"Filipi 1:21 (TB2)Sesungguhnya, bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan." Inilah ayat kutipan yang senantiasa bergema di dalam hati dan pikiranku. Seperti suara gong dan canang yang bergemerincing, Firman Tuhan ini senantiasa menggelisahkan saya untuk terus mengabdikan diri bagi Kristus. Sewaktu saya studi sarjana hukum di Jambi, saya meyakini bahwa Tuhan panggil saya menjadi hamba-Nya yang akan bekerja bagi Dia untuk melayani kaum intelektual (baca: Pelayanan Mahasiswa Kristen). Setelah tamat dan bekerja, saya selalu gelisah melihat banyak mahasiswa Kristen yang perlu dijangkau oleh Injil dan dimenangkan bagi Kristus. Tepat pada 2023 saya bersama isteri bergumul dan berdoa kepada Tuhan, sehingga kami tiba pada satu keputusan bahwa saya akan meninggalkan pekerjaan dan pergi memperlengkapi diri dengan studi teologi sebagai bentuk ketaatan dan kesetiaan kami kepada panggilan Tuhan atas hidup kami. Pada 2023-2024 saya studi di salah satu kampus teologi di Sumatera Utara, setelah menjalani masa studi selama dua semester saya memutuskan untuk pindah ke Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia.
Bagi saya, studi di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia (STT RI) seperti sebuah petualangan mendaki Gunung Rinjani. Tiga hal yang dapat saya visualisasikan ketika memikirkan studi di STT RI yaitu menarik, menantang, dan menyenangkan. Menarik - layaknya Gunung Rinjani yang menyuguhkan berbagai lokasi yang menarik seperti sabana, ngarai, air terjun, pelawangan, danau, dan puncak yang indah - demikianlah gambaran yang terlintas di benak saya. Di sisi lain, saya juga melihat tantangan - layaknya Gunung Rinjani, rute pendakian dengan beberapa titik pos perhentian dan shelter perkemahan, harus melewati jalanan yang terjal, landai, licin, bahkan harus melalui pinggir tebing yang curam yang hanya dibantu oleh tali pengaman seadanya, dan jembatan darurat, bila salah melangkah maka nyawa taruhannya - demikianlah gambaran tantangan studi di STT RI, perjalanan yang dilalui memiliki banyak tantangan yang membuat saya perlu waspada dan berjaga-jaga agar tetap fokus dan mudah-mudahan berhasil mencapai garis akhir. Namun, saya kira studi ini akan menyenangkan - ketika mendaki Gunung Rinjani saya menikmati pengalaman yang menyenangkan, kami tiba di kaki Gunung Rinjani subuh hari, tersuguh udara yang dingin dan sejuk, seluruh tubuh saya merasakan getaran udara yang menembus pakaian saya, di pagi hari kami disambut oleh sinar mentari yang merekah laksana surya sedang memberitahu bahwa petualangan kami akan segera dimulai dan terdapat di dalamnya rahasia perjalanan yang akan memberikan kenangan terindah tak terlupakan - demikianlah saya menggambarkan perjalanan studi yang akan saya lalui di STT RI. Saya memiliki suatu keyakinan yang kuat bahwa studi di STT RI akan membuat saya mendapatkan pengalaman yang lengkap dan tak terlupakan sebagaimana saya menikmati pengalaman mendaki Gunung Rinjani sebagai sebuah gunung yang kata seorang Rocky Gerung bahwa Gunung Rinjani adalah gunung terindah yang tidak ada lawannya.
Keyakinan yang kuat mendorong saya untuk berani mendaftarkan diri masuk ke STT RI. Saat itu saya hanya memiliki waktu sedikit, setelah saya berdiskusi dan bercerita dengan Pak Philip Manurung, tidak sampai dua puluh empat jam, saya memutuskan untuk mendaftar ke STT RI. Saya membuka laptop, menghubungkannya ke internet, lalu mengetik di peramban kata kunci 'stt ri', lalu saya langsung mencari pranala yang mengarahkan saya untuk mengisi formulir daring, setelah itu saya langsung mengisi setiap data dan informasi yang diperlukan. Semua saya lakukan dengan cepat dan teliti. Ketika tiba di bagian yang memerlukan partisipasi pihak ketiga, saya melewatinya dan akan kembali mengisi setelah mendapatkan data yang diperlukan. Setelah itu saya menginformasikan keputusan ini kepada isteri dan kepada beberapa orang rekomendator. Saya begitu senang, senyum sumringah dan mata saya berbinar-binar ketika orang-orang tersebut bersedia mendukung keputusan saya.
Mempersiapkan dokumen administrasi pendaftaran merupakan sebuah pengalaman sangat menarik bagi saya untuk masuk ke STT RI. Saya mempersiapkan semuanya seperti seorang intelijen, bertindak dalam senyap, menggunakan ungkapan metafora dan bias kepada beberapa orang. Namun, kepada rekan saya Budi Bennovry Sihombing - rekan yang dengannya saya seringkali bertengkar dan berselisih, akan tetapi kepadanya saya ungkapkan semua rencana saya pindah studi ke STT RI - saya menyertakan dia untuk menemani saya mempersiapkan dokumen administrasi. Pada hari Sabtu, saya bersama Budi meminjam kendaraan dosen untuk pergi Puskesmas dan studi photo. Kami berkendara berboncengan sembari menikmati perjalanan layaknya sinetron 'Ganteng-Ganteng Serigala' berkendara dengan gagah berani. Sesampainya di Puskesmas, kami yang awalnya begitu gagah berani, tiba-tiba menjadi ciut karena suasana Puskesmas yang sepi. Kami merasa datang diwaktu yang salah dan tempat yang salah. Alhasil kami masuk ke dalam dan hanya mendapati dua petugas Puskesmas sedang duduk di ruang resepsionis. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, ternyata Puskesmas tidak melayani keperluan administrasi pembuatan surat keterangan sehat.
Saya tiba-tiba panik, karena Senin sudah harus beres semuanya sementara di hari Senin saya ada jadwal kuliah yang membuat saya tidak mungkin bisa pergi ke Puskesmas. Saya menghubungi pihak STT RI, membuka aplikasi WhatsApp dan mengirim pesan singkat untuk menanyakan apakah surat keterangan sehat harus dari instansi kesehatan milik pemerintah atau bisa menggunakan instansi kesehatan milik swasta. Sembari menunggu mendapatkan jawaban, kami pergi ke studio photo untuk membuat pas photo dan sesampainya disana saya langsung difoto dan kami menunggu waktu yang lama untuk mendapatkan hasil cetakan. Sembari menunggu kami bercerita dengan petugas studio photo tersebut dan kami terkejut seraya bertanya-tanya di dalam hati, benarkah kesaksian orang ini. Dia menyaksikan bahwa dirinya adalah mantan pengedar narkoba dan telah bertobat oleh karena kesaksian hidup isterinya yang setia padanya dan seorang pelayan Tuhan di gereja.
Masih dalam keadaan hati yang gelisah saya beberapa kali membuka WhatsApp untuk melihat apakah ada balasan pesan yang saya kirim sebelumnya. Ketika saya melihat ada pesan masuk dari STT RI, dengan penuh antusias dan hati yang was-was saya membuka pesan tersebut dan mendapatkan balasan bahwasanya saya dapat menggunakan klinik kesehatan swasta untuk keperluan administrasi surat keterangan sehat. Selesai dari studio photo kami langsung meluncur ke klinik kesehatan dan menyampaikan maksud kedatangan kami. Namun, tidak ada dokter di klinik tersebut dan kami harus datang kembali di sore hari. Akhirnya, kami pulang dan mampir membeli makan siang di warung. Kami makan siang bersama di kampus.
Setelah seluruh proses seleksi penerimaan mahasiswa baru selesai, saya menunggu hasilnya pada 3 Juni 2024. Bercerita dengan beberapa orang untuk memberi sinyal bahwa saya hendak meninggalkan kampus ini. Tibalah hari pengumuman, tepat pada 3 Juni 2024 saya mendapatkan informasi bahwa adik mertua saya meninggal dunia di Samosir dan bertepatan hari itu saya sedang di Tomok, Samosir. Saat itu, saya juga sedang mengalami demam ringan, namun tidak memberitahukan kepada teman saya, supaya kami dapat pergi ke rumah adik mertua yang meninggal, di Ronggur Nihuta. Kami menyewa sepeda motor, lalu berangkat dari Tomok menuju Ronggur Nihuta. Perjalanan kami tempuh sekitar 60 menit disuguhi dengan pemandangan Samosir dan Danau Toba yang indah dengan perbukitan hijau yang berbaris, serta Danau Toba yang membiru dengan hembusan angin yang kuat. Kami berhenti di rumah salah satu alumni almamater kami dan bertemu dengan orang tuanya, Amang Nadeak. Kami menyampaikan maksud kedatangan ke daerah tersebut, seperti gayung bersambut yang hanya bermodalkan nekat dan iman, bertepatan tamu Amang Nadeak mengetahui keberadaan rumah adik mertua saya, dan akhirnya kami tiba di lokasi tujuan.
Jenazah adik mertua saya di bawa ke Dolok Sanggul, dan kami pulang, tiba di kampus sekitar pukul 8 malam. Sesampainya di kampus, saya memeriksa surel di telepon genggam dan mendapatkan surel masuk dari STT RI yang menginformasikan bahwa saya lulus dan diterima menjadi calon mahasiswa di STT RI. Saya sangat bergembira, jantung saya berdegup kencang dan tubuh saya melonjak kegirangan, sementara demam semakin tinggi dan membuat tubuh saya lemas. Namun, kabar gembira ini membuat saya tidak memperdulikan kondisi tubuh yang demam, saya memberikan informasi kepada orang-orang seperti isteri, rekomendator, pemimpin KK, dan teman-teman seangkatan. Dalam keadaan demam semakin tinggi, saya akhirnya menyerah dan meminta obat ke bagian Kemahasiswaan dan berjumpa langsung dengan Wakil Ketua 3 Bidang Kemahasiswaan. Sembari meminta obat, saya juga menginformasikan bahwa esok hari (tanggal 4 Juni 2024) saya akan pulang ke Bungo dan tidak kembali lagi ke kampus ini karena saya akan pindah ke STT RI.
Sepuluh minggu di STT RI berbagai perasaan saya alami ada senang, sedih, marah, stres, kesepian, dan bersemangat. Fakta bahwa saya jauh dari isteri dan anak-anak membuat saya kesepian dan sedih, dimulai saat keberangkatan dari Bungo hingga tiba di STT RI, saya menangis dan ingin pulang ke Bungo, saya butuh empat hari untuk dapat beradaptasi. Setelah itu, beberapa waktu kemudian saya merasa bersemangat ketika mulai menikmati dan memiliki pola belajar dan aktivitas yang dilakukan. Saya juga pernah mengalami perasaan tertekan karena salah mengerjakan tugas dan harus mengulang dari awal menjelang tiga hari batas akhir pengumpulan. Dalam keheningan malam ketika mengetahui tugas yang saya kerjakan salah, saya memilih untuk tidur dan membaringkan diri. Keesokan harinya saya menuntaskan seluruh perbaikan tugas untuk dikumpulkan. Dalam anugerah-Nya saya mampu menyelesaikan tugas tersebut.
Saya juga mengalami kegentaran ketika dalam seminggu memiliki runtutan kegiatan pelayanan yang bersambung dari hari ke hari sehingga membuat saya kesulitan untuk mengelola waktu dengan baik bagaimana memprioritaskan antara studi dan pelayanan. Di dalam anugerah Tuhan, saya mampu mengerjakan satu per satu dengan baik. Saya juga merasa terberkati selama studi di sini karena melalui sesi konseling saya dapat mengenali diri dengan baik sehingga menolong saya untuk dapat mengimplementasikannya dalam relasi dengan sesama dalam komunitas ini. Bahkan saya mulai memiliki pengendalian emosional yang lebih efektif dan baik daripada sebelumnya. Sempat juga ada perasaan bersalah sehingga menuduh diri sendiri sebagai pribadi yang tidak layak karena hasil UTS bahasa Inggris gagal, namun dalam anugerah Tuhan saya keluar dari perasaan bersalah dan menatap pasti ke depan bahwa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan menjadi lebih baik lagi. Selama sepuluh minggu di STT RI, saya mengalami banyak kemajuan karakter. Dari yang tidak terkendali menjadi lebih terkendali, dari yang cepat marah dapat menguasai hati dan perasaan dengan mengintegrasikan pikiran dan perasaan. saya juga memiliki keberanian untuk memulai sebuah relasi tanpa ada perasaan terintimidasi.
Selama sepuluh minggu di STT RI, saya menikmati relasi dengan beberapa orang dan menikmati pengajaran dari beberapa dosen. Teman-teman yang bersama mereka saya menikmati relasi interpersonal, seperti teman seangkatan khususnya di prodi sarjana. Untuk dosen yang memberikan pengaruh positif dalam studi saya seperti Pak Yuzo, Pak Budi, Pak Sugi, Pak Stephen, Ibu Inawaty Teddy, dan Konselor saya.