Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Prabowo Tidak Pernah Belajar dari Pengalaman?

9 Februari 2023   08:00 Diperbarui: 9 Februari 2023   08:15 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Subianto (Kompas.com/Adhyasta Dirgantara).

Mantan Calon Wakil Presiden dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno atau yang biasa dikenal Sandiaga Uno baru-baru ini menjadi pembicaraan media Indonesia belakang ini. Selain isu mengenai ia yang akan keluar Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) demi ambisinya untuk berkontestasi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024. 

Meski isu ini sudah coba diluruskan tidak akan keluar Gerindra dan tetap mengikuti keputusan partai oleh Sandiaga Uno pada saat Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meresmikan Sekretariat Bersama (Sekber) dalam menguatkan koalisi mereka untuk berkompetisi di 2024 dan digadang-gadang akan mengusung Ketua Umum (Ketum) masing-masing yaitu Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Capres dan Cawapres.

Setelah isu tersebut berangsur-angsur mereda, Sandiaga Uno kembali menjadi hangat setelah pernyataannya mengenai adanya perjanjian antara Prabowo dengan Anies-Sandi saat Pilkada DKI 2017 yang dimana dalam perjanjian itu terdapat pernyataan bahwa Anies dan Sandiaga tidak akan mencalonkan diri sebagi calon presiden (capres) jika Prabowo Subianto masih nyapres. Perjanjian itu ditulisan tangan oleh Fadli Zon dan disimpan oleh politikus Gerindra Sufmi Dasco, kata Sandiaga ketika ditanyai oleh wartawan.

Merusak Citra pesaing

Para pengamat berpendapat penyataan Sandiaga yang sekarang berada di kubu pemerintah sebagai upaya merusak citra politik Anies Baswedan. Ini masuk akal karena dalam rilis survei elektabilitas capres pada bulan Januari baru-baru ini, elektabilitas Prabowo Subianto mengalami penurunan bahkan disalip oleh elektabilitas Anies Baswedan. 

Penurunan elektabilas Prabowo ini terjadi karena suara Prabowo banyak diambil oleh Anies terutama orang-orang yang memposisikan diri mereka sebagai oposisi pemerintahan Jokowi. Berbeda dengan Prabowo yang sudah tidak menjadi oposisi pada periode II Jokowi setelah pada periode I yang Prabowo dengan partainya menjadi oposisi.

Dengan berpindah haluannya Prabowo ke kubu pemerintah tidak serta merta dilakukan oleh pendukungnya, masih banyak pendukungnya tetap beroposisi dengan pemerintah Jokowi dan menilai sosok Anies menjadi tokoh oposisi paling kuat sekarang ini sehingga mulai banyak masyarakat yang tidak puas dengan kinerja pemerintah memutuskan mendukung Anies pada kontestasi Pilpres mendatang dibandingkan mendukung kembali Prabowo yang sudah kali-kali gagal dalam pencapresannya.

Mengulangi Perjanjian Batu Tulis

Surat perjanjian antara Prabowo dan Anies ini seakan mengulang kejadian Pemilu 2009 antara PDIP dan Gerindra yang sering dikenal orang sebagai Perjanjian Batu Tulis. 

Perjanjian Batu Tulis merupakan perjanjian antara PDIP-Gerindra yang dimana terdapat 7 pasal dalam perjanjian tersebut yang di salahsatu pasal menyatakan bahwa Megawati akan mendukung pencalonan Prabowo menjadi Capres pada Pilpres 2014. 

Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Ketum masing-masing partai yaitu Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Dinamakan peristiwa Batu Tulis karena kejadian terjadi di Batu Tulis, Bogor pada 16 Mei 2009.

Namun seperti yang kita tau pada Pilpres 2014 PDIP lebih memilih Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, sebagai capres dari PDIP. Hal ini lantas pihak partai Gerindra merasa dikhianati oleh PDIP karena merasa sudah menekan perjanjian lima tahun yang lalu. Para kader PDIP pun menanggapi hal tersebut beragam dari merasa perjanjian Batu Tulis batal karena pasangan Mega-Prabowo gagal memenangkan Pilpres hingga ada yang menanggap perjanjian itu tidak pernah ada.

Alhasil seperti yang kita tau pada Pilpres 2014 dan 2019 sendiri melahirkan persaingan antara Jokowi dan Prabowo yang keduanya berhasil dimenangkan oleh Jokowi yang harus dibayar mahal oleh masyarakat karena menimbulkan polarisasi yang sangat besar di masyarakat hingga menjelang Pilpres 2024 polarisasi masih berasa meski belum separah Pilpres 2019 lalu.

Tidak Belajar Dari kesalahan?

Melihat peristiwa Batu Tulis dan surat perjanjian Prabowo-Anies seakan pihak partai Gerindra khususnya Prabowo tidak belajar dari kesalahan mereka sebelumnya. Meski terlihat surat perjanjian ini jauh lebih baik dibandingkan perjanjian Batu Tulis yang dimana surat perjanjian kali ini disimpan oleh kader-kader Gerindra sendiri.

Namun yang menjadi aneh adalah mengapa kader-kader Gerindra lebih memutuskan untuk diam saja pada saat deklarasi pencalonan Anies Oktober 2022 lalu. Dan baru dikemukakan oleh Sandiaga Uno Januari 2023 dan justru banyak kader Gerindra mengatakan perjanjian tersebut tidak perlu menjadi konsumsi publik.

Prabowo sendiri dalam pidatonya di HUT Gerindra ke-15 baru-baru ini sempat menyinggung bahwa ia kerapkali dianggap sering dibohongi, dan dikhianati. Namun dalam lanjutan pidatonya Prabowo tidak mempermasalahkan hal tersebut yang terpenting ia tidak berbohong dan tidak berkhianat.

Dari pidatonya tersebut terlihat Prabowo seperi sudah membiarkan dan tidak memedulikan perihal adanya pengkianat ataupun ada yang berbohong kepada dirinya, mungkin saja ini ditunjukkan kepada Anies yang mencalonankan diri sebagai capres atau juga kepada kadernyanya sendiri yaitu, Sandiaga Uno yang pada beberapa bulan terakhir isu pindahnya ia ke PPP untuk ambisi pencapresannya yang banyak dikritik kader-kader Gerindra lain.

Jika merujuk pada kedua kasus yang dialami Prabowo diatas terlepas dari betul atau tidaknya kedua kejadian tersebut, ini bisa menjadi bahan pembelajaran untuk orang-orang atau tokoh-tokoh politikus lain bahwa membuat atau menekan suatu perjanjian jangka panjang di perpolitikan Indonesia merupakan "investasi" beresiko tinggi dan lebih terkesan buruk mengingat sangat dinamisnya partai-partai politik maupun elit-elit politik di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun