Memandang belantara manusia, semua tentu berbeda. Mulai dari berbahasa sampai berbiasa tak mampu kita membuatnya sama. Itulah mengapa Allah berkata, Dia mencipta kita bersuku-suku dan berbangsa untuk saling mengenal.
Ada kita punya tanah bernamakan Nusantara. Eloklah alamnya, subur tanahnya, yang menarik dunia ragam suku dan adat yang berbeda. Dengan itu muncul semua identitas kita sebagai bangsa yang kaya. Dengan itupun, kemerdekaan kita punya akan jati diri yang tak habis dan henti.
Begitu aku menyakinkan diri sendiri. Di sudut, di balik jeruji hanya membayangkan sejarah para salaf. “Lebih baik aku menjadi orang terdahulu, dengan waktu itu ada tempat untukku mengambil peran menjadi pejuang, hingga mati akupun tetap diingat”.
Itu yang kuujar ketika pertama di prodeo ini. Masuk dalam kurungan tanpa ada alasan yang kuat. Aku menjadi tertuduh dan di dalam tempat gelap, aku hanya dicelotehkan yang lainnya. “Sudahlah Pak Tua, kita ada masuk tentu mungkin ada salah.”
Salah katanya. Berfikirlah aku ke lembah sufi. Dalam-dalam aku ingat kembali, apakah memang selama ini ada salah dalam diri. Hanya berfikir tentang sebuah standardisasi dan ukuran, di mana orang sepertiku ketika masa jaya negara dengan hukum Allah, maka tentu ada hormat padaku.
Berfikir sadar, tentu adanya jasad ditempat berbeda, walau ruh merasa ada dalam Khilafatan ala Minha Nubuwwa. Mungkin karena tak ada persamaan standardisasi yang membuatku di prodeo ini.
“Astagfirullah wa a’tubu ilay’… Astagfirullah wa a’tubu ilay’”. Dalam khitmad dzikir sepertiga malam didahului sholat, sungguh hanya berfikir tentang bolak-baliknya dunia. Mengapa? Yang mulia dihina-dina, yang hina dimulia raja dirinya. Yang bijak dibuat salah bak pembajak. Yang buruk dibuat bak guru. Mengapa ? Mengapa ? Mengapa ?
Dari balik tempat munajat, muncul tanya. Bagiku tak tepat datangnya tetapi mungkin saja ada arti di baliknya.
“Engkau Pak Tua sudi kiranya beri kami mutiara hikmah. Berat dan panas rasanya jiwa ini dalam penjara. Sudah lama wajah kami tak juga terbasuh air mata. Mungkin ini masanya bagi kami seorang parewa, kembali kepada fitri yang nyata”.
Begitu menarik pikiranku. Para narapidana berucap, ingin aku mengajar padanya. Tetapi bukan itu yang menggugah batin ini, melainkan ujung perkataan Parewa tadi, ‘Kembali kepada fitri yang nyata’.
Bukan lagi aku berkata seolah, tetapi ujung kata pinta Parewa tadi. Seperti teguran yang diberikan padaku.
“Semoga ini menjadi hikmah tersendiri, khususnya bagi orang tua renta yang engkau pinta mutiara hikmah padanya”.
Bukanlah aku merendah tetapi ini seperti teguran bagi jiwa. Sampai mana kiranya aku tak henti dan tak jenuh dalam menyeru. Aku punya fitrah yang tak suka akan kedzaliman yang dibenarkan. Karenanya tugasku adalah tabligh menyampaikan.
“Apa maksud ucapanmu itu Pak Tua?”
Mungkin ini Hikmah dari yang Maha Kuasa, ada saja terawang yang berbeda masuk dalam pikir dan jiwa. Pikir ini tertuju pada seorang Guru. Bukan hanya tauladan dalam berucap, juga seorang yang lantang akan suara ‘perang’ melwan kebatilan. Ingatlah aku ke belakang, mungkin kenyataan penjara ini adalah pesan pembelajaran yang tertunda akan kehidupan. Kehidupan pertama dan kedua.
“Aku hanya inigin kembali mendidik diri ini”.
“Wahai kalian semua, ada tentu berbeda kemarinya aku dalam penjara dengan diri kalian. Bukan maksud menyata akan keberanianku berkata di depan penguasa, tetapi biarlah ini menjadi pembelajaranku dan kita bersama. Hanya ingin berkata pada kalian semua apa yang Buya-ku katakan tentang diri kita yang hidup dua kali”.
“Kehidupan yang pertama saat nyawa masih ada, hidup dengan masih adanya nyawa mau diisi dengan apa. Menjadi Khalifatullah Lillahi ta’ala, beribadah dan menyerukan hukumnya? atau menjadi Laknatullah penentangnya?”
“Kehidupan kedua dikenangnya diri kita. Maukah kita dikenang sebagai Alim yang tak gentar dengan mereka yang dzalim atau menjadi bagian yang Lalim dikenal sebagai pendzalim?”
“Tapi ingat yang kita pilih semua ada konsekuensinya, entah badan yang akan dicambuk dari depan secara nyata atau sebuah kurungan badan seperti sekarang”
Seperti itulah aku menjawab pada parewa tadi. Biarkanlah mereka semua memahami akan dilabuhkan ke mana jiwa, pikir dan diri ini. Biarlah mereka sadar dan berapi kembali pada sebenarnya fitri.
“Lalu bagaimana dengan limpahan dosa kami saat ini? Adakah bisa kami menuai kehidupan kedua, dengan nyawa yang masih melekat namun pribadi ini kotor berimbun dosa bahkan mungkin sampai waktu ini?”
Tanyanya parewa tadi padaku lagi, tetapi sekarang dengan tanyanya tak kusebut lagi mereka sebagai Parewa tetapi Pemuda Penuntun Hikmah. Tanyanya sudah cukup menunjukan keingan mereka untuk berubah.
“Lihatlah beberapa manusia, sungguh tak luput ia dari dosa, kecuali Baginda Nabi Sallallhu alaihi wasallam. Ketahuilah juga wahai anak muda diri inipun tak luput dari tingkah yang salah. Maka penggal terakhir pertanyaan kalian bukan hanya untuk diri kalian semua, tetapi akupun juga butuh berubah”.
Aku melihat keseriusan mereka, pemuda yang ingin berubah dan tingkahnya pun tak sabar untuk mendapat kehidupan kedua yang mulia.
“Ingatlah baik-baik, sahajakan difikir dan dihati bahwa amal dikehidupan pertama untuk mendapatkan kehidupan kedua, bukan semata-mata karena manusia, tetapi Lillahi ta’ala.
Dari gelagat dan rupa wajah, sepertinya mereka tiada tahu tentang kondisi luar. Tentang apa yang terajdi dinegeri ini. Waktu mereka termakan dalam jeruji, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Kalian semua dengarlah, biar aku mengulang yang terekam dalam sejarah hidup guru bangsa kita bahwa orang-orang eropa dahulu datang kemari untuk mencari apa yang tidak ada di tanah mereka. Tak hanya sehari, melainkan tiap tahun bahkan sampai saat ini”
Antusias mereka memaksaku untuk kembali berkata.
“Dahulu, kala berjaya tetapi tak menggapai kebenaran kepercayaan, juru kata dan bicara akan dakwah dari tanah sastra nan kaya datang kemari untuk membuat kita lebih berbudi akan ekistensi tuhan dengan sebenarnya iman. Namun, hilanglah daya saat ini . Salah satu nama dari sayuran pettai atau lamtoro mengendalikan politik. Hilanglah nilai kita, semakin modern semakin gila negeri ini dipandang, entah yang berkuasa maupun pendukung mereka. Bahkan sebelum haluan politik saat ini berganti, begitu pula yang dilakukan oleh negeri dengan kepalsuan demokrasi memanfaatkan penguasa negeri ini ”.
Semakin lama ujaranku pada mereka, perhatiannya semakin jauh menggali.
“Mengapa terjadi suatu dominasi dan korbannya adalah kita rakyat negeri ini, tidak cukupkah penjajahan terdahulu. Dan apa arti kata merdeka sebenarnya?”
Apa yang mereka tegaskan dalam tanya. Soal penjajajahan dan arti kemerdekaan. Membuat ingatan kembali pada terjemahan surah yang diawal tadi.
“Dengarlah kalian semua, penjajahan terjadi karena tiadanya aturan hidup mereka. Juga karena penguasa tak ingin menerapkan aturan keimanan mereka dan lupa akan pesan dari pahlawan kita. HOS Cokroaminoto dengan tehas menyatakan bahwa ‘wet-wet muslim bukan bikinan suatu badan yang mewakili orang-orang yang berkuasa saja. Segenap peri kemanusiaan, sebagai suatu persatuan adalah mempunyai satu hak bersama, tiada seorang masing-masing dengan sendirinya maupun dengan segolongan-segolongan mereka itu, baik yang memilih maupun yang terpilih boleh mengubah wet-wet itu kesenangannya sesuatu golongan partai atau kelas’”.
Dengan penerangan yang cuku panjang, berhenti aku pada trilogi kata ‘setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat.
Trilogi itu membuatku kembali berfikir dan menyampaikan pada segenap pemuda penuntun hikmah. Bahwa kembali pada yang fitri bukan pada diri semata, tetapi fitri pada Negara.
Karenanya, dengan ilmu yang tinggi kita memandang rendah diri sendiri dan hanya Allah subhana wata’ala yang Maha tinggi. Dengan kemurnian tauhid, membawa kita pada terangnya kepercayaan bahwa Allah yang berkehendak mengatur kita dengan penerapan seluruh pokok aturannya. Karenanya, dengan ketinggian siasat kita dapat menang dan tak lagi jatuh pada lubang penjajahan yang sama, entah baru atau lama.
“Bukan hanya susunan kalimat semata, namun lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada kalian semua mengapa kita dijajah dan arti kemerdekaan kita.
Setelah terdengar bisik-bisik suara shalwat dari luar jeruji. Maka kucukupkan rantai pembicaraan dan menutupnya dengan mencucap, “Maka sudah cukuplah kita terjajah dan hanya merasakan sorak-sorak dalam fana”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H