Memilih melanjutkan studi di STT RI, saya lakukan karena memiliki keyakinan bahwa Tuhan telah menaruh sebuah visi besar di dalam diri saya bahwa Ia mau agar saya menjadi hamba-Nya yang secara khusus melayani kaum intelektual. Sebagai orang yang telah mengalami dibina dan diperlengkapi melalui pelayanan mahasiswa Kristen semasa studi sarjana hukum di Jambi, saya melihat sebuah visi vokasi yang sangat strategis dan penting sekali bahwa kaum intelektual harus dimenangkan bagi Kristus karena mereka adalah generasi pemimpin bangsa dan negara ini yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan dalam pembangunan bangsa dan negara. Mahasiswa (kaum intelektual) mengalami proses kristalisasi prinsip, nilai, dan fondasi kehidupan di dalam dunia kampus. Masa-masa inilah yang menjadi masa krusial bagi mahasiswa untuk menetapkan arah dan panggilan hidupnya yang akan terkristalisasi selama minimal empat tahun masa studi. Jika masa ini tidak dipergunakan dengan semaksimal mungkin untuk membawa mahasiswa mengalami pengenalan akan Kristus maka akan sulit bagi gereja untuk dapat memberdayakan warga gerejanya bila telah melewati masa krusial pengkristalan prinsip kehidupan.
Sampai sejauh ini saya masih tetap memiliki keinginan dan kerinduan agar dapat terlibat lebih banyak dalam pelayanan kaum intelektual dalam hal ini saya ingin melayani melalui Perkantas untuk dapat lebih maksimal dalam melayani kaum intelektual. Akan tetapi, saya masih terbuka terhadap kemungkinan untuk melayani melalui lembaga gereja.
Selama seminggu terakhir ini, saya merasa senang, hal ini karena ketika melayani sebagai Liturgos di ibadah Chapel, bagi saya ini kesempatan berharga untuk dapat melayani Tuhan dan meningkatkan pengalaman pelayanan, tetapi juga diselingi oleh perasaan takut dan gentar karena sadar ketidakmampuan saya dalam bernyanyi membuat suasana bercampur aduk di awal-awal memulai ibadah. Di sisi lain, saya juga mengalami beban yang berat karena beberapa kali liturgi yang telah saya susun mendapatkan banyak perbaikan dan koreksi. Sampai satu titik saya menyerah dan memohon pertolongan dari konsultan untuk memperbaiki koreksi terakhir sampai akhirnya mendapat persetujuan untuk dilaksanakan. Kesempatan melayani di tim kapel dalam minggu ini juga menantang karena bertugas sebagai pembuat slide presentasi liturgi ibadah sementara saya hanya mendapatkan waktu pengerjaan hanya satu hari dan ini membuat suasana hati memberontak karena tidak sesuai dengan kesepakatan dan aturan, namun dalam keadaan hendak menolak mengerjakan, saya berada dalam persimpangan dilematis akan perasaan kaku dan tidak fleksibel, sampai akhirnya saya memilih untuk mengkomunikasikannya dengan mengatakan bahwa saya akan tetap mengerjakan tugas ini tetapi dengan kritik agar di kemudian hari tidak terjadi lagi persoalan yang sama dan serupa dengan apa yang saya alami. Dan ketika mengkomunikasikannya saya merasa lega, tidak mengalami dilema kekakuan dan bagaimana dapat mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan terintegrasi dengan baik sehingga relasi di antara kami sebagai sesama pelayan dan tubuh Kristus dapat saling menopang dan melengkapi.
Saya memiliki keyakinan bahwa kemampuan untuk menghadapi setiap tantangan ialah pertolongan Tuhan yang memimpin dan menuntun saya. Dalam berbagai tantangan, saya diingatkan untuk meregulasi perasaan dan pikiran agar terintegrasi dengan baik sehingga menghasilkan luaran tindakan yang tepat dan terukur serta dapat dipertanggungjawabkan. Seringkali ketika hati saya panas dan ingin marah -- tubuh ini seperti gunung berapi yang mau erupsi -- Tuhan ingatkan saya untuk mengintegrasikan perasaan dan pikiran sebelum melakukan suatu tindakan. Inilah yang menolong saya untuk mampu menghadapi setiap tantangan yang ada.
Tentu ada banyak hal yang dapat saya ceritakan dalam narasi ini, namun saat ini, cukup sampai di sini ya. Sampai jumpa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H