Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangan Samakan OPM dengan GAM

16 Maret 2023   16:00 Diperbarui: 16 Maret 2023   16:06 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Organisasi GAM dan OPM. (sumber: Jaga Papua.com)

Sudah labih dari satu bulan penculikkan Pilot Susi Air oleh salah satu kelompok separatis di Papua menjadi pemberitaan hangat berbagai media Indonesia dan Internasional. Bukan saja karena melakukan penyanderaan warga negara asing dan pembakaran pesawat tetapi aksi ini seakan memperlihatkan bagaimana konflik yang terjadi sudah lama di Papua kian hari semakin memburuk.

Padahal pemerintah Joko Widodo sudah melakukan berbagai langkah ekonomi dan pembangunan di bumi cendrawasih itu mulai dari kebijakan BBM satu harga hingga berbagai pembangunan infrastruktur di Papua, namun yang terlihat dipemberitaan oleh berbagai media justru konflik malah bertambah dan memperhambat proses perdamaian di Papua.

Kemudian persepsi masyarakat Indonesia secara umum masih melihat Organisasi Papua Merdeka (OPM) sama seperti kelompok bersenjata lain yang pernah terjadi di Indonesia seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sudah berakhir sejak 2005 dengan ditemukannya kesempakatan antara pihak pemberontak dan Indonesia di Vantaa, Finlandia. Padahal OPM dan gerakan lain seperti GAM memiliki latar belakang dan organisasi yang sangat berbeda.

Historis dan Geopolitik

Mengutip dari buku Jared Diamond yang berjudul "Guns, Germs, & Steel" ada alasan mengapa Papua tertinggal dari berbagai segi kehidupan dibandingkan daerah lain di Indonesia. Pertama mengenai lingkungan, medan ekstrim yang ada di Papua terlebih lagi adanya nyamuk penyebab malaria membuat wilayah ini sangat sulit untuk dijelajahi bahkan untuk penduduk asli sendiri. Hal itu yang membuat komunikasi antar desa atau etnis tertentu di Papua sangat minim bahkan terkesan tidak ada sama sekali.

Hal itu yang menyebabkan faktor kedua yaitu sangat ter-fragmentasinya Papua, dimana terdapat 1000 bahasa dari 6000 bahasa yang ada di dunia menghuni pulau tersebut. Dan penutur setiap bahasa yang rata hanya 500 orang semakin mempersulit komunikasi antar desa disana dan terkesan menimbulkan permusuhan atau asing dengan desa lain. Terlebih lagi daerah-daerah sekitar Pulau Papua yaitu kepulauan di Indonesia Timur dan Benua Australia sama-sama mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan Papua yang masih minimnya para pendatang asing untuk datang ke tempat-tempat tersebut hingga bangsa eropa yang datang untuk mencari rempah-rempah.

Kesemua itu pun akhirnya menimbulkan tidak adanya jejak historis tentang sebuah kerajaan besar di Papua yang tentu saja seperti yang terjadi sekarang membuat gerakan seperti memerdekakan diri seperti yang dilakukan OPM terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang diantara sesamanya tak jarang juga berkonflik. Latar belakang berdirinya OPM sendiri sudah ada sejak Belanda masih menduduki wilayah tersebut yang sudah menyusun bendera dan nama untuk negara tersebut, namun perginya Belanda dari Papua Barat dan adanya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) sebagai kelanjutan dari adanya New York Agreement (1962) yang dianggap kontroversial oleh banyak pihak yang dikemudian hari menyulut kelompok nasionalis di Papua pada tahun 1971 mendeklarasikan Republik Papua Barat.

Hal ini tentu berbeda dengan Aceh yang berada dekatan di Selat Malaka yang merupakan pusat pelayaran dan perdagangan yang juga dikenal sebagai jalur sutra laut menggantikan jalur sutra darat yang sudah tidak aman karena banyaknya penjarah disepanjang perjalanan. Berkat selat inilah dalam catatan Tome Pires yang dikenal dengan "Suma Oriental" dimana Aceh sudah terdapat kerajaan Aceh yang dipimpin seorang muslim dan mampu menaklukkan daerah sekitarnya sekaligus merebut pengaruh dengan Kesultanan Malaka yang berada di Semenanjung Malaya dan juga berdiplomasi dengan kerajaan/kesultanan yang ada di Timur Tengah dan Asia Timur.

Perkembangan pesat inilah yang membuat Aceh lebih mampu bertahan lama dengan dibandingkan kerajaan besar lain di Nusantara dalam menghadapi bangsa barat yang datang. Dan juga GAM sendiri memiliki latar belakang yang berbeda dengan OPM yang secara gamblang menginginkan menjadi negara sendiri, GAM yang pertama kali muncul pada 1976 disebabkan perselisihan paham mengenai pemerintahan Aceh yang didominasi oleh orang Jawa dan pembagian dari sumber daya alam Aceh yang tidak adil oleh pemerintah pusat.  

Langkah Yang Tepat (?)

Jika melihat penjelasan sebelumnya nampak terlihat bahwa OPM dan GAM yang kedua sama-sama merupakan kelompok separatis tetapi keduanya tidak memiliki akar permasalahan yang sama. Dan hal itulah yang membuat kedua gerakan ini meski muncul pada waktu yang tidak jauh berbeda tetapi GAM lebih dulu berhasil diselesaikan setelah ditemukannya titik temu diantara pihak GAM dan Pemerintah Indonesia. Hal ini yang sulit terjadi pada OPM yang memiliki kelompok-kelompok bersenjata yang sesamanya masih terdapat selisih paham bahkan tak jarang saling serang satu sama lain.

Merujuk pada buku karya Amy Chua berjudul "Political Tribes" dimana didalamnya menjelaskan penyebab gagalnya negara adidaya Amerika Serikat (AS) gagal memahami masalah etnis dalam penangangan atau intervensi mereka ke negara-negara di Asia terkhususnya negara-neagra di Timur Tengah. Seperti langkah AS untuk memusnahkan organisasi Taliban disebabkan para pembuat kebijakan AS hanya melihat Taliban sebagai organisasi Islam Radikal padahal kenyataannya ada gerakan etnis tertentu (etnis Pashtun) di dalam Taliban yang tidak dilihat oleh AS. Tidak melihat politik kesukuan di Afghanistan inilah yang membuat AS mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang keliru untuk Afghanistan terutama ketika bergabung dengan Aliansi Utara yang dipimpin oleh Panglima perang Tajik dan Uzbekistan, Abdul Rashid Dostum, yang dikenal banyak orang sebagai Anti-Pashtun bahkan tidak segan-segan membunuh pasukan Taliban meskipun banyak diantaranya yang sudah menyerah.    

Jika kita melihat kegagalan AS dalam melihat konflik antar etnis di Papua seharusnya pemerintah Indonesia bisa belajar dari AS. Justru yang terjadi tidak demikian dimana melakukan penempatan aparat TNI dan Polri yang kebanyakan dari mereka berasal dari luar Papua malah menimbulkan konflik dengan para penduduk setempat yang bisa menimbulkan korban jiwa. Dan dua lembaga pemerintah yaitu BNPT dan Polri dalam melakukan pemetaan terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Papua juga menunjukkan temuan yang berbeda sekaligus memperlihatkan tidak adanya kesepahaman dan tidak tahuan lembaga-lembaga terkait dalam sekadar menentukan jumlah kelompok bersenjata.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah berusaha melakukan upaya penyelesaian damai dengan membentuk Operasi Damai Cartenz yaitu kampanye pendekatan ke masyarakat Papua yang dilakukan oleh Polri. Terlepas dari rekam jejak ketua Operasi Damai Cartenz tetapi dengan menempatkan orang yang berasal dari luar Papua menjadi pemimpin rekonsiliasi damai tersebut ditengah masyarakat Papua sendiri yang konflik antar desa saja masih rentan terjadi tentu itu adalah langkah keliru yang dilakukan instansi pemerintahan. 

Dengan begitu alangkah baiknya Pemerintah Pusat mulai mengubah cara mereka dalam menangani konflik di Papua dengan lebih mengedepankan permasalahan HAM dan SARA di Papua dibandingkan pembangunan infrastrukur dan ekonomi yang cenderung memperburuk HAM dan SARA di bumi cendrawasih.

Sumber Rujukan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun