Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru (Orba) dibawah pimpinan Presiden Soeharto dan dimulainya Reformasi memunculkan banyak partai-partai politik yang baru setelah pada Orde Baru mengalami fusi partai yang hanya mengizinkan adanya tiga partai politik.
Fondasi awal munculnya banyak partai politik atau juga disebut dengan multipartai terlihat setelah pemerintahan BJ Habibie kembali membuat kebijakan sistem multipartai (Labolo & Ilham, 2015:99).
Alhasil pada tahun 1999 terdapat 141 partai politik, namun hanya 48 partai yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan legislatif tahun 1999.
Dengan diikuti banyak partai pada pemilu legislatif tahun 1999 secara tidak langsung Indonesia mulai memasuki multipartai. Namun banyaknya partai politik pada awal reformasi ini justru membuat pemerintah berusaha mengurangi jumlah partai politik dengan menetapkan ambang batas parlemen (electoral threshold) sebesar 2% dengan mengeluarkan UU no. 3 tahun 1999 tentang Pemilu.
Adanya UU tersebut partai politik yang mendapatkan suara dibawah 2% ditingkat nasional tidak bisa mendapatkan kursi di parlemen.
Adanya ketentuan tersebut banyaknya partai-partai baru untuk mencari dukungan dari masyarakat terutama para masyarakat di desa-desa yang biasanya memiliki partisipasi tinggi pada pemilihan umum daripada di kota-kota dan juga biasanya berasal dari golongan petani.
Kondisi Pertanian Indonesia Pada Masa Reformasi
Disisi lain krisis moneter yang terjadi di dunia pada bermula pada tahun 1997 memberikan dampak yang sangat signifikan pada bidang pertanian di Indonesia pada saat itu.
Menurut data BPS perbandingkan harga-harga kebutuhan pokok seperti beras pada tahun 1997 dan 1998 di seluruh provinsi di Indonesia setidaknya ada kenaikan harga hingga 100% yang berarti harga eceran beras pada tahun 1998 naik dua kali lipat daripada tahun 1997.
Hal yang mirip terjadi di beberapa harga kebutuhan pokok lain seperti minyak goreng dan susu yang naik 2 kali lipat lebih. Dan hampir seluruh harga barang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan Nilai Tukar Petani (NTP) terjadi pengurangan nilai sebesar 10 poin di mayoritas provinsi di Indonesia yang berarti petani mengalami defisit pendapatan daripada tahun 1997. (Badan Pusat Statistik, 1999:488-493). NTP sendiri merupakan perhitungan yang menghitung harga produksi petani dan harga konsumsi petani yang berguna untuk mengetahui kesejahteraan para petani.
Menurut Soleh Solahudin dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan Pertanian Era Reformasi”, terdapat beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia di bidang pertanian.
Dia membagi masalah dan tantangan tersebut menjadi dua sumber utama yaitu eksternal (dari luar Indonesia) dan internal (dari dalam Indonesia) (Solahudin, 2018: 4-8).
Tantangan eksternal tersebut berupa liberalisasi ekonomi, dan globalisasi ekonomi. Sedangkan tantangan yang berasal dari internal seperti dinamika SDM, keterbatasan SDA, praktik Oligopoli, dan perubahan tatanan sosial, ekonomi, dan politik.
Pemerintahan Pasca Orde Baru dari Presiden BJ Habibie hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mencoba beberapa kebijakan untuk mendongkrak kondisi petani di Indonesia namun kebijakan-kebijakan tersebut kerapkali terbentur dengan kesepakatan dengan IMF (International Monetary Fund) dan juga praktik KKN seperti kasus BULOGATE sehingga implementasi kebijakan sering tidak sesuai yang diharapkan.
Peran Partai Politik dalam Usaha Menyejahterakan Kaum Petani
Dalam menjalankan fungsinya tentu partai politik perlu memperhatikan masyarakat yang menjadi sumber pemilih guna mencapai tujuan partai mereka.
Cara untuk menarik minat masyarakat untuk memperkenalkan atau pun mendorong untuk memilih partai mereka ketika pemilihan umum dengan membuat program-program yang dianggap mampu menyejahterakan masyarakat apalagi mayoritas pemilih di Indonesia merupakan kalangan menengah kebawah dan adanya krisis moneter yang membuat kesejahteraan menjadi tujuan utama di banyak masyarakat ketika itu.
Merujuk dari Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) tiap partai yang sudah ada pada masa awal Reformasi hanya beberapa partai yang mengemukakan secara terbuka diantaranya adalah Partai Keadilan Sejarahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDIP.
Melihat hal tersebut nampak bahwa persoalan mengenai petani bukanlah fokus utama dari kebanyakan partai pada masa Reformasi ini. Alih-alih merujuk pada satu hal dalam AD/ART kebanyakan partai hanya menyebut hal-hal yang berifat umum seperti masyarakat umum.
Hal ini makin memperlihatkan partai-partai di masa Reformasi memang mencoba untuk meraih dukungan semua golongan tidak hanya pada golongan tertentu.
Meski begitu masih ada beberapa langkah yang dilakukan partai- partai politik yang kemudian membuat program-program untuk membantu perekonomian masyarakat khususnya kaum petani.
Hal ini bisa dilihat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang banyak mengadakan kegiatan sosial-ekonomi dengan menggerakan kader-kader mereka ke desa-desa dan memberikan berbagai bantuan seperti sembako ataupun pengobatan gratis pada masyarakat (Nurjaman, 2014:19).
Selain itu PKS juga memiliki organisasi petani yang bernama Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) yang juga menjalin hubungan baik dengan organisasi-organisasi petani yang tidak berafiliasi langusng dengan partai politik manapun (Purwaatmoko, 2015:69-70).
Selain ada juga pembentukan Badan-badan yang membantu perekonomian para petani seperti yang dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang membentuk Badan Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (BPEK) pada tahun 2008 yang memiliki tujuan awal menguatkan ekonomi kerakyatan dengan mengadakan penyuluhan, pendampingan, pelatihan, dan program-program lain yang pro-rakyat (Ginting, 2019:61). Tokoh-tokoh PDIP sendiri juga memiliki kedekatan secara tidak resmi atau informal dengan organisasi-organsisasi petani.
Partai lain seperti Golkar juga coba merangkul kaum petani tidak dengan kader-kader yang datang ke desa-desa seperti yang dilakukan oleh PKS tetapi Golkar yang merupakan representasi Orde Baru sudah mendapatkan nama dengan adanya infrastrukur umum seperti jalan raya, air, listrik dan lain sebagainya yang merupakan peninggalan pemerintah Soeharto.
Selain itu ada juga koperasi-koperasi bagi masyarakat desa dan juga koperasi khusus petani yang sudah ada turut berusaha mensejahterakan dan mempermudah para petani.
Partai ini juga memberikan bantuan langsung seperti sembako dan pengobatan gratis tetapi jika dibandingkan dengan kasus PKS yang merupakan partai baru di awal reformasi, Golkar yang sudah merupakan partai lama dan banyak di isi oleh para penguasa bekas Orde Baru lebih mampu memberikan bantuan sosial yang jauh lebih besar seperti sekolah gratis dan memperbaiki jalan warga yang rusak (Nurjaman, 2014:19-20). Hal ini memberikan citra baik bagi Golkar setelah runtuhnya Orde Baru.
Dampak Hubungan antara Partai Politik dan Petani
Dampak yang bisa terlihat dari adanya interaksi antara partai-partai politik dengan petani di masa awal Reformasi ini terlihat diantaranya melalui perolehan suara yang didapatkan setiap partai pada pemilihan legislatif (Pileg) yang dilaksanakan dalam kurun waktu 1999-2009 yang dihimpun dalam website Badan Pusat Statistik (BPS).
Penelitian kali ini lebih memilih menggunakan Pileg dibandingkan Pemilihan Presiden (Pilpres) sebagai pembanding dikarenakan Pilpres di Indonesia lebih memperhatikan sosok figur yang mencalonkan diri terlepas asal partai calon tersebut.
Dari tabel diatas terlihat terjadi perubahan yang cukup besar dibeberapa partai besar dalam perolehan suara di pemilihan legislatif antara tahun 1999 dengan 2004 dimana PDIP yang semula pada tahun 1999 mendapatkan 33,75% suara mengalami penurunan yang sangat signifikan pada tahun 2004 dengan hanya mendapatkan 18,53% suara.
Sedangkan partai-partai Islam seperti PKB dan PPP juga mengalmi penurunan suara sekitar 1-2% antara tahun 1999 dan 2004. Hal ini bisa terjadi karena ketika itu partai-partai tersebut masih coba untuk mendukung Gus Dur untuk mempertahankan kursi kepresidenannya setelah berbagai kasus menerpanya.
Selain itu partai yang dikenal dengan partai Islam seperti PKB, PPP, dan PAN (meski sebenarnya PAN bukan merupakan partai Islam melainkan Nasionalis) mengalami penurunan suara disebabkan target pemilih mereka yang merupakan golongan Islam mengalihkan suara mereka ke partai-partai lain yang baru ataupun partai lama.
Pada pemilu 2004 sangat terlihat bagaimana kesuksesan PKS dengan menggerakkan kader-kadernya ke pedesaan mampu mendongkrak suara yang mereka dapat meskipun berstatus partai yang baru berdiri.
Hal serupa juga terjadi pada partai Demokrat yang pada pemilihan 2004 dan 2009 berhasil membuat SBY menjadi Presiden Indonesia pada saat itu dengan terus menjaga partai itu tetap bersih dari praktik KKN sehingga nama baik partai tetapi terjaga meski tidak memiliki program seperti PKS lakukan (Kompas, 2014).
Lalu merosotnya suara PDIP dan Golkar pada pemilihan 2004 dan 2009 tidak terlepas dari para anggotanya di pemerintahan yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi maupun suap yang membuat program-program sayap partai tersebut yang coba menarik dukungan dari masyarakat bawah seperti petani menjadi tidak berhasil menambah dukungan yang banyak.
Sedangkan dampak dari sisi petani dengan adanya bantuan-bantuan sosial yang diberikan partai-partai politik ini tidak mampu menjawab masalah yang lebih penting bagi petani seperti alih fungsi lahan dan kepemilikan lahan para petani kecil yang semakin hari kian mengecil akibat pembangunan yang dilakukan pemerintah ataupun pihak swasta.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah dari masa Gus dur hingga pemerintahan pertama SBY tidak berhasil merumuskan kebijakan yang menaikkan kesejahteraan para petani yang terjadi justru sebaliknya.
Praktik penyelewangan wewenang dan kekuasaan kian marak disetiap pemerintahan yang membuat masyarakat kalangan bahwa seperti kaum petani semakin dipinggirkan dalam fokus pemerintah.
Meski sudah ada beberapa pejabat daerah yang mencoba mendukung program kesejahteraan petani tetapi kebanyakan dari mereka hanya ingin meraih dukungan suara dalam pilkada didaerah pemilihan mereka sehingga aksi-aksi mereka dalam mendukung petani mayoritas hanya janji kampanye belaka tanpa adanya kebijakan atau Langkah konkret yang secara langsung dilakukan ketika menjabat di suatu daerah.
Dan jika ada pejabat yang memang serius untuk memperbaiki kondisi petani masih belum mendapatkan dukungan yang sepantasnya dari pemerintahan pusat.
Daftar Pustaka:
- Badan Pusat Statistik (13 Juli 2020), Hasil Penghitungan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif Tahun 1955-2019. Diakses dari https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/04/1573/hasil-penghitungan-suara-sah-partai-politik-peserta-pemilu-legislatif-tahun-1955-2019.html, tanggal 6 Juni 2022, pukul 11.12.
- Ginting, D. O. B. (2019). Peran Partai Politik dalam Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan. Skrpsi. Medan: Universitas Sumatra Utara.
- Imawan, R. (2004). Partai Politik di Indonesia: Pergulatan setengah hati mencari jati diri. Naskah pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Politik FISIPOL UGM yang disampaikan pada, 4 September 2004.
- Kompas.com (18 Mei 2014), Muncul, Menang, dan Meredup. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2014/05/18/1609077/Muncul.Menang.dan.Meredup , tanggal 6 Juni 2022, pukul 11.43.
- Labolo, M., & Ilham, T. (2015). Partai politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia. Rajawali Pers.
- Nurjaman, A. (2014). Party Survival: Strategi Meraih Kursi di Era Reformasi. Jurnal Humanity, 9(2).
- Purwaatmoko, S. (2015). Pengaruh Perubahan Pola Koalisi Antar Parpol Terhadap Proses Pembuatan Kebijakan Sektor Perberasan (Studi Kasus: Era Pemerintahan Gus Dur dan Megawati, serta Era Pemerintahan Pertama SBY). Insignia: Journal of International Relations, 2(01), 54-76.
- Solahuddin, I. H. S. (2018). Pertanian: Harapan Masa Depan Bangsa. PT Penerbit IPB Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H