Apa yang mereka tegaskan dalam tanya. Soal penjajajahan dan arti kemerdekaan. Membuat ingatan kembali pada terjemahan surah yang diawal tadi.
“Dengarlah kalian semua, penjajahan terjadi karena tiadanya aturan hidup mereka. Juga karena penguasa tak ingin menerapkan aturan keimanan mereka dan lupa akan pesan dari pahlawan kita. HOS Cokroaminoto dengan tehas menyatakan bahwa ‘wet-wet muslim bukan bikinan suatu badan yang mewakili orang-orang yang berkuasa saja. Segenap peri kemanusiaan, sebagai suatu persatuan adalah mempunyai satu hak bersama, tiada seorang masing-masing dengan sendirinya maupun dengan segolongan-segolongan mereka itu, baik yang memilih maupun yang terpilih boleh mengubah wet-wet itu kesenangannya sesuatu golongan partai atau kelas’”.
Dengan penerangan yang cuku panjang, berhenti aku pada trilogi kata ‘setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat.
Trilogi itu membuatku kembali berfikir dan menyampaikan pada segenap pemuda penuntun hikmah. Bahwa kembali pada yang fitri bukan pada diri semata, tetapi fitri pada Negara.
Karenanya, dengan ilmu yang tinggi kita memandang rendah diri sendiri dan hanya Allah subhana wata’ala yang Maha tinggi. Dengan kemurnian tauhid, membawa kita pada terangnya kepercayaan bahwa Allah yang berkehendak mengatur kita dengan penerapan seluruh pokok aturannya. Karenanya, dengan ketinggian siasat kita dapat menang dan tak lagi jatuh pada lubang penjajahan yang sama, entah baru atau lama.
“Bukan hanya susunan kalimat semata, namun lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada kalian semua mengapa kita dijajah dan arti kemerdekaan kita.
Setelah terdengar bisik-bisik suara shalwat dari luar jeruji. Maka kucukupkan rantai pembicaraan dan menutupnya dengan mencucap, “Maka sudah cukuplah kita terjajah dan hanya merasakan sorak-sorak dalam fana”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H