Mohon tunggu...
Harris Suhardja
Harris Suhardja Mohon Tunggu... Guru - Memulai untuk menulis

Selalu berpikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sesuatu dengan Pendidikan di Indonesia

22 Agustus 2017   22:02 Diperbarui: 23 Agustus 2017   08:14 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siswa di Indonesia, kerap kali menghabiskan waktu mereka untuk belajar sesuatu yang akan mereka lupakan setelah ujian. Memang diperlukan studi khusus mengenai hal ini, tetapi hipotesa yang saya ajukan adalah, sebagian besar siswa akan melupakan sebagian besar yang mereka hafal untuk UN dalam waktu kurang dari satu bulan setelah ujian diselenggarakan. Mengapa bisa begini? Terkhusus untuk mata pelajaran IPA, UN menyajikan pertanyaan yang betul-betul merupakan hafalan. Beberapa contoh soal favorit UN adalah; enzim-enzim yang ada di mulut dan saluran pencernaan, hewan-hewan yang dilindungi, satelit-satelit yang memutari planet di tata surya, dan masih banyak lainnya. Disinilah letak bahayanya, memang siswa dapat dibuat dan dipaksa untuk menghafal hal tersebut, tetapi sebagian besar siswa tidak mengerti apa yang mereka hafal. Tanpa mengerti apa yang mereka hafal, tak membutuhkan waktu lama sebelum hal-hal tersebut akan dilupakan. Dua faktor yang dapat mungkin berpengaruh adalah, guru yang tidak mampu membuat siswa mengerti (guru yang: "pokoknya kamu hafalin") dan materi ujian itu sendiri.

Kasus lainnya, kini dalam pelajaran Sejarah di jenjang SMP dan SMA. Kerap kali dibawakan oleh guru senior yang pertanyaannya juga begitu antik, sudah ditanyakan sejak 30 tahun yang lalu sebelum adanya Google. Kapan perang dunia kedua dimulai? Kapan berakhirnya? Siapa saja yang berpartisipasi? Kalau pertanyaannya masih seperti ini, kualitas SDM Indonesia di jenjang SMP dan SMA, bisa kalah dengan anak kelas 6 di negara maju yang begitu lekat dengan teknologi. Toh, pertanyaan menghafal seperti ini tidak digunakan lagi di dunia riil yang memanfaatkan teknologi. Sekali lagi, yang seharusnya dilakukan adalah membuat siswa mengerti apa yang terjadi, mengapa bisa terjadi, apa akibatnya, dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, siswa dapat tertarik dan seiring berjalannya waktu dapat tahu mengenai hal-hal tersebut. Baru dengan demikian pengetahuan siswa dapat terpatri dengan lebih baik dan bahkan mungkin secara permanen.

KETIGA

Kembali kepada pengajar, kali ini untuk jenjang perguruan tinggi. Banyak sekali cerita mahasiswa yang mengeluhkan tingkah laku dosennya. Tidak sedikit dosen, khususnya di perguruan tinggi swasta, yang dapat dikategorikan tidak layak dianggap pengajar. Mengapa? Jarang masuk, suka dan minta disuap, cabul, tidak jelas dalam mengajar dan menilai, dan lain sebagainya. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi kunci utama dalam menghasilkan kualias SDM yang mumpuni, tetapi akibat dosen-dosen yang disebutkan diatas, banyak mahasiswa yang akhirnya lulus dengan nama yang semakin panjang dengan menyandang gelar sarjana, tetapi hanya memiliki pengetahuan yang tidak berbeda jauh dengan lulusan SMA. Bagaimana bisa lulusan Indonesia berkompetisi dengan lulusan negara lain kalau hal ini terus terjadi?  

Apabila Indonesia ingin menjadi negara yang maju, pendidikan bagi penduduknya perlu diperhatikan dengan seksama. Masih belum terlambat bagi Bangsa ini, Indonesia masih akan menikmati bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada 2020 hingga 2030 4. Jika kita manfaatkan berkah yang hanya terjadi sekali ini, Indonesia mungkin akan berhasil menjadi negara yang maju. Tetapi jika tidak, bukan tidak mungkin pula Indonesia akan menjadi negara dengan jumlah penduduk produktif yang banyak tetapi hanya sebatas tenaga kerja kasar saja.

Apabila Indonesia ingin menjadi negara yang lebih baik, pemerintah perlu mengevaluasi pendidikan yang dilakukan di negeri ini. Apakah berhasil mencetak SDM yang mumpuni atau tidak? Atau jangan-jangan hanya sebatas manusia-manusia yang hanya bisa menghafal, lalu lupa, sehingga kosong melompong, tanpa bisa berpikir dengan kritis.

Apabila Indonesia ingin menjadi negara yang makmur, masyarakat harus sadar dan ikut berjuang di dalamnya, terutama yang menyadari kondisi saat ini.  

1 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-988470/sby-janjikan-anggaran-pendidikan-20-apbn-2009

2 http://www.asean.org/storage/images/2015/October/outreach-document/Edited%20MRA%20Services-2.pdf

3 http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2017/05/02/pendidikan-belum-berkualitas-anggaran-pendidikan-20-persen-dilanggar-400301

4 http://www.antaranews.com/print/145637/bkkbn-indonesia-mendapat-bonus-demografi-pada-2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun