Mohon tunggu...
Harly Yudha Priyono
Harly Yudha Priyono Mohon Tunggu... Sejarawan - Historian

Mahasiswa Magister Sejarah dan Peradaban Islam. Fokus pada bidang kajian Tasawuf Progresif, Sejarah Islam, dan Pemikiran Islam. Juga merespon hal-hal terkait Politik, Hukum, Ekonomi, dan Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sufi dan Alam Pikir HOS Cokroaminoto

2 April 2020   06:00 Diperbarui: 2 April 2020   06:08 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/ edited by hyp

Apa yang mereka tegaskan  dalam tanya. Soal penjajajahan dan arti kemerdekaan. Membuat ingatan kembali pada terjemahan surah yang diawal tadi.

“Dengarlah kalian semua, penjajahan terjadi karena tiadanya aturan hidup mereka. Juga karena penguasa tak ingin menerapkan aturan keimanan mereka dan lupa akan pesan dari pahlawan kita. HOS Cokroaminoto dengan tehas menyatakan bahwa ‘wet-wet muslim bukan bikinan suatu badan yang mewakili orang-orang yang berkuasa saja. Segenap peri kemanusiaan, sebagai suatu persatuan adalah mempunyai satu hak bersama, tiada seorang masing-masing dengan sendirinya maupun dengan segolongan-segolongan mereka itu, baik yang memilih maupun yang terpilih boleh mengubah wet-wet itu kesenangannya sesuatu golongan partai atau kelas’”.

Dengan penerangan yang cuku panjang, berhenti aku pada trilogi kata ‘setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat.

Trilogi itu membuatku kembali berfikir dan menyampaikan pada segenap pemuda penuntun hikmah. Bahwa kembali pada yang fitri bukan pada diri semata, tetapi fitri pada Negara.

Karenanya, dengan ilmu yang tinggi kita memandang rendah diri sendiri dan hanya Allah subhana wata’ala yang Maha tinggi. Dengan kemurnian tauhid, membawa kita pada terangnya kepercayaan bahwa Allah yang berkehendak mengatur kita dengan penerapan seluruh pokok aturannya. Karenanya, dengan ketinggian siasat kita dapat menang dan tak lagi jatuh pada lubang penjajahan yang sama, entah baru atau lama.

“Bukan hanya susunan kalimat semata, namun lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada kalian semua mengapa kita dijajah dan arti kemerdekaan kita.

Setelah terdengar bisik-bisik suara shalwat dari luar jeruji. Maka kucukupkan rantai pembicaraan dan menutupnya dengan mencucap, “Maka sudah cukuplah kita terjajah dan hanya merasakan sorak-sorak dalam fana”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun