Tahun 2009, Presiden SBY Â mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan di Indonesia1. Angka ini melonjak dari 12.3% pada tahun sebelumnya. Hal ini tentunya sebuah tindakan yang tepat demi majunya kualitas SDM di Indonesia. Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan pertama yang menjabat setelah Rezim Apartheid bahkan mengatakan bahwa education is the most powerful weapon which you can use to change the world.
Di era globalisasi yang modern, pendidikan memiliki arti yang penting dan semakin penting. Globalisasi membuat dunia semakin sempit, perdagangan bebas membuat batasan negara semakin kabur, dan teknologi membuat tenaga manusia semakin tergantikan. Semuanya itu, secara akumulatif, menuntut manusia untuk melaju lebih cepat, terutama pikirannya.
Survival of the fittest dan pendidikan kini dapat dikaitkan dengan erat. Saat ini, pencari kerja bukan hanya bersaing dengan sesamanya yang tinggal di satu wilayah atau kota. Tetapi, bersaing pula dengan orang-orang yang tinggal nun jauh di kota dan negara lain2. Globalisasi membuat hal ini mungkin, begitu pula perdagangan bebas dan teknologi. Kompetisi dilakukan demi mencari yang paling hebat. Only the fittest can survive!
Permasalahannya dengan sumber daya manusia Indonesia, apakah kita bisa bersaing dengan tenaga kerja asing? Apakah pendidikan kita mampu membuat tenaga kerja kita kompeten dan siap berkompetisi? Apabila ya, bersyukurlah kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tapi, apabila tidak, apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya?
Seperti yang sudah diuraikan diatas, sejak periode kedua pemerintahan Presiden SBY, anggaran pendidikan di Indonesia sudah dipatok di angka 20%. Nilai yang begitu fantastis. Tidak ada pos anggaran yang lebih besar dari anggaran pendidikan. Ini berarti Indonesia sudah sadar arti penting pendidikan, sebuah langkah awal yang baik.
Anggaran besar diatas, sebagian besar digunakan untuk mensejahterakan guru dan tenaga pengajar yang tadinya hidup ditengah kemiskinan3. Juga untuk memperbaiki sekolah-sekolah dan fasilitas pendidikan yang hampir roboh. Tentu hal ini adalah tepat, bagaimana pendidikan yang efektif dapat dilaksanakan apabila tidak memiliki tempat yang baik?
PERTAMA
Dari 2009 hingga 2017, artinya sudah 8 tahun anggaran pendidikan menjadi jawara di APBN. Seharusnya, banyak guru yang sudah mulai terangkat dari kemiskinan dan sekolah yang diperbaiki. Lalu, apakah jika kita lanjutkan program ini sampai 100 tahun yang akan datang, cukup untuk membuat Indonesia menjadi negara dengan kualitas SDM yang baik? Atau, misalkan anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 50% dari APBN selama 100 tahun, apakah kualitas SDM Indonesia akan meningkat secara efektif? Saya rasa jawabannya adalah TIDAK.
Kesejahteraan guru dan fasilitas belajar memang berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan. Tetapi, kedua hal ini memiliki titik jenuh yang begitu cepat timbul. Mari kita bayangkan seorang yang tidak dapat mengajar, lalu mendapat gaji yang besar dan fasilitas mengajar yang begitu baik. Apakah anak yang diajarnya dapat dikatakan sebagai SDM yang berkualitas? Saya hampir yakin, jawabannya adalah tidak. Tetapi, apabila ada seorang yang mendapat pengetahuan mengajar yang baik, walaupun hidupnya lebih tidak sejahtera dan tidak mendapat fasilitas mengajar yang baik, pengajar tersebut masih dapat menghasilkan SDM yang berkualitas. Disini kita dapat melihat bahwa kualitas guru begitu penting dalam menghasilkan SDM yang berkualitas. Pemerintah harus berhati-hati dalam menganggarkan anggaran, jangan sampai 20% tersebut habis sia-sia untuk menyejahterakan perut guru dan memewahkan sekolah-sekolah, tetapi tidak mengisi otak dan isi kepala guru-guru tersebut dengan teknik mengajar dan motivasi yang baik. Sehingga pada akhirnya menjadi sia-sia dan tidak mengubah SDM Indonesia.
KEDUA
Pendidikan di Indonesia juga sepertinya cukup jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Malaysia, apalagi Singapura. Sepertinya ada yang kurang pas dengan sistem Ujian Nasional (UN) di Indonesia. UN memang diperlukan untuk mengukur kualitas siswa, tetapi kontennya yang perlu diperbaiki. Apabila dibandingkan dengan sistem ujian di Singapura (Primary School Leaving Exam/PSLE) atau dengan yang diselenggarakan oleh Cambridge, Inggris (Cambridge Primary Checkpoint), Ujian Nasional di Indonesia sebagian besar adalah soal hafalan, berbeda dengan ujian dari PSLE dan Cambridge yang lebih memerlukan pengertian mengenai suatu isu (terlampir contoh soal PSLE dan Cambridge dengan UN). Ujian Nasional memerlukan anak untuk menghafal begitu banyak hal, yang begitu rumit dan sulit. Sedangkan PSLE dan Cambridge hanya membutuhkan anak untuk memahami tidak terlalu banyak hal. Tetapi, fakta menunjukkan Singapura memiliki kualitas pendidikan dan SDM yang lebih baik dibandingkan Indonesia. Apa penyebabnya?
Siswa di Indonesia, kerap kali menghabiskan waktu mereka untuk belajar sesuatu yang akan mereka lupakan setelah ujian. Memang diperlukan studi khusus mengenai hal ini, tetapi hipotesa yang saya ajukan adalah, sebagian besar siswa akan melupakan sebagian besar yang mereka hafal untuk UN dalam waktu kurang dari satu bulan setelah ujian diselenggarakan. Mengapa bisa begini? Terkhusus untuk mata pelajaran IPA, UN menyajikan pertanyaan yang betul-betul merupakan hafalan. Beberapa contoh soal favorit UN adalah; enzim-enzim yang ada di mulut dan saluran pencernaan, hewan-hewan yang dilindungi, satelit-satelit yang memutari planet di tata surya, dan masih banyak lainnya. Disinilah letak bahayanya, memang siswa dapat dibuat dan dipaksa untuk menghafal hal tersebut, tetapi sebagian besar siswa tidak mengerti apa yang mereka hafal. Tanpa mengerti apa yang mereka hafal, tak membutuhkan waktu lama sebelum hal-hal tersebut akan dilupakan. Dua faktor yang dapat mungkin berpengaruh adalah, guru yang tidak mampu membuat siswa mengerti (guru yang: "pokoknya kamu hafalin") dan materi ujian itu sendiri.
Kasus lainnya, kini dalam pelajaran Sejarah di jenjang SMP dan SMA. Kerap kali dibawakan oleh guru senior yang pertanyaannya juga begitu antik, sudah ditanyakan sejak 30 tahun yang lalu sebelum adanya Google. Kapan perang dunia kedua dimulai? Kapan berakhirnya? Siapa saja yang berpartisipasi? Kalau pertanyaannya masih seperti ini, kualitas SDM Indonesia di jenjang SMP dan SMA, bisa kalah dengan anak kelas 6 di negara maju yang begitu lekat dengan teknologi. Toh, pertanyaan menghafal seperti ini tidak digunakan lagi di dunia riil yang memanfaatkan teknologi. Sekali lagi, yang seharusnya dilakukan adalah membuat siswa mengerti apa yang terjadi, mengapa bisa terjadi, apa akibatnya, dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, siswa dapat tertarik dan seiring berjalannya waktu dapat tahu mengenai hal-hal tersebut. Baru dengan demikian pengetahuan siswa dapat terpatri dengan lebih baik dan bahkan mungkin secara permanen.
KETIGA
Kembali kepada pengajar, kali ini untuk jenjang perguruan tinggi. Banyak sekali cerita mahasiswa yang mengeluhkan tingkah laku dosennya. Tidak sedikit dosen, khususnya di perguruan tinggi swasta, yang dapat dikategorikan tidak layak dianggap pengajar. Mengapa? Jarang masuk, suka dan minta disuap, cabul, tidak jelas dalam mengajar dan menilai, dan lain sebagainya. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi kunci utama dalam menghasilkan kualias SDM yang mumpuni, tetapi akibat dosen-dosen yang disebutkan diatas, banyak mahasiswa yang akhirnya lulus dengan nama yang semakin panjang dengan menyandang gelar sarjana, tetapi hanya memiliki pengetahuan yang tidak berbeda jauh dengan lulusan SMA. Bagaimana bisa lulusan Indonesia berkompetisi dengan lulusan negara lain kalau hal ini terus terjadi? Â
Apabila Indonesia ingin menjadi negara yang maju, pendidikan bagi penduduknya perlu diperhatikan dengan seksama. Masih belum terlambat bagi Bangsa ini, Indonesia masih akan menikmati bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada 2020 hingga 2030 4. Jika kita manfaatkan berkah yang hanya terjadi sekali ini, Indonesia mungkin akan berhasil menjadi negara yang maju. Tetapi jika tidak, bukan tidak mungkin pula Indonesia akan menjadi negara dengan jumlah penduduk produktif yang banyak tetapi hanya sebatas tenaga kerja kasar saja.
Apabila Indonesia ingin menjadi negara yang lebih baik, pemerintah perlu mengevaluasi pendidikan yang dilakukan di negeri ini. Apakah berhasil mencetak SDM yang mumpuni atau tidak? Atau jangan-jangan hanya sebatas manusia-manusia yang hanya bisa menghafal, lalu lupa, sehingga kosong melompong, tanpa bisa berpikir dengan kritis.
Apabila Indonesia ingin menjadi negara yang makmur, masyarakat harus sadar dan ikut berjuang di dalamnya, terutama yang menyadari kondisi saat ini. Â
2 http://www.asean.org/storage/images/2015/October/outreach-document/Edited%20MRA%20Services-2.pdf
4 http://www.antaranews.com/print/145637/bkkbn-indonesia-mendapat-bonus-demografi-pada-2020
5 Contoh soal PSLE & Cambridge dengan UN
PSLE : http://www.testpapersfree.com/p6/
Cambridge http://www.cie.org.uk/images/25174-science-specimen-paper-1-2014-2017.pdf
UN:https://sites.google.com/site/sekolahdasardotnet/soal-us-ipa-2017/Latihan%20Soal%20US%202017%20IPA%201.pdf?attredirects=0&d=1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H