Oleh Harry Agus Yasrianto
Semua orang sibuk mengikis rejeki. Ini memang waktunya memperjuangkan banyak mulut. Mulut-mulut itu ada di mana-mana. Di sudut gang, warung, bioskop, jalan setapak, pasar, persimpangan, pertigaan,gedung mewah, bis, pelabuhan, di manapun.
Mulut-mulut itu bungkam, tapi bukan tidak sedang menerka arah. Mulut-mulut ini cerdas, membidik setiap kesempatan,
“Masuk, Yas. Di luar hujan,” ujar Rien.
Agyas manggut-manggut.
“Terima kasih,” jawab lelaki tua itu.
“Duduklah,” Rien mempersilakan sahabat karibnya itu masuk. Malam masih berjalan seperti biasanya, cicak di dinding juga bercanda seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berubah sedikitpun. Jam dinding bergerak melambat seakan memahami apa yang akan terjadi mala mini.
“Apa yang bisa dibantu, Yas ?”
Rien duduk di tepi meja makan yang tidak layak disebut meja makan. Meja ini dipakai untuk segala macam fungsi, kadang dipakai untuk shooting pembuatan film tentang praktek memasak anak perempuan semata wayang di keluarganya, kadang dipakai untuk keperluan zoom meeting ketiga anak lelakinya, kadang digunakan oleh dirinya sendiri untuk mengetik naskah-naskah novelnya.
“Mohon maaf mengganggu waktunya, Rien.”