Mohon tunggu...
Harapan Lumban Gaol
Harapan Lumban Gaol Mohon Tunggu... PNS -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membuka Akses bagi Komunitas Adat Terpencil, Mengedepankan yang Terbelakang

24 Desember 2018   15:41 Diperbarui: 24 Desember 2018   16:00 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang merupakan sekumpulan orang dalam jumlah tertentu yang terikat oleh kesatuan geografis, ekonomi dan/atau sosial budaya, miskin, terpencil, dan/atau rentan sosial ekonomi (Pasal 1 Perpres 186 Tahun 2014) adalah bagian warga Negara Indonesia yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Meski secara jumlah relatif kecil sekitar 250.000 kepala keluarga (database KAT Kemensos RI 2018), dan data sesungguhnya jauh lebih besar, namun kelompok ini memerlukan perhatian serius.  

Persoalan KAT tidak semata keterpencilan tetapi juga terkait dengan kemiskinan, hak asasi manusia, ketersediaan kebutuhan dasar, isu marjinalisasi, ketidaksetaraan, keadilan, pemerataan pembangunan, pendidikan, kesehatan, persoalan tanah (ulayat), degradasi lingkungan hingga persoalan kesulitan penjangkauan wilayah. 

KAT sebagai bagian dari Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang  memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga Indonesia lainnya, memerlukan perhatian lebih dan perlakuan yang berbeda dari pemerintah. Pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar KAT, termasuk percepatan perbaikan kesejahteraannya sangat mendesak untuk menjadikan komunitas ini sejajar dengan komunitas atau masyarakat Indonesia lainnya. "Mengedepankan yang terbelakang", mengambil istilah Robert Chambers "Putting the Last First" adalah slogan yang tepat dalam misi pemberdayaan bagi warga pedalaman ini.

Penanganan KAT bukanlah baru. Sejak tahun 1969 komunitas ini diakui keberadaannya yang disebut dengan suku terasing, masyarakat terasing, masyarakat terpencil. Terminologi "terpencil" yang dilekatkan kepada komunitas adat ini menunjukkan bahwa mereka, dengan segala sistem adat dan kearifan lokalnya diakui masih hidup jauh dari standar komunitas warga pada umumnya karena letak geografis yang sulit dijangkau dan sangat terbatas aksesnya ke dunia luar. 

Keterpencilan itu berdampak ikutan di mana kebutuhan dan hak-hak dasar minimal yang seharusnya didapat oleh setiap warga Indonesia tidak mereka peroleh. Karena itulah menjadikan komunitas adat yang masih terpencil menjadi warga negara sesungguhnya yang setara dan sejahtera dengan segala hak dan kewajibannya adalah esensi pemberdayaan KAT.

Persoalan Aksesibilitas

Ada tiga kriteria warga KAT. Pertama, hidup berkelana.  Komunitas ini selalu berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya sejalan dengan musim makanan yang tersedia. Sebagai peramu atau pemburu hewan, mereka benar-benar tergantung pada kemurahan alam. Mereka belum mengenal cara bercocok tanam atau beternak, belum juga  mengetahui cara menyiapkan stok makanan jika hasil hutan menipis atau langka. 

Jalan satu-satunya adalah berkelana untuk mendapatkan sumber makanan. Dari sisi kehidupan sosial mereka masih tertutup dan tidak terlalu mengenal dunia luar. Tinggal di atas pohon, di dalam gua, di pegunungan yang sulit dijangkau adalah ciri yang melekat pada komunitas ini. Kedua, menetap sementara.  Kelompok ini sedikit lebih maju dari pengelana karena mereka sudah mulai berhubungan dengan dunia luar. Bercocok tanam dan beternak hewan sederhana mulai

dikenal meskipun masih suka berpindah-pindah. Pola pasar untuk menggantikan barter sebagaimana pada komunitas pengelana juga mulai dikenal sehingga meski masih subsisten perekonomiannya sedikit lebih maju. Ketiga, menetap terpencil. Kategori terakhir ini adalah komunitas yang secara sosial budaya telah terbuka atau membuka diri dengan dunia luar, sudah mengenal cukup baik pola bercocok tanam dan beternak serta mengenal sistem pasar. 

Jika pada kategori pertama dan kedua warganya relatif homogen, maka pada kategori ketiga warga sudah bercampur dengan orang luar meski masih dominan terikat dengan adat istiadat dan nilai-nilai tradisional sebagai referensi hidup bersama.

Walaupun ada gradasi tingkat kualitas kehidupan KAT, tetapi sesungguhnya mudah dicirikan dengan karakter fisik yang sulit disentuh dan dijangkau. Pemukiman KAT umumnya terpencil dengan jarak yang jauh dari kota atau pemukiman penduduk terdekat.  Jalan atau perairan yang sulit ditempuh, kelangkaan atau jauhnya jarak ke fasilitas sosial ekonomi seperti sekolah, layanan kesehatan, air bersih, antara lain gambaran paling umum di setiap KAT. 

Bagi KAT kriteria kedua dan ketiga yang telah mulai berhubungan dengan dunia luar juga masih jauh tertinggal dari sisi ketersediaan kebutuhan paling dasar. Kesulitan hubungan dengan dunia luar dan akses mendapatkan kebutuhan dasar adalah pangkal persoalan yang menempatkan warga KAT tidak bisa move on  untuk mengejar ketertinggalannya dengan komunitas lain di sekitarnya.

Apakah jika akses KAT dibuka otomatis keterpencilan akan hilang dan warga KAT bisa langsung berkompetisi dengan masyarakat modern untuk mendapatkan kesejahteraan?  Pertanyaan ini akan menimbulkan perdebatan. Bagi pihak yang setuju, terbukanya akses KAT ke dunia luar akan mempercepat masuknya gagasan maupun praktik peradaban modern masuk ke KAT. 

Bagi mereka yang masuk kategori ketiga, yang telah membuka diri kepada orang luar, terbukanya akses ini akan disambut dengan gembira karena secara psikososial mereka sudah memiliki kesiapan yang lebih baik. Maka jika ingin memajukan KAT, tidak ada jalan lain, harus membuka akses yang seluas-luasnya agar mereka segera mampu hidup bersama dengan masyarakat modern.  

Di pihak lain bagi mereka dengan pemikiran kurang sejalan, maka pembukaan akses dengan sengaja ke KAT akan menimbulkan lebih banyak persoalan karena munculnya tekanan arus peradaban keras yang didorong masuk dari luar. Sempitnya waktu adaptasi terhadap peradaban baru akan memaksa mereka bermutasi menjadi warga bingung yang akan menimbulkan dampak masalah sosial baru. 

Dibukanya industri perkebunan besar-besaran di wilayah Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi misalnya telah memaksa mereka merubah pola hidup yang radikal untuk bertahan. Hutan yang dibabat untuk perkebunan menyebabkan sulitnya mendapat makanan. Hasil buruan yang makin langka dan pemukiman berupa sudung di perkebunan yang tidak mendapat ijin dari pemilik akan menimbulkan konflik baru. 

SAD harus terus melangun (nomadik), bukan semata-mata karena kultur dan keinginan mereka, tetapi itulah cara terbaik untuk bertahan hidup di tengah arus kapitalisme yang merangsak masuk ke habitatnya.  Pandangan sebagian kalangan agar pemberdayaan KAT merepresentasikan pola hidup aslinya, misalnya tetap mempertahankan pola mencari makan, bentuk rumah, cara berpakaian, tidak selalu dapat diyakini. 

Pengalaman menunjukkan bahwa warga KAT menginginkan kemajuan sebagaimana yang dirasakan warga kota. Beberapa KAT di Papua misalnya menginginkan rumah mereka terbuat dari semen dan beratap seng. Sebagian yang lain sangat mendambakan penerangan listrik. Bahkan banyak warga KAT yang mendambakan bertani dan beternak sebagai pengganti cara meramu dan berburu.

Prakondisi Pemberdayaan dan Pendampingan

Ada pendapat, daripada membawa kemajuan orang luar kepada KAT yang menimbulkan dampak negatif, biarkanlah mereka hidup seperti apa adanya karena mereka sudah melakoninya beratus tahun dan mereka tetap bertahan. Kemajuan itu akan datang sendiri lambat atau cepat, termasuk kemajuan bagi warga KAT.

Membiarkan siapa pun untuk tumbuh dan berkembang sendiri yang hanya dipandu oleh nilai-nilai kearifan lokalnya tentulah tidak arif dan bijaksana. Benar bahwa alam memang menyediakan segalanya termasuk kebutuhan bagi KAT. Tetapi alam juga harus diolah dan dikelola sehingga memberi kemaslahatan bagi penghuninya. Ini memerlukan pengetahuan dan keahlian yang tidak selalu dimiliki warga KAT. Sementara itu keinginan mendudukkan KAT setara dengan warga lain yang lebih maju tidak bisa diraih dengan sekejap dan instan. 

Menyiapkan semua kebutuhan warga KAT oleh orang luar yang berperan sebagai subjek akan menimbulkan ketergantungan, dan harapan akan terjadinya kemandirian warga KAT hanya akan menjadi mimpi. Karena itu perlakuan kepada komunitas ini harus khusus, partisipatif, berkelanjutan dan situasional. Perlakuan untuk setiap KAT seyogianya spesifik karena setiap KAT memiliki kekhususannya sendiri baik sosial budaya, pandangan dan pola hidup hingga derajat keterpencilannya. 

Karena itu memberdayakan KAT diawali dari dalam secara induktif dengan mengelola sedemikian rupa nilai-nilai lokal agar dapat beradaptasi dengan nilai-nilai dari luar. Cara ini pun harus dilakukan secara gradual dan tidak semata-mata memenuhi target. Situasional dimaksudkan pada di mana situs (tempat) KAT berada, yang tentunya perlakuan bagi mereka yang menetap di pegunungan, dataran rendah, pesisir atau daerah aliran sungai juga harus berbeda.

Akulturasi budaya dengan orang luar memerlukan mediator. Pendampingan menjadi pilihan utama melakukan proses mediasi ini yang mempersiapkan warga membuka diri terhadap budaya baru dan menyaring  secara perlahan budaya luar untuk diperkenalkan kepada warga. Kekuatan pendampingan akan terlihat dari kemampuan warga KAT untuk tinggal dan bertahan dalam pemukiman bersama, kemampuan berhubungan dengan masyarakat terdekat serta menyesuaikan diri dengan iklim setempat.

Apakah Program Telah Menjawab Kebutuhan KAT

Peraturan Presiden RI Nomor 186 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan Sosial Terhadap Komunitas Adat Terpencil telah memberi rambu-rambu yang jelas. Dari sisi regulasi pemberdayaan KAT memiliki legitimasi yang kuat. Bahkan pada UU Nomor 23 Tahun tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah pembagian kewenangan penanganan KAT pun telah diatur sedemikian rupa. 

Intinya bahwa pemberdayaan KAT bertujuan mewujudkan perlindungan hak sebagai warga negara, pemenuhan kebutuhan dasar, integrasi KAT dengan sistem sosial yang lebih luas, dan kemandirian sebagai warga negara. Dari sisi program pun, KAT telah ditempatkan sebagai salah satu program prioritas nasional.

Sejalan dengan regulasi yang memayunginya, tahapan pemberdayaan KAT telah diformulasikan secara bertahap dan berkelanjutan. Pemetaan Sosial sebagai langkah awal untuk mencari, menemukan dan mendata KAT di suatu lokasi menjadi langkah penting. Upaya ini dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten bersama dengan perguruan tinggi yang memiliki kapabilitas dalam pemetaan KAT. 

Para antropolog dan ahli budaya adalah peneliti terdepan. Integritas mereka dipertaruhkan untuk benar-benar memetakan KAT yang ada. Hasilnya adalah apakah komunitas yang dipetakan itu tergolong KAT atau bukan, jika benar maka kriterianya mengelana, menetap sementara apa menetap terpencil? Tantangan dalam tahapan ini adalah kesediaan Pemda melakukan pemetaan, alokasi anggaran yang tersedia dan kapasitas para peneliti. 

Kualitas data hasil pemetaan sangat menentukan strategi pemberdayaan berikutnya. Ada yang mengkhawatirkan bahwa KAT tidak seksi di mata para politisi di parlemen Daerah karena mereka tidak memiliki identitas yang bisa memberikan suara pada pemilihan legislatif dan pemilihan Kepala Daerah. Data KAT yang diperkirakan sekitar 250.000 KK (sekitar 41% telah diberdayakan) sebenarnya belum menggambarkan data ril karena data tersebut adalah usulan Daerah yang telah melakukan pendataan dengan anggaran sendiri. 

Ada dugaan populasi KAT sesungguhnya jauh lebih besar dari database saat ini. Artinya dukungan anggaran Daerah yang merupakan hasil bahasan eksekutif dan legislatif adalah cerminan keberpihakan Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan KAT.

Penjajagan Awal dan Studi Kelayakan (PASK) merupakan langkah lanjutan untuk memverifikasi data hasil pemetaan sosial. Peneliti bersama pihak terkait dari pemerintah kabupaten dan provinsi serta petugas Pusat berupaya memastikan kelayakan data. Hasilnya adalah apakah KAT yang ditemukan layak diberi program pemberdayaan, berapa lama, dalam bentuk apa dan dengan strategi bagaimana. Layak tidaknya suatu populasi KAT diberdayakan akan ditentukan oleh berbagai faktor. 

Status lahan dan lingkungan permukiman yang ditempati penting dipertimbangkan apakah layak sebagai permukiman. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Dinas Agraria dan Tata Ruang  misalnya harus memberi rekomendasi atas kelayakan tersebut. Pembahasan dalam tahapan ini juga termasuk berapa tahun program dilaksanakan, bagaimana keterlibatan sektor terkait dalam program dan sebagainya. Tahapan PASK penting untuk meyakinkan policy makers bahwa data KAT akurat, sesuai regulasi dan ada keterlibatan sektor terkait dalam program pemberdayaan.

Tahap lainnya adalah Semiloka Daerah dan Semiloka Nasional. Hasil pemetaan sosial dan PASK dibahas lagi bersama Kementerian Sosial dan pihak terkait untuk kemudian menentukan prioritas, jumlah target, indeks bantuan. Ujung dari semua itu adalah keputusan tentang lokasi pemberdayaan KAT, jumlah warga yang akan diberi program,  jenis bantuan, durasi pemberdayaan dan parameter-parameter keberhasilan.

Kembali pada pertanyaan, apakah program telah menjawab kebutuhan KAT? Hal ini akan sangat terkait dengan disiplin melaksanakan berbagai tahapan awal. Persoalannya sering para peneliti dan birokrat Daerah sudah mengetahui jenis bantuan yang akan diberikan dalam program pemberdayaan. Akibatnya hasil kajian kadang kala kering dan berujung pada rekomendasi penyediaan rumah sederhana, jaminan hidup dan kegiatan-kegiatan teknis yang telah dilaksanakan bertahun-tahun. 

Padahal jauh dari rutinitas itu seharusnya ada analisis mendalam yang menjelaskan kondisi awal KAT ante pemberdayaan yakni analisis situasi sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, psikologis, politis yang akan dievaluasi pada post pemberdayaan. Komparasi before and after pemberdayaan adalah hasil penting yang harus diukur untuk melihat kinerja program.


Tantangan Saat Ini

Pemberdayaan KAT bukanlah hal mudah. Persebaran populasi yang sulit dilacak akibat lokasi yang terpencil dan pola hidup nomadik, populasi yang sulit didata, biaya yang mahal dalam penjangkauan dan penyediaan kebutuhan dasar, antara lain adalah faktor-faktor yang menjadi kendala penanganan. Dalam pelaksanaan program pemberdayaan, regulasi yang ketat harus diperhitungkan misalnya status lahan tempat tinggal, kelayakan permukiman untuk kehidupan dan penghidupan ke depan.

Beberapa komunitas yang telah berdomisili lama di suatu hutan, ketika hendak diberdayakan melalui penyediaan permukiman layak sederhana segera terbentur akibat lahannya telah masuk hutan lindung, hutan produksi atau kawasan yang tidak boleh dibangun. Warga KAT akan mengklaim bahwa mereka pemilik lahan yang sah karena telah hidup turun temurun jauh sebelum pemetaan hutan dilaksanakan.  

Pada kasus lain, industri kehutanan dan perkebunan telah merambah kawasan permukiman KAT sehingga membatasi ruang gerak mereka untuk mempertahankan hidup. Studi kelayakan untuk mengetahui profil calon KAT yang akan diberdayakan melalui pembangunan rumah layak sederhana kadangkala tidak dilakukan dengan cermat dan mendalam. 

Lahan pemukiman yang sempit dan tidak ada ruang untuk berkebun, sumber air yang jauh antara lain adalah kasus yang ditemui di lapangan.   Akibatnya ada warga KAT yang harus tetap mencari nafkah di hutan dengan jarak yang jauh dari rumah tinggal  karena tidak ada lahan yang bisa digarap untuk penghidupan.

Persiapan penyesuaian diri warga KAT yang homogen dan tertutup terhadap orang luar yang heterogen sering belum matang sehingga menyebabkan konflik dengan warga sekitar. Di suatu lokasi baru pemukiman KAT di Kabupaten Merangin Jambi misalnya pernah terjadi konflik akibat salah paham kecil tetapi berdampak besar. 

Warga yang meludah di hadapan oknum warga KAT disikapi dengan ketersinggungan dan berujung konflik komunal. Akibatnya pemukiman yang telah disiapkan tidak bisa ditempati warga KAT dan mereka harus kembali ke habitat awal. Pendampingan yang lemah dianggap salah satu faktor kurang berjalannya proses akulturasi KAT dengan warga sekitar.

Dari sisi regulasi, Perpres Nomor 186 Tahun 2014 Tentang Pemberdayaan Sosial Terhadap Komunitas Adat Terpencil adalah payung hukum yang kuat dalam upaya pemberdayaan komunitas ini. Tantangan dari sisi regulasi adalah pembatasan jangka waktu pemberdayaan yang ditetapkan di dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 186 Tahun 2014 Tentang Pemberdayaan Sosial Terhadap Komunitas Adat Terpencil. 

Dalam Permensos ini, jangka  waktu pemberdayaan terhadap KAT (Pasal 10) dilaksanakan berdasarkan kategori KAT dengan ketentuan kategori I selama tiga tahun berturut-turut, kategori II selama dua tahun berturut-turut, atau kategori III selama satu tahun. Akibatnya hasil evaluasi yang merekomendasikan apakah warga KAT telah benar-benar graduated atau belum dari keterpencilan kurang menjadi pertimbangan dalam melakukan exit program. 

Setelah masa pemberdayaan 1 sampai 3 tahun sesuai kategori, program KAT harus dirujuk kepada Pemerintah Daerah.  Artinya masa pemberdayaan harus benar-benar terencana, bersinergi antar berbagai pihak terkait Pemerintah Pusat, Daerah, Dunia Usaha serta keberpihakan Pemda dalam melakukan pemberdayaan lanjutan atau purnabina.


Bagaimana Pemberdayaan KAT ke Depan?

Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya pemberdayaan KAT yang telah dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 1969, termasuk peran dunia usaha dan lembaga-lembaga non pemerintah telah membawa banyak kemajuan bagi KAT. Lokasi KAT yang awalnya sangat terpencil, belakangan pasca pemberdayaan telah berubah menjadi desa, kecamatan bahkan menjadi ibukota kabupaten. 

Agats misalnya adalah lokasi KAT yang menjadi ibukota Kabupaten Asmat Papua. Dari sisi sumber daya manusia, pemberdayaan KAT telah melahirkan banyak warga yang berpendidikan tinggi dan menjadi tokoh-tokoh pemerintahan. Di Mentawai Sumatera Barat misalnya, ada banyak pejabat daerah dan  anggota legislatif yang mengaku eks warga KAT yang telah diberi pemberdayaan oleh Pemerintah. Di daerah lain anak-anak KAT tidak terhitung jumlahnya yang telah menjadi sarjana. Melihat populasi KAT yang masih besar dan memerlukan percepatan pemberdayaan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

*Database Nasional

Seperti disinggung di atas, populasi KAT dalam database saat ini hanyalah laporan Pemerintah Daerah tentang indikasi adanya fenomena komunitas adat yang masih terpencil di daerahnya. Data ini dilaporkan Pemerintah Daerah Kabupaten secara sukarela untuk kemudian dikaji lebih lanjut. 

Pemda yang memiliki keberpihakan terhadap KAT akan melakukan kajian, sementara yang tidak berpihak dan tidak mengalokasikan anggaran pemetaan sosial tentu tidak akan memberikan laporan. Karena itu pemetaan KAT secara nasional perlu dilakukan sehingga diketahui jumlah populasi yang sesungguhnya, area persebaran, kriteria keterpencilan. 

Bahkan bagi KAT Purnabina, yakni KAT yang telah diberdayakan beberapa tahun lalu dan sudah dinyatakan exit perlu dikaji ulang status sosial, ekonomi, geografi dan demografinya. Database nasional KAT akan memberikan gambaran jumlah populasi saat ini termasuk estimasi pertumbuhannya beberapa tahun ke depan, untuk kemudian menyusun rencana strategis pemberdayaan atau penghapusan keterpencilan.

*Peran Pemerintah Kabupaten

Undang-Undang Nomor 23 Taun 2014 Tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan bahwa pemberdayaan KAT menjadi tugas Pemerintah Kabupaten. Regulasi ini memberi peluang bahwa kekhususan KAT di setiap Daerah perlu dipertimbangkan dalam pendekatan pemberdayaan. Di samping kemiskinan dan ketertinggalannya, KAT sangat mungkin memiliki kearifan lokal spesifik yang tidak dimiliki komunitas lain. 

Sebut saja KAT di Asmat. Kemampuan dalam seni pahat suku ini telah mendunia yang pantas dijual ke seantero dunia. Keberpihakan dan kemampuan Pemerintah Kabupaten sangat menentukan pelestarian talenta warga ini. Karena itulah pengembangan KAT dapat diarahkan sesuai dengan keunikan budaya setempat. 

Maka ke depan KAT bisa menjadi penghasil karya artistik yang sangat khas, lokasi wisata, sumber musik lokal tradisional dengan instrumen musik tiup, petik dan atau tari-tarian. Talenta alami seperti ini banyak terdapat dan masih hidup di kalangan KAT seperti antara lain di Mentawai, Dayak, Papua. 

Tantangannya adalah bagaimana Pemerintah Daerah memberi keberpihakan nyata bagi mereka.  Dalam membuka isolasi KAT, beberapa Bupati telah memberi perintah kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mengambil bagian. Membuka akses jalan, penerangan, perumahan, air bersih, keterampilan bertani atau beternak, layanan kesehatan, pendidikan adalah kebutuhan dasar yang semuanya dapat disediakan melalui peran OPD Kabupaten. Keberpihakan Bupati seperti ini telah terjadi di beberapa Daerah dan menunjukkan hasil nyata yang cepat dirasakan warga.
   
*Memastikan KAT Masuk dalam Sistem Data Nasional

Merupakan keniscayaan bahwa basis data penduduk nasional sudah dalam sistem yang dikelola secara terpusat. Program yang dilaksanakan oleh setiap sektor harus berbasis data tersebut. Karena itu setelah database KAT berhasil dibangun baik melalui sensus nasional maupun sensus lokal oleh Daerah, harus dipastikan bahwa data tersebut menjadi bagian dari basis data nasional. 

Dengan data ini barulah diupayakan seluruh program perlindungan sosial, penanganan kemiskinan atau program pemberdayaan diarahkan ke KAT. Agar selaras dengan regulasi, harus juga dipastikan semua warga KAT secara individu mendapatkan hak-hak sipilnya yakni Nomor Induk Kependudukan (NIK), Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP), akte kelahiran dan sebagainya.  Ketersediaan hak-hak sipil ini akan melicinkan masuknya program-program perlindungan sosial kepada KAT.  

*Keterlibatan Masyarakat dan Dunia Usaha

Pemberdayaan KAT perlu melibatkan sebesar mungkin potensi yang ada. Mengandalkan dana pemerintah Pusat dan Daerah yang sangat terbatas tidak dapat mengejar persoalan KAT yang populasinya bertambah karena ada temuan KAT baru atau pertambahan alami, serta ongkos program yang meningkat. 

Mengambil perbandingan, populasi KAT yang berhasil didata sampai dengan tahun 2018 yang jumlahnya sekitar 250.000 KK, baru bisa diberdayakan sekitar 104.000 (41,6%).  Bahkan sesuai Rencana Kerja Pemerintah, target pemberdayaan melalui anggaran Pusat per tahun hanya  2.099 KK.

Untuk mengatasi pendanaan ini maka digandeng lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan korporasi. Ada banyak lembaga sosial karitatif dan keagamaan yang mengambil peran penting dalam pemberdayaan KAT. Demikian juga korporasi melalui corporate social responsibilty (CSR). 

Dukungan yang diberikan beragam mulai dari penyediaan balai sosial, air bersih, mandi cuci kakus (MCK), penerangan solar cell, layanan kesehatan, pendidikan, pendampingan dan sebagainya. Bahkan ke depan akan diinisiasi gerakan orang tua asuh bagi anak-anak KAT untuk mendapatkan pendidikan. Dukungan lembaga-lembaga sosial dan dunia usaha sebenarnya sangat tinggi karena dana yang dikucurkan langsung menyentuh warga. Hanya saja diperlukan inisiatif dan dorongan Pemerintah Daerah.

*Pendampingan

Pendampingan adalah upaya paling soft dalam pemberdayaan KAT. Pendamping sebagai agen perubahan bisa berasal dari warga setempat yang berdekatan dan paham kultur warga KAT. Bisa juga tenaga sarjana profesional dari luar yang memiliki kapasitas dan integritas. Sejak awal Pendamping telah menjadi front liner yang menjadi mitra pemerintah mentransformasikan berbagai kecakapan hidup kepada warga KAT. 

Meski tidak banyak orang berpendidikan yang berdedikasi tinggi untuk tinggal bersama warga KAT di pedalaman, ke depan kegiatan ini harus terus digalakkan. Pendampingan berkelanjutan akan dilanjutkan dan diperkuat dengan sistem rekrutmen yang baik, pelatihan yang sesuai, jaminan dan insentif yang memadai  termasuk fasilitas di lapangan. Pendampingan yang berhasil akan menghasilkan percepatan akulturasi budaya KAT dengan pihak luar. Pendampingan juga akan membangun perencanaan exit strategy pemberdayaan KAT pasca pemberdayaan.

Parameter Keberhasilan Pemberdayaan

Kata "Terpencil" dalam nomenklatur Komunitas Adat Terpencil adalah masalah yang harus dihapuskan. Jika keterpencilan sudah hilang maka komunitas tersebut akan menjadi komunitas adat atau komunitas dusun yang setara dengan komunitas lainnya. Disadari bahwa adat yang dimiliki komunitas adalah potensi besar yang telah menjadi way of life, referensi hidup bersama yang melanggengkan komunitas itu bisa bertahan puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun. 

Adat dalam konteks yang luas dengan demikian adalah cara bertahan masyarakat sebagaimana pendapat sosiolog Georg Simmel: how society is possible.   Karena itulah adat harus diberi ruang untuk berjalan, berkembang dan mengadakan berbagai penyesuaian hingga akulturasi budaya berjalan. Akulturasi yang dimaksud adalah proses sosial yang timbul ketika suatu KAT dengan budaya tertentu dihadapkan dengan budaya luar dan budaya luar itu diolah dan diterima secara lambat laun tanpa menghilangkan unsur budaya sendiri.

Beberapa parameter minimal yang harus dicapai pasca pemberdayaan KAT, di samping keberhasilan akulturasi itu adalah (1) adanya kemauan dan kemampuan warga KAT hidup bersama dalam pemukiman, (2) tersedianya sumber-sumber untuk bertahan hidup yakni sumber kehidupan dan penghidupan berkelanjutan, (3) terpenuhinya hak-hak sipil dan politik sebagai warga negara, (4) tersedianya akses terhadap kebutuhan dasar ekonomi, kesehatan, pendidikan, transportasi, informasi. 

Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka komunitas adat yang semula terpencil akan menjadi komunitas adat yang setara dan sejahtera. Jika warga KAT yang dulunya terpencil dan miskin, kemudian upaya pemberdayaan berhasil dengan parameter itu, maka kita telah berhasil "mengedepankan yang terbelakang" atau putting the last first sebagaimana gagasan Robert Chambers di atas.  Dan di sinilah visi pemberdayaan KAT itu mencapai ujungnya.

* Dr. Harapan Lumban Gaol, bekerja di Kementerian Sosial RI, saat ini sebagai Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT).

harlgaol@gmail.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun