Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangan Samakan OPM dengan GAM

16 Maret 2023   16:00 Diperbarui: 16 Maret 2023   16:06 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Organisasi GAM dan OPM. (sumber: Jaga Papua.com)

Jika melihat penjelasan sebelumnya nampak terlihat bahwa OPM dan GAM yang kedua sama-sama merupakan kelompok separatis tetapi keduanya tidak memiliki akar permasalahan yang sama. Dan hal itulah yang membuat kedua gerakan ini meski muncul pada waktu yang tidak jauh berbeda tetapi GAM lebih dulu berhasil diselesaikan setelah ditemukannya titik temu diantara pihak GAM dan Pemerintah Indonesia. Hal ini yang sulit terjadi pada OPM yang memiliki kelompok-kelompok bersenjata yang sesamanya masih terdapat selisih paham bahkan tak jarang saling serang satu sama lain.

Merujuk pada buku karya Amy Chua berjudul "Political Tribes" dimana didalamnya menjelaskan penyebab gagalnya negara adidaya Amerika Serikat (AS) gagal memahami masalah etnis dalam penangangan atau intervensi mereka ke negara-negara di Asia terkhususnya negara-neagra di Timur Tengah. Seperti langkah AS untuk memusnahkan organisasi Taliban disebabkan para pembuat kebijakan AS hanya melihat Taliban sebagai organisasi Islam Radikal padahal kenyataannya ada gerakan etnis tertentu (etnis Pashtun) di dalam Taliban yang tidak dilihat oleh AS. Tidak melihat politik kesukuan di Afghanistan inilah yang membuat AS mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang keliru untuk Afghanistan terutama ketika bergabung dengan Aliansi Utara yang dipimpin oleh Panglima perang Tajik dan Uzbekistan, Abdul Rashid Dostum, yang dikenal banyak orang sebagai Anti-Pashtun bahkan tidak segan-segan membunuh pasukan Taliban meskipun banyak diantaranya yang sudah menyerah.    

Jika kita melihat kegagalan AS dalam melihat konflik antar etnis di Papua seharusnya pemerintah Indonesia bisa belajar dari AS. Justru yang terjadi tidak demikian dimana melakukan penempatan aparat TNI dan Polri yang kebanyakan dari mereka berasal dari luar Papua malah menimbulkan konflik dengan para penduduk setempat yang bisa menimbulkan korban jiwa. Dan dua lembaga pemerintah yaitu BNPT dan Polri dalam melakukan pemetaan terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Papua juga menunjukkan temuan yang berbeda sekaligus memperlihatkan tidak adanya kesepahaman dan tidak tahuan lembaga-lembaga terkait dalam sekadar menentukan jumlah kelompok bersenjata.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah berusaha melakukan upaya penyelesaian damai dengan membentuk Operasi Damai Cartenz yaitu kampanye pendekatan ke masyarakat Papua yang dilakukan oleh Polri. Terlepas dari rekam jejak ketua Operasi Damai Cartenz tetapi dengan menempatkan orang yang berasal dari luar Papua menjadi pemimpin rekonsiliasi damai tersebut ditengah masyarakat Papua sendiri yang konflik antar desa saja masih rentan terjadi tentu itu adalah langkah keliru yang dilakukan instansi pemerintahan. 

Dengan begitu alangkah baiknya Pemerintah Pusat mulai mengubah cara mereka dalam menangani konflik di Papua dengan lebih mengedepankan permasalahan HAM dan SARA di Papua dibandingkan pembangunan infrastrukur dan ekonomi yang cenderung memperburuk HAM dan SARA di bumi cendrawasih.

Sumber Rujukan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun