Mohon tunggu...
Harrista Psikolog
Harrista Psikolog Mohon Tunggu... Psikolog - psikolog klinis

psikolog klinis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dua Puluh Lima Hari Bersama Covid-19

4 Agustus 2021   09:28 Diperbarui: 4 Agustus 2021   09:57 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : upload.wikimedia.org

Ini adalah pengalamanku. Tanggal 9 Juli 2021 malam hari, badanku terasa demam, tulang tulang terasa linu. Masih berlangsung hingga esok harinya. Badan semakin sakit semua. 

Dilakukan Swab antigen tanggal 10 Juli 2021 oleh adekku sendiri yang berprofesi sebagai dokter, hasil positif. Badan lemas dan kepala pusing. Tgl 12 Juli 2021 aku mengikuti PCR (Polymerase Chain Reaction) di Rumah Sakit hasilnya positif. Resmilah diriku dinyatakan menderita Covid 19. 

Bagaimana perasaanku waktu itu? Kaget, bagaimana bisa? Aku yang selama ini cukup rajin untuk melaksanakan protokol kesehatan, ternyata ada Virus Corona bersarang di tubuhku. 

Tidak mudah bagiku. Mungkin hasilnya salah, mungkin ini hanya perlu pemeriksaan ulang, mungkin ini hanya demam biasa. Begitulah pikirku. 

Kesal, iya. Aku merasa kesal. Mengapa hal ini terjadi padaku. Secara, aku tidak di tempat keramaian, selalu pakai masker ketika bepergian, tidak nongkrong di cafe, rajin cuci tangan. Mengapa tidak orang lain saja yang tidak peduli pada protokol kesehatan?

Begitulah perasaanku.

Semakin rasa kesal ini muncul, maka semakin pusing yang kurasakan. Sakit kepala seperti ditusuk-tusuk. 

Nafas semakin berat.

Beruntung, saturasiku masih 95.

Aku pun mulai negosiasi dengan diriku sendiri dan Tuhan. Ok lah, aku terkena Covid, asal suami dan anak-anakku tidak.

Namun, kenyataan berkata lain. Selang tujuh hari kemudian setelah diriku demam, suami dan kedua anakku pun mengalami hal yang sama.

Hingga pada malam ke 7 sakit kepala itu semakin menjadi-jadi. Aku sungguh tidak kuat. Ini adalah sakit paling sakit yang pernah kurasakan dalam hidupku. Aku bilang pada Tuhan, Tuhan saya tidak kuat.

Sungguh, tidak kuat. Ampunilah saya Tuhan. 

Aku merasa, hidupku akan berakhir malam itu. Lalu, pada titik yang sudah tidak tertahankan lagi, terucaplah di hatiku, ya Tuhan, aku menerima sakit ini, segala pemberianMu adalah baik. 

Lalu, aku merasa lemas, dan tertidur. Esok paginya, tepat di hari ke delapan sejak muncul gejala, badanku terasa segar, sakit kepala sudah sembuh. Ajaib. Mual sudah mereda, dan mulai bisa makan, yang awalnya ada mual dan muntah. Mulai muncul anosmia.

Ya, Tuhan, sungguh aku orang berdosa.

Suamiku mengalami batuk dan pusing sepertiku. Kondisi anak-anak sungguh ajaib, demam cepat turun, terap ceria, dan makan dengan lahap.

Dalam situasi seperti ini, saat aku menangkupkan kedua tanganku hendak berdoa, tiada kata yang bisa terucap dari mulutku maupun hatiku. 

Sungguh tidak mampu. Hanya tangisan air mata yang selalu keluar dari mataku. Ya, tangisan ini adalah doa. Saat ini bukan waktunya bagiku untuk berkata-kata, tetapi waktuNya Tuhan berkata kepadaku. Ini adalah waktu bagiku untuk diam, hening dan mendengarkan Nya.

Aku melihat kondisi suami semakin melemah. Batuk semakin parah, demam tidak segera turun. Kulihat kedua anakku, tetap ceria, tidak khawatir. Si sulung, 12 tahun dan si bungsu, 6 tahun. Mereka tetap bersukacita dalam segala hal.

Aku merasakan kekuatan iman dari kedua anakku. Bersukacitalah senantiasa. 

Matius 11:30 Sebab Kuk yang Kupasang itu enak, dan bebanKu pun ringan.

Seperti anak bertemu dengan Bapanya, tanpa berkata kata pun, Bapa tahu yang dirasakan anak, dan anak pun tahu perasaan Bapa. Hanya dengan tatapan mata dan air mata mengalir, itulah diriku saat bertemu dalam doa. Tiada mampu berkata, hanya air mata dan keyakinan bahwa Bapa mengerti.

Kondisi kami sekeluarga mulai membaik. Suamiku semakin pulih bahkan PCR ulang hasilnya langsung negatif. Sementara, aku masih positif. Aku tetap bersyukur dengan menikmati pemberian Bapa.

Hingga hari ke 25. Tanggal 3 Agustus PCR ulang yang kedua dinyatakan negatif. Kedua anakku pun selesai masa isolasi mandiri dengan kondisi sehat bugar. 

Menjadi manusia baru.

Terimakasih Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun