Mohon tunggu...
Harry Purnama
Harry Purnama Mohon Tunggu... -

Trainer & coach mature leadership, listening wisdom dan work and life balance [WLB] tinggal di Depok, Jawa Barat, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Listening, Neglected but Important Skill

3 Desember 2015   09:52 Diperbarui: 3 Desember 2015   10:16 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Michael P Nichols, 2009

Banyak orang beranggapan, listening tidak penting, padahal hanya 25% orang yang efektif sebagai listener (Madelyn Barley Allen, Listening: the forgotten skill, 1995)

Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa kita bisa mendengarkan dengan sangat baik, padahal tidak, kita sering gagal membangun relasi dengan keluarga sendiri, pasangan, rekan kerja dan teman  (Michael P Nichols, The lost art of listening, 2009)

“The art of conversation lies in listening” (Malcom Forbes, pemilik majalah Forbes, NYC).

Setiap komunikasi yang berhasil selalu ditandai oleh 3 hal, listening yang mendalam,  kematangan emosi dan open-mindedness.

Satu-satunya cara memperbaiki komunikasi kita adalah dengan lebih banyak mendengarkan, segera tutup mulut dan buat pembicara merasa dimengerti.

“Most people do not listen with the intent to understand, they listen with the intent to reply” (Stephen R. Covey)

Michael P Nichols, 2009

Listening atau mendengarkan, adalah jenis skill praktis sehari-hari (self-help) yang memang terabaikan (neglected, less important).  Kepentingannya tergeser oleh speaking skill (ilmu berbicara). Manusia lebih banyak ingin bicara dari pada mendengarkan.  Padahal listening adalah skill yang paling banyak digunakan untuk belajar.  Benar kata Lao Tzu, “silence is a source of great strength.”  Tapi ia satu-satunya nafas/ roh komunikasi yang dilupakan untuk dipelajari terlebih dahulu. 

Listening adalah sebuah kebutuhan untuk hidup dan “struggle to be human.”   Ralph G. Nichols, tokoh listening sejak tahun 1960-an, the father of the field of listening versi International Listening Association (ILA) mempelajari listening secara intensif dan menyimpulkan, “the most basic of all human needs is the need to understand and be understood. The best way to understand people is to listen to them.”  Stephen R. Covey penulis  “7 Habits of Highly Effective People,” era tahun 1990-an menyederhanakan cara mendengar terbaik adalah  “Seek first to understand, then to be understood.”

Faktanya, kita lebih suka bicara. Kita kurang mendengarkan.  Faktor penghambat pertama kita tidak mendengarkan adalah terlalu banyak bicara. Di zaman ini, diperburuk lagi oleh gangguan-gangguan internal & lingkungan (kebisingan, serbuan gadget, pressure, dreams, kejenuhan dan ego). Benar seperti yang dikatakan M. Scott Peck,  psikiater Amerika abad ini, penulis buku terkenal “the road less traveled,” dengan “you cannot truly listen to anyone and do anything else at the same time.” Diperkuat lagi oleh  Ernest Hemingway, novelis Amerika awal 1900-an, telah mencium fakta bahwa orang sulit mau mendengarkan orang lain.  Banyak orang tak bahagia.  Ia menyimpulkan, “When people talk, listen completely. Most people never listen.”  Stephen R Covey, sudah lama memperkenalkan empathy communication, untuk menjawab kebutuhan dunia yang tidak mau mendengar, tapi terangsang untuk segera menjawab (jump to solution).   Terbukti hingga hari ini, kebanyakan sekolah dan guru tidak mengajarkan “seni” mendengar yang mendasar sebagai pembelajar (listening skill & art).  Jadi orang harus kreatif belajar listening sendiri-sendiri (menjadi self-help praktis).  Karena listening adalah sebuah kebutuhan psikologis, listening bisa dipelajari oleh siapa saja.

Pengambilan keputusan yang efektif, juga diawali dengan proses mendengarkan data dan fakta terlebih dahulu.  Lee Iacocca, ex CEO Chrysler Corp era 1978-1992 dan Michael D. Ruslim ex CEO Astra 2005-2010, dua-duanya pernah mengatakan,  “I only wish I could find an institute that teaches people how to listen. Business people need to listen at least as much as they need to talk. Too many people fail to realize that real communication goes in both directions.”  Jika dokter salah diagnosa, biasanya salah obat. Jika arsitek salah design, biasanya salah bangun.  Jika pemimpin salah mendengar, biasanya salah memutuskan.  Jika agency salah membaca brief, biasanya iklan tidak pas.  Jika pacar salah membaca gelagat, biasanya salah pilih.  Jika interviewer salah membaca sikap calon karyawan, biasanya yang diterima karyawan jelek (karyawan bagus jutru dilepas).

Komunikasi yang efektif dan belajar yang efektif, selalu diawali dengan mendengarkan yang baik. Dan mendengarkan bisa dilatih dan dikembangkan, sama dengan komunikasi dan belajar.

 

Contoh aplikasi listening skill yang paling sering kita lihat di televisi adalah gaya kepemimpinan Jokowi.  Ia selalu pertama-tama mendengarkan keluhan masyarakat, melihat situasi dan mempelajari opportunity (“blusukan”). Kemudian baru mengambil keputusan dan keputusannya selalu tepat. Tentu dibarengi dengan analisa mendalam, pengetahuan umum dan logika (common-sense) yang masuk akal.

Makna praktis dari mendengar adalah memahami dan mengerti (sebagai key word). Dengan mendengar baik-baik, manusia faham dan mengerti bahwa Tuhan itu Maha Kaya diatas segalanya (bukan dijadikan ATM).  Dengan mendengar kewajiban rakyat baik-baik, pejabat harusnya faham dan mengerti bahwa negara milik bersama yang harus dijaga (bukan disedot ramai-ramai).  Dengan mendengar bawahan, atasan faham bahwa bawahan adalah penghasil kinerja (bukan diperas habis-habisan dan haknya dibatasi).

Berbicara dan mendengar itu esensinya tentang “keseimbangan” (balance). Ada saatnya berbicara, ada saatnya mendengar. Jika keseimbangan itu dirusak, maka komunikasi rusak pula.  Tugas komunikator dan pemimpin menjaga keseimbangannya.       

 

Paling tidak ada 4 (empat) kerugian finansial, kesempatan pertumbuhan dan psikologis jika kita terus mengabaikan listening skill.

 

1.  Salah paham, misunderstandings

Salah faham (misunderstanding) berbeda dengan salah karena rekayasa. Salah faham disebabkan oleh salah mengerti. Dan salah mengerti diakibatkan oleh tidak menyimak dengan baik (misheard). Harap abaikan dulu instruksinya yang kurang jelas. John P. Kotter, guru managemen perubahan dunia penulis Leading Change 1996 (Harvard Business School Press) yang melegenda sampai hari ini,   mengatakan   “Without credible communication, and a lot of it, the hearts and minds of others are never captured.”

Ada yang pernah menghitung total kerugian ekonomi, material dan jiwa ketika manusia saling salah faham?  Contoh kesalahfahaman biasa,  suami menceraikan istrinya karena salah faham.  Contoh sehari-hari, salah dengar instruksi terbang,  salah baca jadwal service, salah baca resep dokter, salah dengar aba-aba, salah dengar kritik/saran pasangan, dst.  Kesalahfahaman lainnya, kalau berjumpa orang berdasi, pasti dikira orang baik, pandai dan kaya (belum tentu). Kalau disayang Tuhan pasti boleh melakukan apa saja (justru tidak boleh).  Kalau kaya lantas boleh menindas orang (justru tidak boleh), dst. Kesalahfahaman yang paling legendaris adalah pengeboman 2 kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki.

Kesalahfahaman yang berikutnya adalah keteledoran yang nampak dari perilaku seenaknya, misalnya buang sampah, bakar hutan, korupsi, tinggal di bantaran kali, dagang di trotoar, dst. Mereka fikir, buang sampah di jalanan itu boleh (pasti ada petugas yang akan membersihkan).  Mereka fikir, membakar hutan adalah hak hidup (bebas karena hutan milik siapa saja). Mereka fikir, korupsi uang negara tak dosa (bebas karena negara milik semua orang).   Mereka fikir, tinggal di bantaran kali hak para homeless (bebas dipakai karena kali milik warga kota). Mereka fikir, dagang di trotoar hak rakyat miskin (bebas karena trotoar tak bertuan).  Sumber dari kesalahfahaman itu satu, keliru mendengar, salah mengerti, tidak menyimak dengan baik.  Jika kesalahfahaman diminimalisir, maka kerugian yang amat besar, bisa dihindari, bukan?

 

2.   Perasaan tersakiti, hurt feelings

Peribahasa Argentina, “who speaks, sows; who listens, reaps.”  Kebanyakan dari kita si mulut besar dari pada si pendengar, sehingga kita lebih sering  membuat orang frustrasi, tersakiti, malu dan terabaikan.   Empat (4) hal ini adalah kerugian psikologis yang diderita oleh orang-orang terdekat kita, misalnya: pasangan, anak, orang tua, rekan kerja, rekan bisnis dan pelanggan, jika kita tidak mau mendengarkan mereka.  Jika kita suami, istri langsung berhenti bicara, cemberut dan jutek. Tak lain karena curhatnya atau ceritanya langsung kita cut atau interupsi. Jika itu anak kita atau rekan kerja, kita main hp atau corat coret kertas, saat mereka bicara. Kita tidak memberi perhatian apalagi empati. Mereka merasa tidak didengarkan dan dimengerti, lalu percuma bicara.  Komunikasi terhenti, tidak dihargai.
Harvey Mackay, businessman dan kolumnis terkenal, percaya bahwa listening adalah cara mendapatkan respect yang alami.  “You learn when you listen. You earn when you listen—not just money, but respect.”
Tanpa respect, lama kelamaan rusaklah hubungan.     Sehingga mereka mencari cara untuk menjalin relasi ke  orang lain, kelain hati, service provider lain atau pindah ke lain produk yang mau mendengar. Ini adalah mekanisme penyembuhan alami akibat dari perasaan “tidak didengar dan tidak dimengerti.”

Kebanyakan  kita ingin lebih didengar dari pada mendengar, sehingga kita lebih sering  membuat orang frustrasi dan terabaikan (harry purnama)

 

3.  Kehilangan informasi yang penting, loss of  important information

Sering Anda kehilangan informasi/ data penting? Karena Anda tidak mendengarkan atau mencatat dengan baik.   Instruksi dan petunjuk sudah jelas, tapi si pendengar atau penerima pesan, tidak/kurang jelas karena tidak menyimak atau tidak mendengarkan dengan baik dan benar.  Atau sebaliknya, petunjuk dan instruksi kurang jelas, samar atau sulit dilihat/ didengar/ dibaca.  Dua-duanya akibat dari tidak mendengarkan dengan baik (miskomunikasi). Robert H. Schuller,  salah satu pastor besar Amerika dan penulis buku positive thinking, mengatakan sesuatu yang sangat pas tentang ego, “big egos have little ears.”  Stephen Covey dalam the 8th Habit, memberikan gambaran tentang “execution gap,” hanya 15% karyawan yang disurvey di Amerika, tahu tentang visi dan goal (informasi penting) dari perusahaannya. Penyebabnya bervariasi, terlalu banyak visi, visi tidak jelas dan karyawan tidak peduli. Artinya, lebih banyak karyawan bekerja tanpa arah, karena kehilangan informasi penting. Gagal mengeksekusi rencana dan hanya fokus pada diri sendiri.

Di tempat kerja atau di ruang publik, sering miskomunikasi (ambiguity) terjadi karena orang tidak mendengarkan dengan baik. Misalnya: Orang paling sering salah minum obat karena tidak membaca etiket petunjuk cara minum. Orang sering terlambat membayar tagihan kartu kredit karena mengabaikan petunjuk pada billing statement.  Orang kehilangan proyek karena salah memasukkan tender.  Orang paling sering tersesat karena salah membaca petunjuk arah jalan. Orang sering salah mendengar jam keberangkatan pesawat atau kereta (akibatnya tertinggal pesawat atau kereta). Orang tidak memperhatikan petunjuk ada lantai basah (lalu terpeleset dan jatuh).  Ketika kebakaran orang tidak mendengarkan instruksi dari tim penyelamat (lalu orang terluka karena panik). Orang malas membaca petunjuk escape plan (akibatnya tersesat di tangga ketika emergency case). Orang malas membaca petunjuk parkir (akibatnya ditilang).  Manajemen mall paling malas membuat petunjuk toilet dan lift ke tempat parkir dengan jelas (akibatnya visitor kurang mau membaca dan bingung).  Pegawai malas membaca petunjuk pemakaian safety-wear (akibatnya kecelakaan kerja meningkat).  Orang paling malas membaca petunjuk kapasitas lift (akibatnya overload, lalu lift stuck/macet).   Karyawan salah mendengarkan instruksi atasan bahwa barang A jangan dikirim digantikan dengan barang B (sebaliknya barang A tetap terkirim). Tim produksi salah menempatkan barang reject/ retur di tempat barang in-progress karena tidak mendengarkan instruksi supervisor (akibatnya barang bagus tercampur barang tidak bagus).   Orang marketing salah mendengarkan brief iklan dari klien, obat untuk bayi muntah jadinya obat bayi sakit perut, iklan apartmen dekat kampus/terminal padahal jauh, dst.  Agency paling senang (jalan termudah) memakai model wanita sexy padahal produknya tidak berhubungan dengan wanita. Konsumen (pendengar) melototin si sexy, bisa kehilangan informasi penting dari produknya.

 

 4.   Kehilangan kesempatan, loss of opportunity

Eighty five (85) % of what we know we have learned through listening.  Humans generally listen at a 25% comprehension rate (Glenn Llopis,  6 Ways Effective Listening Can Make You A Better Leader, Forbes.com)

Stephen Covey dalam the 8th Habit, juga memberikan gambaran tentang “execution gap,” 51% karyawan yang disurvey di Amerika (separuh organisasi blank), tidak tahu “apa” yang harus dilakukan. Mereka kehilangan kesempatan penting untuk mencapai tujuan perusahaannya. Penyebabnya bervariasi, karyawan tidak memiliki fokus dan perhatian terhadap apa yang benar-benar penting. Terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak penting tapi urgent.  Hanya 49% (separuh organisasi) yang benar-benar sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.

Itu di negara maju, bagaimana dengan di Indonesia?  Bisa dipastikan, lebih banyak lagi karyawan yang tidak tahu apa yang penting yang harus dilakukan lebih dahulu. Sering sekali pabrik manufacturing di Indonesia, kehilangan potential-sales gara-gara mesin produksi tiba-tiba rusak (terlambat diperbaiki). Sudah tahu rusak, tapi didiamkan oleh bagian maintenance/ engineering. Mereka tidak dengar-dengaran terhadap kebijakan manajemen agar berhati-hati dengan perawatan mesin secara reguler. Penyebab utama MLM (malas, lalai dan menunda-nunda). Banyak marketing terlambat me-launch product karena produksi belum siap. Produksi belum siap, karena raw material belum lengkap. Raw material  belum lengkap karena purchasing tidak mengikuti jadwal sourcing dari PPIC atau PPIC team tidak memberikan perhatian (fokus) kepada new product planning. Akibatnya, pada saat yang sama kompetitor sudah lebih dahulu melaunch new product. Kejadian ini banyak dialami perusahaan elektronik dan digital yang lamban di Jepang (karena sudah terlalu raksasa) vs Korea yang cepat (masih lincah dan gesit karena belum terlalu besar).  Contoh lainnya, keterlambatan melakukan inovasi produk (terlambat membaca dan mendengar peluang pasar), mengakibatkan perusahaan kalah cepat masuk pasar (menjadi follower), misalnya Coca Cola ketinggalan dengan Mizone, Pocari, Bigcola dan teh pucuk. Karena the first comer, biasanya menjadi the market leader (meski tidak selamanya benar), misalnya teh botol Sosro dan minuman aqua. Terbukti cepat mendengar peluang pasar dan mengolahnya menjadi strategi baru, sering menguntungkan perusahaan-perusahaan yang lebih cepat. Perusahaan yang lambat (complacent) dan stabil, sering kehilangan kesempatan masuk pasar dengan fresh idea.

John F Smith, ex CEO and President General Motors era 1992-2000, menyarankan kepada dunia bisnis, “we listened to what our customers wanted and acted on what they said. Good things happen when you pay attention.”  Di dunia digital, Facebook masuk pasar social-media dengan layanan yang berbasis internet super kreatif (Feb 2004) karena cepat membaca peluang pasar.  Dunia butuh ruang untuk blog gratis sekaligus bebas chit-chat dengan teman-teman dan bisa berbisnis.  Sehingga FB cepat menjadi market leader (dengan 1.4 miliar monthly active users) dibandingkan dengan pemain lain seperti WA (2009), Twitter (2006) dan Blackberry (2003). Pointnya,  Facebook mampu menggeser dominasi Blackberry yang lebih awal masuk pasar dengan Blackberry messangernya.    Pada akhirnya, Blackberry menderita penurunan user aktifnya secara signifikan karena kalah mengambil peluang dibandingkan FB.   Blackberry tambah kedodoran dengan masuknya smartphone berbasis Android dan Apple Iphone. User aktif BB mulai drop sejak 2013 sampai hari ini.  Persaingan di pasar digital ini,  memang ketat.  Siapa yang mampu membaca dan mendengar peluang pasar lebih dulu dan berinovasi akan berpeluang besar menguasai pasar.  Yang lamban mengolah peluanglah yang akan ketinggalan, bukan? Peribahasa Turki mengatakan,  “if speaking is silver, then listening is gold.”  Raja Solomon di zaman dahulu sudah memprediksikan kebenaran untuk zaman yang akan datang, “give me the gift of a listening heart.”

Nothing is more expensive than a missed opportunity (anonymous).

Failure is the opportunity to begin again more intelligently (Henry Ford)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun