Mohon tunggu...
Harnita Rahman
Harnita Rahman Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Senang Menulis, senang berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tatapan Ayi - Sebuah Cerita Fabel yang Pilu

7 Januari 2021   07:36 Diperbarui: 7 Januari 2021   07:51 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ke-36

"Sst..sst..." dia mendekat padaku. Saya melihatnya dengan malas. Dia pasti tahu. Sejak hari pertama, ini upaya kesekian kalinya ia mencoba membuka komunikasi denganku.

".iihiiii..2 hari lagi kami akan lepas liar, sooob, betulkan sayang?" Tanyanya pada betinanya yang menggelayut malas di sudut pohon. Semakin hari ia kelihatan sangaat senang. Saya iri.

" Pagi tadi kami dengar, nyanyianmu sangat pilu, sooob. Aku tahu. Ini berat, tapi kamu harus mencoba" katanya sok bijak.

"Hihih., Parmoooo, kamu lupa bagaimana waktu kali pertama kita bertemu?  Kamu jauh lebih patah hati di banding dia" suara betinanya, si Ayang terdengar mengejeknya mesra. Parmo melompat cepat, memeluk Ayang tidak kalah mesranya.

"Tapi, Yaaaang, ini betina ketiganya. Saya khawatir, dulu saya hanya membutuhkan 1 kali bertemu dengan kami, Yaaang" Katanya dengan senyum menggoda

"Iyaaa...1x dalam seminggu selama 25 minggu..,huuuh. Jual Mahal" Ayang mencibir tertawa, si Parmo tertawa tidak kalah kerasnya. Mereka seolah bernostalgia.

"Ingat soooob, kita sebentar lagi hilang, punah. Jika kamu menolak terus, generasi kita akan habis. Kita beruntung ada di sini. Pikirkan generasi kita, jangan egois" Katanya lagi padaku.

Dan seperti kemarin-kemarin, aku diam tidak ingin peduli. Semakin dia membujuk, semakin aku ogah. Hari ini seperti kata Parmo, satu betina akan datang lagi. Aku sungguh tidak mampu.

Aku masih berdengkur di bawah pohon Bingbin. Sesekali kugapai beberapa buahnya yang sudah matang. Kuabaikan Parmo yang tidak berhenti mengoceh membujukku. Betina kemarin, namanya Res. Dia menarik, cantik, atraktif. Tapi aku betul-betul tidak tertarik. Melihatnya saja, aku ogah.

Bukan, bukan karena betina-betina itu. Masalahnya ada padaku. Aku tidak mampu. Ada bayangan  Fenny, betinaku dan tatapan sedih bayiku Royi.

Fenny ku yang malang,  kudapati dia tak berdaya setelah aku meninggalkan mereka di satu pagi. Aku sibuk makan, bernyanyi, mengitari kanopi hutan, seperti pagi-pagi lainnya. Tak pernah terpikir akan terjadi pada keluargaku. Pada betinaku, pada anakku.

Segerombolan manusia menyerang mereka pagi itu. Anak ku Royi, yang masih menyusu diambil paksa oleh mereka. Dan meninggalkan Fennyku dengan tubuh luka lebam tak tertolong.

Aku yang hampir mati dalam kesedihan, diselamatkan dibawa ke sini. Demi menyelamatkan spesies kami yang tinggal seiprit di muka bumi. Jika tinggal seiprit, kenapa manusia yang katanya cerdas dan penyayang binatang itu, tega mengambil anakku, Royi yang masih menyusui, setelah menyiksa ibunya. Sadis

Aku duduk termenung, saat seekor Owa lagi dibawa ke wilayah sebelahku. Aku melihatnya lewat dipapah dengan kain dari jauh. Tubuhnya seperti terluka parah. Saat dia lewat di depanku, matanya menatapku. Kami bertatapan.

Tatapan itu. Aku ingat. Aku berdesir getir. Tatapan itu persis tatapan terakhir Fennyku. Tidak salah lagi.

Si Parmo mendekat "waaah, sepertinya saya salah informan, bukan betinamu yang datang, ternyata penghuni baru yang datang. Kira-kira dia kenapa yah?" Tanyanya padaku.

"Manusia. Sudah pasti manusia" Kataku marah.

Hari ke-40

Si Parmo dan Ayang sudah pergi, tempat ini sunyi semakin sunyi. Si penghuni baru yang datang seminggu lalu juga baru saja pulih. Ia cukup pendiam. Saya juga tidak pernah menegurnya. Kami hanya saling melihat dan tersenyum. Saling melempar nyanyian satu sama lain di pagi hari.

Untuk ukuran pejantan, tubuhnya cukup ramping. Kalau tidak salah dengar, namanya Ayi. Pagi ini, baru kali pertama ia menyanyi dengan cukup panjang. Suaranya begitu merdu.

"Halo..maaf baru sempat menyapa " katanya sopan. Saya tersenyum. Saya baru pulih. Kamu sudah lama di sini?"

"Iya. Sudah hampir 3 bulan. Walau diatur manusia, tempat ini tidak kurang apapun" Kataku sedikit sinis.

"Pasti kamu juga punya pengalaman yang sama denganku." Katanya terus terang. Ia semakin mendekat, melangkah pelan, dan kelihatan sangaat, anggun? Aku heran, dia kan jantan. Tapi..

"Bukan aku, betinaku" kataku cepat. Dia mengangguk, dalam dan mengerti. Lalu kami terdiam.

Hari demi hari, kami melewati banyak pagi bersama. Ayi kelihatan selalu lemah, mungkin luka-luka masih tersisa di bagian dalam. Dia tidak bergerak terlalu aktif. Kehadirannya, membuatku bersemangat. Pagi menjadi tidak begitu sunyi karenan nyanyiannya sungguh indah.

Dia tidak cerewet seperti Parmo, tapi dia menyenangkan diajak cerita. Walau tubuhnya kecil, dia suka makan apapun. Segala biji tumbuhan dia makan dengan lahap. Semakin hari, dia pun menggelantung dengan gembira.

Hari 47


Si Ayi di bawa ke ruang observasi. Sudah 2 Hari di sana. Perban di selangkangannya akan dibuka hari ini, katanya. Hampir dua minggu perban itu diganti, dibalut lagi. Semoga dia bisa bebas bergerak dengan bebas setelah itu.

Lalu, saya liat beberapa manusia datang mengantar seekor owa. Biasanya kalau yang datang cukup banyak, mereka mengantar betina untukku. Jika dipikir-pikir hampir sebulan, mereka tidak memperkenalkan satu betina pun padaku.  Aku bersiap. Aku rasa kali ini aku pun akan menolak.

Tapi, langkah itu aku kenal. Semakin dekat, semakin jelas. Dia Ayi. Dia ternyata betina, dan pagi ini dia terlihat begitu menarik.

Aku luluh pada Ayi. Jika ingat, aku mungkin luluh sejak hari pertama melihatnya. Tatapannya adalah tatapan yang sama, yang mestinya saya selamatkan.

***

Cerita ini di tulis untuk Owa Jawa. Salah satu jenis kera yang sebentar lagi punah. Spesies mereka diperjualbelikan dengan illegal untuk dijadikan hewan peliharaan. Naasnya, Owa Jawa adalah primata yang sangat setia. Jika betinanya mati (biasanya mati karena mempertahankan bayinya) pejantan sulit bahkan nyaris tidak bisa menikah dengan betina lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun