Mohon tunggu...
Harlinton Simanjuntak
Harlinton Simanjuntak Mohon Tunggu... Administrasi - Disciple

Gunung itu tempat terindah merefleksikan keagungan Sang Pencipta. Ayo daki gunung....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perulangan sebagai Pola Mengajar Menurut Ulangan 6:7-9

29 Juni 2024   11:56 Diperbarui: 29 Juni 2024   12:22 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer: Di bawah ini adalah sebagian tulisan dari artikel ilmiah yang saya tulis untuk tugas kuliah "Metodologi Penelitian Teologi"

Pendahuluan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, penduduk Indonesia tercatat sebanyak 270,20 juta jiwa dengan persentase usia produktif (15 -- 64 tahun) sebesar 70,72%. Sayangnya, keunggulan demografi[1] diikuti oleh berita buruk berdasarkan survei ketenagakerjaan bulan Agustus 2023, yang menunjukkan pengangguran terbuka sebesar 7,86 juta jiwa[2] (4% dari populasi) dengan persentase terbesar lulusan Sekolah Menengah Atas: 8,15% dan Sekolah Menengah Kejuruan: 9,31%.[3] Kenyataan ini dikhawatirkan akan menjadi bola salju yang mengancam pembangunan bangsa Indonesia dalam jangka pendek dan menengah. Hal ini berkaitan dengan kualitas pendidikan dan bagaimana pola pengajaran yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Namun, pada prinsipnya pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga bukan institusi pendidikan. Institusi pendidikan melengkapi dan memperkaya pendidikan yang diterima  generasi penerus di rumah melalui keluarganya. 

Di dalam rumah tangga, anak-anak terutama mendapatkan pendidikan mental dan kerohanian. Bagi orang Kristen, Alkitab memuat banyak prinsip dan pola pendidikan yang baik dan penting bagi pertumbuhan mental dan rohani umat. 

Di dalam Perjanjian Lama (selanjutnya disebut PL), misalnya, Allah melalui Musa memerintahkan umat-Nya agar mengajar anak-anak mereka dalam setiap kesempatan. Sebagai pemberian Allah dan milik pusaka-Nya (Mzm. 127:3), anak adalah realisasi dari mandat budaya (Kej. 1:28).[4] Maka, pengenalan akan Tuhan, yang pada gilirannya tercermin dari kasih kepada Tuhan dan sesama, harus diajarkan secara turun-temurun kepada anak-anak.[5] Bagi umat Allah, pendidikan itu faktor penentu kesuksesan dan orang tua bertanggung jawab akan hal itu. Pendidikan itu harus berpusat kepada Allah. Hal tersebut sebagai konsekuensi bahwa mereka adalah umat pilihan Allah.[6] Problem keluarga saat ini adalah orang tua mengalihkan tanggung jawab utama mereka untuk mendidik anak-anaknya kepada institusi pendidikan. Fokus mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis anak-anaknya dengan bekerja di pekerjaan mereka yang menghasilkan uang, sementara tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mental dan kerohanian anak-anaknya diberikan kepada lembaga pendidikan. 

Keluarga Kristen (umat Allah) mengalami masalah yang sama juga. Orang tua telah menyerahkan tanggung jawab memenuhi kebutuhan mental dan kerohanian anak-anaknya kepada tempat-tempat seperti gereja atau lembaga Kristen lainnya. Orang tua tidak memahami secara mendasar bahwa mereka adalah orang pertama yang bertanggung jawab untuk mendidik anak mereka. Teks Alkitab, Ulangan 6:7-9, menunjukkan hal ini. 

Melalui khotbahnya kepada orang Israel (umat Allah), Musa mengatakan dalam teks tersebut bahwa orang tua adalah yang paling bertanggung jawab untuk mendidik atau mengajarkan anak-anak. Dalam teks tersebut, Musa menunjukkan cara-cara khusus bagaimana pendidikan atau pengajaran itu diterapkan atau dilakukan dalam kehidupan keluarga umat Allah. 

Penulis ingin meneliti bagaimana perulangan sebagai pola mengajar membentuk kehidupan umat Allah berdasarkan latar belakang di atas. Karena itu, penulis menulis penelitian ini dengan judul "Perulangan sebagai Pola Mengajar Menurut Ulangan 6:7-9". Kajian perulangan sebagai pola mengajar (Ulangan 6:7-9) belum pernah dibahas sebelumnya. Adapun tulisan yang pernah membahas, yaitu: Maria Widiastuti ("Prinsip Pendidikan Kristen Dalam Keluarga Menurut Ulangan 6:4-9", Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan), dalam tulisannya, dia menyimpulkan bahwa tiga prinsip pendidikan Kristen yang ditemukan dalam Ulangan 6:4-9 adalah mengajar melalui keteladanan, mengajar berulang, dan mengajar dengan cara yang sama berulang kali.[7] 

Selanjutnya, Syani Bombongan Rante Salu ("Implementasi Metode Pengajaran Berdasarkan Ulangan 6:4-9 bagi Perkembangan Sprititualitas Anak Usia Dini", Didache: Journal of Christian Education) berbicara tentang bagaimana metode pengajaran dalam Ulangan 6:4-9 dapat mencapai semua aspek perkembangan spiritual anak usia dini. Dia menemukan bahwa beberapa metode dalam Ulangan 6:4-9 dapat mencapai aspek kognitif, afektif, dan psikomosional.[8] Kemudian, Mikha Agus Widiyanto dan Daniel Ronda ("Teologi Pendidikan Kristen dalam Keluarga Berdasarkan Ulangan 6:4-9 dan Implementasinya pada Model Pembelajaran Berbasis Teori Pemrosesan Informasi" Jurnal Shanan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang diajarkan dalam Pendidikan Keluarga, yang ditemukan dalam Ulangan 6:4--9, mengenalkan kepada anak hanya pada Allah Yang Esa sejak kecil. Anak-anak harus diajarkan ini secara berulang dan diikatkan pada diri mereka sendiri, sehingga pelajaran akan tertanam dalam ingatan jangka panjang mereka. 

Pengajaran yang dilakukan orang tua berulang-ulang menunjukkan bahwa materi pelajaran memiliki nilai dan keuntungan yang akan menarik perhatian (perhatian) anak. Dengan menerapkan model pembelajaran dengan mengajar berulang-ulang, pemahaman dan pengetahuan anak akan dipertajam, tersimpan, dan dapat dipanggil kembali untuk memecahkan masalah. Ini juga akan membentuk mereka menjadi individu yang memiliki iman yang kokoh.[9] Selanjutnya, Evinta Hotmarlina dan Maria A.S. Sondjaja ("Prinsip-Prinsip PAK Anak: Sebuah Kajian Eksegesis Alkitab dari Ulangan 6:4-9", Phronesis: Jurnal Teologi dan Misi). Mereka menemukan bahwa membuat prinsip PAK anak dapat membuat penekanan yang seimbang antara kemampuan akademik dan spiritual.[10] Selanjutnya, Riana Udurman Sihombing dan Rahel Rati Sarungallo membahas mengenai peran orang tua sebagai wakil Allah untuk membimbing anaknya.[11] 

Makna Teks Ulangan 6:7-9

Kitab Ulangan mengulangi perjanjian Allah dengan umat Israel ketika mereka berada di seberang sungai Yordan di dataran Moab. Perjanjian itu adalah perjanjian yang Allah berikan kepada bangsa Israel di Gunung Sinai, melalui Musa. Di sana, Musa berpidato kepada umat Israel tentang segala sesuatu yang harus mereka lakukan ketika mereka bersiap untuk memasuki tanah Kanaan, yang telah dijanjikan Allah untuk diberikan kepada mereka. Musa merasa penting untuk mengulangi semua perintah Allah kepada umat Israel. Sebagai pidato perpisahan, Musa didorong untuk menasihati orang Israel karena dia ingin mencegah mereka memberontak kepada Allah. Dia telah menyaksikan sendiri bagaimana orang Israel yang keras kepala itu banyak memberontak kepada Allah saat mereka melarikan diri dari perbudakan Mesir di sepanjang padang gurun. 

Selain menjadi penduduk Israel yang baru, mereka juga akan memasuki tanah Kanaan, yang memiliki budaya, peradaban, dan banyak dewa yang mereka sembah. Karena banyaknya dewa keji yang disembah oleh orang-orang Kanaan, Allah menganggap masyarakat ini sebagai bangsa yang menjijikkan bagi-Nya. Allah tidak menyukai penyembah berhala. Dia hanya ingin menjadi satu-satunya Allah yang disembah oleh orang Israel karena Dialah Allah yang benar dan hidup, yang telah mencurahkan semua kasih dan kebaikan-Nya kepada orang Israel, umat-Nya sendiri. Dengan menyampaikan segala perintah dan aturan Allah sesuai dengan janji-Nya, Musa ingin mengingatkan umat Israel dan mencegah mereka melupakan Allah dan beralih kepada dewa-dewi sembahan orang Kanaan. Ini dilakukan setelah peristiwa di Sitim, ketika mereka membuat Allah murka dengan beralih kepada Baal-Peor. 

Ingatlah bahwa kasih Allah kepada orang Israel, yang ditunjukkan dengan memilih mereka sebagai umat-Nya dan memenuhi janji-Nya kepada mereka untuk memberi mereka tanah Kanaan untuk dimiliki, adalah alasan mengapa mereka dapat memasuki tanah Kanaan. Mereka tidak akan bisa mencapai perjalanan sejauh ini dan bersiap untuk memasuki tanah Kanaan jika Dia tidak mengasihi mereka. 

Inilah yang harus diingat dan dihidupkan oleh orang Israel: kasih Allah yang telah tercurah atas mereka adalah kasih yang terbesar, kasih yang sangat agung dan kudus. Dengan memenuhi janji-Nya kepada umat-Nya, Allah telah menunjukkan kasih-Nya kepada mereka dengan melakukan apa yang Dia janjikan kepada mereka. Oleh karena itu, sangat wajar bahwa Allah menuntut agar umat-Nya benar-benar mengasihi Dia seperti Dia telah mengasihi mereka sebelumnya. Dia hanya meminta mereka untuk setia kepada-Nya dengan melakukan apa yang Dia perintahkan. Sepanjang perjalanan mereka di padang gurun, Allah telah membimbing mereka keluar dari perbudakan Mesir dan memberi mereka kesempatan untuk mengalami pengalaman iman bersama dengan Allah. 

Semua aturan, peraturan, hukum, dan perintah yang harus diikuti oleh orang Israel telah diberikan oleh Allah, yang menunjukkan kasih-Nya yang luar biasa kepada mereka, sehingga mereka dapat bersiap untuk memasuki tanah Kanaan yang dijanjikan-Nya. Karena itu, Musa meminta orang-orang Israel untuk mengasihi Allah dengan mematuhi segala perintah-Nya. Dia meminta mereka untuk mengajarkan perintah-Nya kepada anak-anaknya berulang kali, dalam setiap situasi dan keadaan. Bahkan, Musa memberikan petunjuk praktis dengan bersekutu dengan Allah dan menggunakan perintah-Nya sebagai aturan dalam kehidupan sosial mereka. Mengajar berulang kali menunjukkan ketekunan, kesungguhan, dan keseriusan umat Israel. Kesungguhan ini didasarkan pada kasih yang tulus dari Allah kepada mereka. 

Semua tindakan yang dilakukan oleh Allah yang telah mengeluarkan mereka dari perbudakan Mesir dan memberi mereka semua perintah yang harus mereka lakukan adalah buktinya. Mereka diberi aturan dan perintah ini karena mereka adalah umat pilihan dari Allah yang hidup dan benar. Allah memiliki kekuatan yang lebih besar daripada allah-allah lain, karena mereka allah yang mati dan hina. Mereka harus terus menerus mengajarkan perintah Allah, yang menuntut ketekunan. Untuk itu, mereka diminta untuk mengajarkan semua perintah Allah dengan tekun di mana pun dan kapan pun mereka berada. 

Selain ketekunan, mereka diminta untuk serius, yang berarti memberikan segala upaya dan perhatian yang terbaik untuk mengajar, bukan asal-asalan. Salah satu perintah yang harus mereka ingat adalah bahwa mereka harus hidup bersekutu dengan Allah setiap hari. Dengan bersekutu dengan Allah, Allah ingin mereka menjalani kehidupan iman yang benar. Bersekutu dengan Allah berarti bergaul karib dengan Allah, membangun hubungan yang intim dengan Allah. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bersekutu dengan Allah. Mereka harus selalu bersekutu dengan Allah. Salah satu tindakan yang harus dilakukan oleh orang Israel adalah bersekutu dengan Allah dalam upaya mereka untuk mengajarkan orang lain tentang perintah Allah. Mereka dapat menikmati pelajaran tentang perintah Allah hanya jika mereka hidup dalam persekutuan dengan Allah. Hal ini akan menumbuhkan kecintaan mereka kepada Allah karena Allah ingin hadir dalam persekutuan dengan umat-Nya. Umat-Nya pasti akan senang ketika Allah hadir dalam persekutuan dengan mereka karena mereka dapat merasakan kasih Allah secara langsung melalui persekutuan itu. 

Selanjutnya, orang Israel harus menggunakan segala perintah Allah sebagai pedoman dalam kehidupan sosial mereka. Dengan kata lain, segala sesuatu yang mereka lakukan dalam kehidupan sosial mereka harus didasarkan pada perintah-perintah Allah. Dalam hal politik, mereka harus mendasarkan segala tindakan politik mereka pada perintah Allah. Mereka harus menjalankan hubungan politik mereka sesuai dengan perintah Allah. Mereka harus melakukan apa yang diizinkan Allah dalam hal politik. Namun, jika mereka dilarang oleh Allah, mereka harus mengikuti larangan itu dengan tidak melakukan apa pun yang dilarang oleh Allah. Akibatnya, hubungan politik yang mereka lakukan adalah hubungan politik yang diizinkan oleh Allah. Dalam hal ekonomi, semua tindakan yang dilakukan harus berdasarkan perintah Allah; mereka tidak boleh melakukan apa pun yang bertentangan dengan perintah Allah. 

Kejujuran harus menjadi yang terpenting. Karena Allah menginginkan orang yang jujur. Itu menunjukkan betapa baiknya umat-Nya sebagai orang yang dipilih Allah. Dalam hal keagamaan, mereka juga harus mendasarkan segala tindakan keagamaan mereka dengan perintah Allah. Mereka tidak boleh beribadah kepada Allah sesuka hati, melainkan harus melakukannya sesuai dengan perintah Allah. Dalam kehidupan orang Israel, tiga elemen yang paling mendasar adalah politik, ekonomi, dan keagamaan. 

Ketiga elemen inilah yang menentukan setiap tindakan sehari-hari mereka. Politik berkaitan dengan bagaimana orang Israel membangun relasi dan berinteraksi satu sama lain; ekonomi berkaitan dengan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan badani sehari-hari; dan agama berkaitan dengan spiritualitas atau kebutuhan rohani orang Israel dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga harus menunjukkan kasih kepada sesama dalam kehidupan sosial sebagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya kepada mereka dengan membawa mereka keluar dari perbudakan Mesir dan memenuhi janji-Nya dengan memberi mereka tanah Kanaan. 

Kasih Allah harus mendarat dalam pengalaman iman mereka; itu harus membentuk karakter mereka sebagai umat Allah yang mahakasih; itu harus menjadi motivasi yang mendorong mereka untuk setia kepada Allah; dan itu harus membentuk umat yang hidup dalam iman yang benar. Dalam membangun peradaban mereka sebagai umat Allah, kasih kepada sesama adalah kasih yang memperhatikan dan membantu satu sama lain karena kasih itu didasarka pada kasih Allah yang telah dicurahkan kepada mereka. Ini harus ditunjukkan dengan cara yang sesuai dengan perintah Allah. Hal ini akan bermanfaat bagi mereka dan orang lain jika mereka memperhatikan dan membantu satu sama lain.

Perulangan sebagai Pola Mengajar

Mengajarkan setiap perintah Allah berulang kali adalah cara terbaik untuk menunjukkan kasih kepada Allah. Dalam mengajarkan segala perintah Allah kepada anak cucu mereka, Musa menekankan pola mengajar dengan pola perulangan. Musa mendorong mereka untuk mengulangi segala perintah Allah kepada anak cucu mereka secara teratur. 

Dalam pengajaran ini, Musa memberika metode perulangan sebagai metode mengajar yang dilakukan melalui tiga elemen penting: membahasnya dalam setiap situasi dan kondisi, berkolaborasi atau bersekutu dengan Allah, dan menjadikan perintah Allah sebagai norma hukum dan moral yang mengatur kehidupan sosial mereka baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Orang-orang Kristen adalah umat yang memperoleh anugerah kasih Allah melalui karya penyelamatan Yesus Kristus; mereka juga adalah orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Oleh karena itu, pola perulangan dalam mengajar juga harus diterapkan pada orang-orang Kristen masa kini. 

Sebagaimana orang Israel selalu mengajarkan anak-anak mereka dengan metode perulangan melalui tiga elemen tersebut, orang Kristen juga harus mengajarkan anak-anak mereka tentang kasih Allah yang diberikan-Nya kepada mereka melalui karya Anak-Nya Yesus Kristus dengan mengikuti metode tersebut. Orang tua Kristen juga harus menyadari bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan kasih Allah kepada anak-anak mereka di dalam Yesus Kristus. Sebagaimana diungkapkan dalam konsep perulangan sebagai metode mengajar, orang tua Kristen juga harus mengajarkan kasih Allah secara berulang-ulang. Sebagaimana orang Israel harus mengajarkan segala perintah Allah dalam setiap keadaan, orang Kristen juga harus mengajarkan kasih Allah di dalam Yesus Kristus dan perintah-perintah-Nya kepada anak-anak mereka dalam setiap keadaan. Mereka juga harus mendorong anak-anak mereka untuk bertindak seperti yang mereka lakukan. Setiap orang tua Kristen (juga disebut sebagai orang percaya) memiliki kewajiban untuk menyampaikan kasih Allah kepada anak-anak mereka. Selain itu, mereka harus memberi tahu orang lain tentang kasih Allah dalam kehidupan sosial mereka. Yesus Kristus telah melakukan ini melalui karya Roh Kudus. Karena itu, orang Kristen harus sadar dan tekun melakukannya. 

Di dalam Yesus Kristus, orang Kristen juga harus menjalani kehidupan yang bersekutu kepada Allah. Orang tua harus menjadi contoh bagi anak-anak mereka dalam hal ini. Baik hubungan pribadi dengan Allah maupun hubungan keluarga dengan Allah. Salah satu cara orang tua dapat mengajarkan kasih Allah kepada anak-anak mereka adalah melalui ibadah keluarga. Melalui ibadah ini, orang tua memiliki kesempatan untuk membangun hubungan yang semakin dalam dengan anak-anak mereka dan mengajarkan mereka tentang segala jenis kasih Allah yang telah ditunjukkan-Nya melalui Yesus Kristus. Orang tua Kristen dapat membangun ibadah keluarga yang berkualitas, rutin, dan terjadwal. Kasih Kristus harus terwujud di dalam kehidupan setiap keluarga Kristen. Di dalam kasih-Nya, Kristus telah memberikan pengajaran etis kepada umat-Nya sebagaimana yang dinyatakan dalam khotbah-Nya di bukit (lih. Mat. 5 -- 7). Orang Kristen juga harus menetapkan kasih Kristus sebagai standar dalam kehidupan sosial mereka baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa orang Kristen harus terus menguji segala sesuatu yang mereka lakukan agar sesuai dengan tuntutan etis Allah, yang telah diberikan kepada umat-Nya melalui pengajaran Yesus Kristus. Dengan demikian, tuntutan etis ini harus dilaksanakan dalam kehidupan sosial mereka di zaman modern yang begitu kompleks. Mereka tidak boleh lalai untuk melakukannya. Untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan ketekunan dan kesungguhan.

Referensi:

[1] "Hasil Sensus Penduduk (SP2020) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa," Badan Pusat Statistik, n.d., n. Diakses 9 April 2024, https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-penduduk--sp2020--pada-september-2020-mencatat-jumlah-penduduk-sebesar-270-20-juta-jiwa-.html#:~:text=Abstraksi-,Hasil Sensus Penduduk (SP2020) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk.

[2] Badan Pusat Statistik, "Berita Resmi Statistik: Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2023," Badan Pusat Statistik 11, no. 84 (2023): 3, chrome-extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://webapi.bps.go.id/download.php?f=3/1MsO3AKl6BNrUvobjKAn8pMZly1YoVmw0odiQznePp1Bg2TR+Z6TiCXo5og4GA1r+1PqSu3k3NCaf8VlWu3Czwclhvf/Q9/W+cWed4Otnuiyarf34QW0dfilmv+zrTyRUegeCa4AVGlqIt5J43pwvxJS/+lUyYDS/.

[3] Badan Pusat Statistik, 12.

[4] Carolina Etnasari Anjaya et al., "Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Keluarga Kristen Sebagai Upaya Menghadapi Pengaruh Sekularisme," Dunamis 7, no. 1 (2022): 125, https://doi.org/10.30648/dun.v7i1.660.

[5] Edwin Gandaputra, Jefri, dan Ananda Wulan Sari, "Internalisasi Nilai-nilai Teologis Shema Yisrael dalam Pendidikan Orang tua yang Menumbuhkan Iman Kristen Anak di Era Disruptif," Teruna Bhakti 5, no. 1 (2022): 74.

[6] Abraham Tefbana, "Peran Orangtua Mendidik Spiritual Anak di Era Revolusi Industri 4.0 Berdasarkan Ulangan 6:4-9 (Tinjauan Teologis dan Pedagogis dalam Pendidikan Agama Kristen)," Luxnos 7, no. 1 (n.d.): 118.

[7] Maria Widiastuti, "Prinsip Pendidikan Kristen dalam Keluarga Menurut Ulangan 6: 4-9," Pionir LPPM Universitas Asahan 6, no. 2 (2020): 222, http://jurnal.una.ac.id/index.php/pionir/article/view/1238.

[8] Syani Bombongan Rante Salu, "Implementasi Metode Pengajaran Berdasarkan Ulangan 6:4-9 bagi Perkembangan Spiritualitas Anak Usia Dini," Didache: Journal of Christian Education 3, no. 2 (2022): 107, https://doi.org/10.46445/djce.v3i2.544.

[9] Mikha Agus Widiyanto dan Daniel Ronda, "Teologi Pendidikan Kristen dalam Keluarga Berdasarkan Ulangan 6:4-9 dan Implementasinya pada Model Pembelajaran Berbasis Teori Pemrosesan Informasi," Shanan 6, no. 2 (2022): 111, https://doi.org/10.33541/shanan.v6i2.4013.

[10] Evinta Hotmarlina dan Maria A. S. Sondjaja, "Prinsip-Prinsip Pak Anak: Sebuah Kajian Eksegesis Alkitab Dari Ulangan 6: 4-9," Phronesis 5, no. 2 (2022): 166, https://doi.org/10.47457/phr.v5i2.259.

[11] Riana Udurman Sihombing dan Rahel Rati Sarungallo, "Peranan Orang Tua Dalam Mendewasakan Iman Keluarga Kristen Menurut Ulangan 6:6-9," Kerusso 4, no. 1 (2019): 34.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun