Mohon tunggu...
Harry Wiyono
Harry Wiyono Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hamba Tuhan

Sebagai : 1. Wakil Gembala GGP Betesda Pamulang 2. Sebagai wartawan sejak tahun 1984 3. Researcher di MRI (Market Riset Indonesia) 4. Researcher di Ecbis Rescons 5. Researcher di CDMI

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagaimana Kita Memposisikan Tuhan

9 Oktober 2023   17:43 Diperbarui: 9 Oktober 2023   17:50 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seminggu dua minggu, tiga minggu, saya berdoa tiada hentinya, bahkan sampai berbulan-bulan semakin kencang doa yang saya panjatkan , kaena kemurahan Tuhan pada akhirnya doa saya dijawab istri saya sembuh tanpa operasi. Namun tidak berapa lama kemudian istri saya mengalami pendarahan kembali. Sudah pasti posisi Tuhan saya angkat dan tempatkan yang paling tinggi. Sekali lagi saya berdoa tidak henti-henti, setiap saat setiap waktu saya berdoa. Namun kali ini Tuhan tidak menyembuhkan penyakit istri saya akhirnya istri saya meninggal dunia.

Lengkaplah suddah penderitaan saya. Anak pertama dipanggil Tuhan, kemudian disusul anak kedua, kemudian yang terakhir istri saya. Yang menjadi pertanyaan dalam kondisi seperti ini masihkah saya menempatkan Tuhan diatas segala-galanya. Ketika Tuhan menyembuhkan penyakit istri saya, masuk akal kalau saya menempatkan Tuhan diatas segala-galanya. Tetapi kalau saya sudah menjerit minta pertolongan, sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan permohonan doa, sudah tidak terhitung curahan air mata, tetapi ternyata Tuhan tidak menolong saya, apakah saya masih mempercayai Tuhan dan masih bisa menempatkan Tuhan diatas segala-galanya?

Jika saya komplin dan menuntut Tuhan kemudian Tuhan memenuhi permintaan saya (anak dan istri saya sembuh) apakah semua itu bisa diartikan bahwa saya telah menempatkan  posisi Tuhan diatas segala-galanya? Apakah saya telah menempatkan Yesus sebagai Tuhan? Sangat bodoh jika saya bepikiran sepeperti itu. Jika hal itu terjadi bukan lagi saya telah menempatkan Yesus sebagai Tuhan, tetapi sebaliknya saya telah menempatkan diri saya sendiri sebagai Tuhan. Karena saya telah berhasil memerintah Tuhan. Saya telah berhasil menggeser kedudukan dan posisi Tuhan.

Ada seorang hamba Tuhan memberikan sebuah ilustrasi tentang kancing baju. Jika kita salah memposisikan kancing pada baju kita yang seharusnya kancing pertama di masukkan pada posisi lubang pertama, tetapi kita masukkan pada lubang kedua yang bukan pada posisinya, maka akibatnya penampilan kita menjadi berantakan, posisi baju kita jomplang, tidak enak dipandang. Memalukan dan menjadi bahan olokan dan ketawaan.

Demikian hal nya jika kita salah memposisikan Tuhan dalam kehidupan kita. Setiap orang pasti punya masalah dan pergumulan, jika kita menempatkan pergumulan dan permasalahan itu diatas Tuhan, maka hidup kita akan berantakan. Jika rumah tangga kita kita posisikan diatas Tuhan maka hidup kita akan berantakan. Jika pekerjaan dan keuangan kita posisikan diatas atau melebihi Tuhan maka hidup kita akan berantakan. Oleh karena itu posisikan Tuhan diatas permasalahan, pergumulan, rumah tangga, pekerjaan keuangan, apalagi pelayanan. Jika kita bisa memposisikan Tuhan dalam segala hal maka kita enak dilihat, enak dipandang dan hidup kita tidak berantakan.

Umat Israel merupakan contoh konkret betapa mereka jatuh bangun menanggung konsekuensi yang merugikan kehidupan mereka akibat kekeliruan dalam memposisikan Allah di perjalanan kehidupan yang ada. Bukan hanya menomorduakan Allah, melainkan mengabaikan hingga meninggalkan Allah. Ironisnya, tindakan ini dilakukan berulang kali. Bukan hanya saat mereka masih tinggal di tanah air mereka, melainkan juga ketika mereka tengah menanggung penghukuman, hidup sebagai orang jajahan di negeri asing-Babilonia.

Di masa pembuangan, umat Israel masih mengabaikan kehadiran Allah. Hasilnya, umat Israel semakin sengsara: menjadi budak dengan mengabdikan hidupnya bagi Babilonia, tidak memiliki kebebasan beribadah seturut keyakinan mereka. Lebih dari itu, umat Israel menanggung malu akibat olok-olokan bangsa lain yang kerap mengerdilkan kuasa dari Allah yang mereka ikuti.

Menariknya, situasi semacam ini, nyatanya tak memadamkan kasih Allah. Allah berkenan memulihkan Israel. Tetapi pemulihan dari Allah dapat diwujudkan apabila umat Israel berkenan mengutamakan Allah dalam kehidupan mereka. Tidak lagi menomorsekiankan Allah, melainkan kembali membiarkan Allah sebagai yang satu-satunya pengarah, penuntun, pendidik yang kuasa-Nya tak teratasi oleh apapun.

Bagaimana dengan kita? Bersediakan menjadilan Allah yang terutama? Mengutamakan Allah berarti bergantung pada hikmat-Nya dalam pekerjaan, pikiran, perkataan, termasuk memberi diri untuk selalu berjuang mewujudkan keteladanan-Nya. SPOUDE Tuhan Yesus memberkati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun