Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Ketum masing-masing partai yaitu Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Dinamakan peristiwa Batu Tulis karena kejadian terjadi di Batu Tulis, Bogor pada 16 Mei 2009.
Namun seperti yang kita tau pada Pilpres 2014 PDIP lebih memilih Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, sebagai capres dari PDIP. Hal ini lantas pihak partai Gerindra merasa dikhianati oleh PDIP karena merasa sudah menekan perjanjian lima tahun yang lalu. Para kader PDIP pun menanggapi hal tersebut beragam dari merasa perjanjian Batu Tulis batal karena pasangan Mega-Prabowo gagal memenangkan Pilpres hingga ada yang menanggap perjanjian itu tidak pernah ada.
Alhasil seperti yang kita tau pada Pilpres 2014 dan 2019 sendiri melahirkan persaingan antara Jokowi dan Prabowo yang keduanya berhasil dimenangkan oleh Jokowi yang harus dibayar mahal oleh masyarakat karena menimbulkan polarisasi yang sangat besar di masyarakat hingga menjelang Pilpres 2024 polarisasi masih berasa meski belum separah Pilpres 2019 lalu.
Tidak Belajar Dari kesalahan?
Melihat peristiwa Batu Tulis dan surat perjanjian Prabowo-Anies seakan pihak partai Gerindra khususnya Prabowo tidak belajar dari kesalahan mereka sebelumnya. Meski terlihat surat perjanjian ini jauh lebih baik dibandingkan perjanjian Batu Tulis yang dimana surat perjanjian kali ini disimpan oleh kader-kader Gerindra sendiri.
Namun yang menjadi aneh adalah mengapa kader-kader Gerindra lebih memutuskan untuk diam saja pada saat deklarasi pencalonan Anies Oktober 2022 lalu. Dan baru dikemukakan oleh Sandiaga Uno Januari 2023 dan justru banyak kader Gerindra mengatakan perjanjian tersebut tidak perlu menjadi konsumsi publik.
Prabowo sendiri dalam pidatonya di HUT Gerindra ke-15 baru-baru ini sempat menyinggung bahwa ia kerapkali dianggap sering dibohongi, dan dikhianati. Namun dalam lanjutan pidatonya Prabowo tidak mempermasalahkan hal tersebut yang terpenting ia tidak berbohong dan tidak berkhianat.
Dari pidatonya tersebut terlihat Prabowo seperi sudah membiarkan dan tidak memedulikan perihal adanya pengkianat ataupun ada yang berbohong kepada dirinya, mungkin saja ini ditunjukkan kepada Anies yang mencalonankan diri sebagai capres atau juga kepada kadernyanya sendiri yaitu, Sandiaga Uno yang pada beberapa bulan terakhir isu pindahnya ia ke PPP untuk ambisi pencapresannya yang banyak dikritik kader-kader Gerindra lain.
Jika merujuk pada kedua kasus yang dialami Prabowo diatas terlepas dari betul atau tidaknya kedua kejadian tersebut, ini bisa menjadi bahan pembelajaran untuk orang-orang atau tokoh-tokoh politikus lain bahwa membuat atau menekan suatu perjanjian jangka panjang di perpolitikan Indonesia merupakan "investasi" beresiko tinggi dan lebih terkesan buruk mengingat sangat dinamisnya partai-partai politik maupun elit-elit politik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H