga buat bunuh orang tersebut." Jawab Saras.

"Lho, kok gitu mbak?" Tanya ku yang mendadak bingung.

"Ya gitu deh, yaudah biar lebih enak ngobrolnya. Aku ambilkan kue di dalam ya." Kata Saras yang kemudian berjalan ke belakang menuju Iwan.

Aku kembali bersandar di sofa sambil melihat jam yang menunjukkan pukul 23:00. Sudah larut, kalau bisa ingin rasanya aku segera tidur. Sesekali kupejamkan mata saat berada di sofa empuk dan nyaman ini. Hingga akhirnya Iwan datang dengan secangkir minuman yang ia bawa kemudian duduk di sampingku.

"Ini minumannya." Kata Iwan. Aku pun membuka mata dan melihatnya di sampingku.

"Ngapain kamu bikin minum lagi, tadi istrimu sudah kasih aku minum." Jawabku yang segera mengganti posisi duduk.

"Oh iya, Iwan. Kok istrimu gitu ya? Tadi kaya ngomong aneh gitu." Tanyaku yang segera menghabiskan minuman yang diberikan saras tadi.

Iwan tak menjawab dan hanya melihat gelas minumanku yang habis itu. Wajahnya keheranan dan berkeringat. Aku pun bingung dibuatnya.

"Siapa yang kasih kamu minum?" Tanya Iwan. "Dan juga, aku gak punya istri. Aku tinggal sendiri." Kata Iwan dengan badan bergetar.

"Terus Saras itu siapa?" Tanyaku yang ikut merasa tegang.

  Iwan hanya diam sambil menunjukkan wajah ketakutan. Begitu juga aku yang ketakutan mendengar penjelasan dari Iwan, sesekali kupikir dia hanya bercanda. Tapi kalau dilihat dari raut wajahnya, ia terlihat benar-benar sedang dilanda ketakutan.

"Hahahahahahahahahaha..." Terdengar suara tertawa seorang wanita yang terdengar menyeramkan dari dapur rumah Iwan. Suaranya sangat memekik dan nyaring, aku segera berteriak tak karuan. Ketakutan dan berlari ke dalam sebuah kamar di rumah tersebut. Begitu juga Iwan yang ikut masuk ke dalam kamar kemudian mengunci pintu. Kalau dari suaranya, aku yakin itu suara tawa kuntilanak!

"Wan! Iwan itu apaan?!" Tanyaku yang panik sekaligus ketakutan.

  Iwan tak menjawab dan hanya bersandar di pintu sambil ketakutan. Sedangkan aku duduk di samping sebuah meja. Suara tertawa itu masih terdengar, sangat menakutkan. Iwan tak berani mengatakan apa-apa, sedangkan aku membaca doa-doa yang ku percaya dapat mengusir setan. Ya benar, sudah jelas ada setan jahat yang mengganggu rumah ini. Mata ku sudah berkaca-kaca mau menangis saking takutnya. Tak lama berselang, suara tertawa itu berhenti dan tak lagi terdengar. Namun aku tetap mengucapkan doa-doa itu dengan pelan sambil meringkuk di samping meja kamar Iwan.

  Iwan mengintip dan tak menemukan siapa-siapa diluar kamar. "Gak ada siapa-siapa." Kata Iwan sambil menelan ludah. Dalam hati hanya ada satu keinginanku, aku ingin segera pulang. Daripada harus tidur di rumah angker ini, itupun kalau bisa tidur, kalau tidak bisa yang ada aku menunggu sampai pagi.

"Isma, kamu keluar duluan! Aku jaga kamu dari belakang..." Kata Iwan yang kemudian membuka pintu kamar yang tadi dikunci.

  Dasar pengecut! Bilang saja takut untuk keluar duluan. Aku pun memberanikan diri keluar kamar dengan pelan sambil berharap-harap cemas. Berharap tak melihat apa yang tak ingin ku lihat. Setelah ku pastikan aman, aku meminta Iwan membuka pintu depan agar aku bisa segera pulang. Namun ternyata, Iwan sendiri masih berada di dalam kamar.

"Iwan! Ayo keluar!" Kataku yang kembali berjalan ke depan pintu kamar.

"Isma ... badanku kaku!" Kata Iwan yang berdiri mematung di dalam kamar

  Saat Iwan tak bisa menggerakkan badannya itulah, aku melihat sudah Saras berdiri di belakang Iwan. Penampilannya berbeda, menyerupai kuntilanak dengan wajah pucat dan menyeramkan. Di sekitar matanya terlihat hitam lebam seperti terkena pukulan. Rambutnya panjang, berantakan dan tak terawat. Aku pun berdiri ketakutan melihatnya, sekilas jantungku berhenti saking kagetnya.

Aku tak bisa teriak atau mengatakan apa-apa sambil terus menatap sosok Saras itu.

"Minumannya habisin ya mbak." Kata Saras kepadaku dengan suara yang menyeramkan. Kemudian pintu tertutup sendiri. Iwan masih ada di dalam. Tak lama kemudian terdengar suara jeritan Iwan dari dalam kamar. Oh tuhan, apa yang terjadi? Aku jatuh terduduk dilantai depan kamar Iwan.

  Pintu terbuka kembali dengan sendirinya, aku masih duduk di depan pintu kamar dengan badan yang sudah lemas karena ketakutan. Setelah pintu dibuka, Iwan sudah tergeletak kaku tak bernyawa di lantai. Mata Iwan masih melotot, terlihat bekas cekikan di lehernya yang membiru.

  Di dekat Iwan, ada Saras yang kembali berubah wujudnya. Kini Saras terlihat memakai baju kebaya sambil menari tarian ronggeng. Dengan gerakan lembut nan gemulai Saras menari serta memainkan selendangnya di tangan. Ia terlihat benar-benar layaknya seorang penari ronggeng yang sedang menari-nari dengan indah, aku menatapnya beberapa saat. Sampai akhirnya ia memutar badan, dan aku menemukan sebuah lubang besar di punggungnya! Dari lubang itu aku bisa melihat organ-organ tubuh dan juga isi perutnya. Darah segar juga masih mengalir dari lubang itu yang seketika menebarkan bau amis sekaligus busuk, aku yang sudah lemas pun tak tahan sampai akhirnya pingsan di tempat.

Cerpen karya Harry Wijaya

Depok, 8 Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun