Sejak remaja, saya selalu diajak pergi ke barbershop untuk cukur rambut. Buat laki-laki, barbershop adalah tempat yang tepat untuk bercukur. Mengapa? Karena barbershop memang dikhususkan untuk cukur rambut laki-laki. Barbershop sendiri berasal dari kata latin"barba" alias janggut. Jadi memang tempatnya buat laki banget, mana ada perempuan yang berjanggut.Â
Adapun ciri khas sebuah barbershop adalah adanya tiang yang berputar dengan warna merah putih, kadang ada birunya juga. Ada yang tau sejarahnya kenapa ada tiang berputar seperti itu?
Jadi begini. Dulu profesi barbershop itu tidak hanya sebagai tukang cukur rambut saja. Tapi juga dapat mengobati penyakit dalam yang memerlukan operasi kecil seperti membersihkan darah kotor, bahkan mencabut gigi. Jadi semacam tabib.Â
Pernah dalam sebuah barbershop ketika seorang sedang melakukan operasi kecil, handuk putih yang berfungsi untuk membersihkan darah, oleh seorang barbermen dilempar ke luar dan menyangkut pada sebuah tiang dan menyerupai warna merah dan putih. Nah sejak saat itu, untuk menandai sebuah barbershop dibuat tiang berwarna merah putih.Â
Agar menarik dibuat seolah berputar. Itu kejadiannya di Eropa. Lalu barbershop merambah ke Amerika. Maka tiang tersebut ditambah warna biru. Biar sesuai dengan benderanya. Namun sekarang jadi salah kaprah, kadang warnanya jadi suka-suka barbermen-nya, ada yang warna ungu, sampai pink.
Itu sejarah tiang berputar  barbershop yang saya dapatkan dari Bang Henoch ketika bercukur di tempatnya Pancos Barbershop di kawasan Kemang Jakarta. Sambil mencukur pria gondrong dan bercambang yang bernama lengkap Andreas Henoch Jehaziel Sitompul ini bercerita tentang kariernya sebagai Master Barber Indonesia yang dirintis sejak tahun 2013 tepatnya bulan Agustus 2013,
"Saat itu saya berada pada titik mentok, karena setiap pergi potong rambut baik ke salon atau barbershop, saya melihat potongan mereka hampir sama dan membuat saya tidak puas." Papar Henoch sambil mereka-reka bentuk kepala saya dan menyarankan potongan rambut yang cocok buat saya.
"Setelah saya pelajari saya melihat mereka punya kecenderungan bekerja dengan tidak teliti atau kurang detil, itulah yang menyebabkan saya memutuskan untuk memotong rambut saya sendiri. Saya sudah pernah mengujungi tempat potong rambut mulai dari yang premium, low end hingga high end, namun yang mereka tawarkan justru lebih ke fasilitas daripada skill. Sedangkan saya jika pergi ke tempat potong rambut tujuannya hanya satu, yaitu potong rambut. Nah, mereka tidak bisa memberi seperti apa yang saya harapkan." Ujar Henoch sambil memilih-milih ukuran sisir yang ditempelkan pada mesin cukur.
"Akhirnya saya memutuskan untuk usaha sendiri, saya beli tools dan saya mulai memotong rambut saya sendiri dan hasilnya gagal, karena itu adalah pertama kali saya mencoba dan saya tidak ada background sama sekali dalam potong rambut. Namun keinginan untuk punya rambut yang keren itu, mengalahkan rasa kegagalan yang saya terima saat itu. Jadi ketika gagal berkali-kali, berkali-kali juga saya mengulanginya dan terus belajar, salah satu referensi saya dari menonton via YouTube. Tapi video-video yang saya tonton pun, tidak memberikan informasi yang akurat dan benar. Yang disampaikan oleh narator tidak sesuai dengan yang ditayangkan".Â
Contohnya, ketika memberikan tutorial memotong rambut menggunakan tools dengan nomor sekian, tetapi visual yang ditayangkan menunjukkan tools dengan nomor yang lain. Itulah yang membuat saya ingin belajar lebih dalam lagi, supaya saya bisa punya rambut yang keren, tidak ada pemikiran sama sekali bahwa suatu saat, saya akan menjadi seorang penata rambut pria atau barber. Hal ini terus berlangsung sampai waktu dimana teman saya melihat "wih rambut lo keren juga ya", dan dia menanyakan saya potong dimana.Â