Perang Dunia Kedua, tentara Kekaisaran Jepang sempat mengembangkan kekuasaannya hingga mencapai Filipina. Saat itu, pucuk pimpinan tentara Amerika Serikat di Timur Jauh yang berada di Pulau Corregidor diperintahkan oleh Presiden Roosevelt untuk meninggalkan pulau tersebut menuju Australia, khawatir ia akan dijadikan tahanan perang oleh pihak Jepang.Â
Ia mengatakan kepada rakyat Filipina sebuah kalimat yang amat terkenal, "I shall return" dan ia menepati janjinya 3 tahun kemudian. Ia adalah Jenderal Besar Douglas MacArthur yang terkenal itu.
Kisah Jenderal MacArthur ini langsung terbersit di benak saya ketika membaca surat Grace Natalie, Ketua Umum PSI yang mengakui kekalahan PSI pada Pileg 2019 ini.Â
Dalam suratnya, ia mengatakan bahwa PSI akan kembali menyapa rakyat, bukan 5 tahun lagi, tetapi besok. Mengakhiri surat tersebut, Grace mengatakan bahwa PSI shall return, soon, seperti Jenderal MacArthur.
Akankah PSI dapat melakukan comeback?
Kehadiran PSI pada Pileg 2019 ini harus diakui membawa warna yang berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. PSI kerap kali membuat gaduh dengan berbagai aksi-aksinya yang kontroversial, seperti penganugerahan Gabut Award kepada DPR, Kebohongan Award pada Prabowo-Sandi, dan lain sebagainya.Â
Keberanian PSI Â dalam menyampaikan pandangan politiknya yang tidak lazim disuarakan oleh partai-partai politik di Indonesia juga perlu mendapat sorotan.Â
PSI adalah satu-satunya partai yang berani dengan lantang membela kasus-kasus intoleransi yang terjadi di penjuru tanah air, dalam kasus Pak Slamet di Jogja misalnya.Â
PSI juga tak sungkan mengkritisi partai-partai nasionalis yang lebih senior. Meskipun hal ini pada akhirnya membuat aksi saling sikut sesama parpol koalisi pendukung pasanngan capres 01 tak terhindarkan.
Kemarin (17 April 2019) rakyat telah menentukan pilihannya dan berdasarkan perhitungan hasil quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa PSI memperoleh sekitar 2% suara nasional. Hasil ini berada dibawah ambang batas parlemen yang ada di angka 4%.Â
Maka dengan demikian, PSI hampir dapat dipastikan tidak mendapat kursi di DPR pada masa bakti 2019-2024. Meskipun demikian, PSI masih mungkin mendapatkan kursi di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Menurut saya, inilah kunci comeback dari PSI.
Salah satu janji kampanye PSI adalah meningkatkan kinerja anggota DPR/DPRD melalui aplikasi  solidaritas, dimana masyarakat dapat menilai kinerja legislator yang bernaung di PSI.Â
Apabila janji ini dapat ditunaikan dengan baik, maka masyarakat dapat melihat perbedaan PSI dengan partai lainnya. Misalnya, dari segi kehadiran rapat dan intensitas berinteraksi dengan masyarakat. Anggota DPRD dari PSI harus menjadi ujung tombak dalam membentuk citra partai.
Selain itu, PSI juga perlu mengubah konten kampanye nya yang menarik bagi kelompok minoritas (melawan intoleransi) dan agak menyinggung kelompok mayoritas (menolak perda syariah/injil, poligami, dll). Hal ini tetap dapat menjadi kebijakan dari PSI, tetapi bukan yang utama disuarakan. Â
PSI akan dapat menarik lebih banyak suara apabila menonjolkan hal-hal yang lebih netral bagi kelompok mayoritas, misalnya meningkatkan kinerja DPR dan melawan korupsi.Â
Amat disayangkan statement PSI yang menyatakan bahwa anggotanya siap disadap tidak terlalu marak diberitakan di media. Pada pileg 2019 ini, PSI lebih banyak meng counter hoax-hoax yang dibuat untuk merugikan dirinya, sehingga tidak dapat terlalu fokus menonjolkan hal-hal yang lebih substansial.
Jadi, apakah PSI dapat seperti Jenderal MacArthur yang menunaikan janjinya untuk kembali? Apabila anggota DPRD PSI dapat bekerja dengan baik. Apabila PSI dapat menarik simpati lebih banyak kelompok mayoritas. Apabila PSI tetap menjadi partai yang terbuka dan progresif.Â
Maka, PSI niscaya akan "kembali" dan muncul sebagai partai yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat pada masa bakti yang selanjutnya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H