Fenny ku yang malang, Â kudapati dia tak berdaya setelah aku meninggalkan mereka di satu pagi. Aku sibuk makan, bernyanyi, mengitari kanopi hutan, seperti pagi-pagi lainnya. Tak pernah terpikir akan terjadi pada keluargaku. Pada betinaku, pada anakku.
Segerombolan manusia menyerang mereka pagi itu. Anak ku Royi, yang masih menyusu diambil paksa oleh mereka. Dan meninggalkan Fennyku dengan tubuh luka lebam tak tertolong.
Aku yang hampir mati dalam kesedihan, diselamatkan dibawa ke sini. Demi menyelamatkan spesies kami yang tinggal seiprit di muka bumi. Jika tinggal seiprit, kenapa manusia yang katanya cerdas dan penyayang binatang itu, tega mengambil anakku, Royi yang masih menyusui, setelah menyiksa ibunya. Sadis
Aku duduk termenung, saat seekor Owa lagi dibawa ke wilayah sebelahku. Aku melihatnya lewat dipapah dengan kain dari jauh. Tubuhnya seperti terluka parah. Saat dia lewat di depanku, matanya menatapku. Kami bertatapan.
Tatapan itu. Aku ingat. Aku berdesir getir. Tatapan itu persis tatapan terakhir Fennyku. Tidak salah lagi.
Si Parmo mendekat "waaah, sepertinya saya salah informan, bukan betinamu yang datang, ternyata penghuni baru yang datang. Kira-kira dia kenapa yah?" Tanyanya padaku.
"Manusia. Sudah pasti manusia" Kataku marah.
Hari ke-40
Si Parmo dan Ayang sudah pergi, tempat ini sunyi semakin sunyi. Si penghuni baru yang datang seminggu lalu juga baru saja pulih. Ia cukup pendiam. Saya juga tidak pernah menegurnya. Kami hanya saling melihat dan tersenyum. Saling melempar nyanyian satu sama lain di pagi hari.
Untuk ukuran pejantan, tubuhnya cukup ramping. Kalau tidak salah dengar, namanya Ayi. Pagi ini, baru kali pertama ia menyanyi dengan cukup panjang. Suaranya begitu merdu.
"Halo..maaf baru sempat menyapa " katanya sopan. Saya tersenyum. Saya baru pulih. Kamu sudah lama di sini?"