Globalisasi merupakan sebuah istilah yang tidak asing lagi pada era saat ini. Era globalisasi merupakan dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dan berakibat pada kompleksnya tuntutan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hidup. Globalisasi merupakan pilihan yang penuh risiko, jika diabaikan maka ketertinggalan dengan negara lain merupakan risiko mutlak yang harus diterima, karena menolak dan menghindari modernisasi dan globalisasi sama artinya dengan mengucilkan diri dari masyarakat internasional (Nasution, 2017). Oleh karena itu kita sebagai negara berkembang tidak dapat menutup diri, karena adanya globalisasi merupakan proses menuju lingkup dunia (Setyawati et al., 2021).
Produk turunan yang dihasilkan dari era globalisasi adalah dunia "fatamorgana" atau yang mungkin lebih familiar disebut dengan dunia maya atau dunia digital. Dunia maya merupakan wujud dari digitalisasi dunia fisik manusia yang menciptakan sebuah sistem kompleks dan seolah nyata layaknya dunia fisik manusia pada umumnya. Melihat jauh di masa lalu, kita akan memahami bahwa informasi hanyalah sebuah kabar atau berita. Sedangkan komunikasi di masa lalu merupakan sarana interaksi dengan menggunakan isyarat atau kode untuk menyampaikan pesan. Namun dengan seiring berkembangnya zaman, baik informasi maupun komunikasi telah bertransformasi secara kompleks dan sistematis, dari yang semula tertutup menjadi lebih terbuka dan mudah diakses oleh kalangan umum, serta dapat menembus batas ruang, waktu, jumlah, kapasitas dan kecepatan.
Derasnya arus informasi dan komunikasi membuat efek domino bagi masyarakat dunia, karena apa yang sedang menjadi tren dalam suatu negara lain akan bisa langsung diadopsi oleh negara lainnya (Hermawanto & Anggrani, 2020). Hal tersebut akhirnya akan berpengaruh terhadap gaya hidup generasi muda. Para generasi muda ini umumnya sangat cepat dalam menerima hal baru, ditambah dengan mental yang masih labil, menjadikan mereka banyak mencontoh tren perilaku yang kadangkala menyimpang, terutama yang berkaitan dengan budaya timur. Sebenarnya sudah sejak lama, banyak negara mewacanakan tentang pendidikan global untuk menghadapi era globalisasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin memburuknya kondisi global, dan disinilah tugas dari pendidikan untuk melakukan perbaikan. Sedangkan pendidikan sendiri dalam hal ini memiliki fungsi dan potensi untuk melakukan berbagai persiapan menghadapi perubahan dalam masyarakat sesuai dengan tuntutan era globalisasi (Subiyanto, 2019).
Sementara itu, keberhasilan suatu negara dalam menghadapi era globalisasi, tidak bisa dilepaskan dari kualitas tenaga pendidik. Para pendidik perlu dituntut menguasai keahlian, mampu beradaptasi dengan teknologi baru dan serta siap menghadapi tantangan globalisasi. Sedangkan tuntutan muatan pembelajaran dalam era globalisasi diharapkan mampu memenuhi pembelajaran dan keterampilan inovasi, keterampilan literasi digital, serta karir dan kecakapan hidup (Delfi & Hudaidah, 2021).
Globalisasi dalam Pendidikan
Menurut Zamroni (2000) imbas dari globalisasi, mendorong beberapa perubahan dalam paradigma pendidikan, yaitu 1) proses pendidikan yang berorientasi pada peserta didik, 2) pendidikan yang lebih fleksibel, 3) proses pendidikan sepanjang hayat, serta mencairnya sekat batas pendidikan di sekolah dan di luar sekolah (Subiyanto, 2019). Orientasi Pendidikan di masa lalu pernah memasuki masa dimana proses pembelajaran dipusatkan kepada para guru atau pendidik. Model ini lebih menekankan guru sebagai pemeran utama untuk mencapai hasil belajar yang berarti bahwa guru merupakan satu-satunya sumber ilmu. Namun dengan adanya perubahan tuntutan masyarakat akibat dari gobalisasi, model pembelajaran tersebut dirasa sudah tidak relevan lagi sehingga terjadi perubahan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Model pembelajaran ini merupakan metode pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat dari proses belajar. Pendekatan ini menekankan siswa untuk lebih aktif dalam memecahkan masalah, menjawab pertanyaan, merumuskan pertanyaan mereka sendiri, berdiskusi, menjelaskan selama di kelas, pembelajaran kooperatif pada masalah dan proyek (Satriaman et al., 2019).
Globalisasi telah mendorong pergeseran pendidikan ke arah fleksibilitas dalam proses pembelajarannya. Lahirnya teknologi baru, memunculkan alternatif solusi untuk memecahkan berbagai masalah terkait ruang, jarak, dan waktu dalam proses pembelajaran. Dengan perkembangan teknologi, kegiatan pembelajaran dimungkinkan melewati batas-batas fisik ruang (Oey-Gardiner, et al, 2017). Salah satu opsi alternatif solusi masalah tersebut adalah Pendidikan jarak jauh. Menurut (Permendikbud, 2013) pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Sehingga pada era saat ini pendidikan tidaklah selalu bersifat formal dan klasikal di dalam kelas, melainkan lebih fleksibel sesuai dengan kesepakatan bersama antara pendidik dan peserta didik.
Di masa depan dengan adanya perkembangan teknologi informasi, masyarakat memiliki akses dan kesempatan yang luas untuk belajar sepanjang hayat. Kapan saja dan dimana saja, serta siapa saja dapat melakukan proses belajar tersebut (Hairani, 2018). Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap individu. Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan diri. Dengan pendidikan, akan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu negara (Saleh et al., 2020). Sehingga dengan begitu pentingnya pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia, maka setiap individu akan sadar bahwa sepanjang hidup merupakan waktu belajar yang tidak terbatas, maka perlu untuk selalu belajar sepanjang hayatnya untuk menghadapi perubahan jaman yang begitu dinamis. Sementara itu selama ini umumnya pendidikan sering diasosiasikan dengan kegiatan pembelajaran secara formal di lingkungan sekolah akademik. Namun terkadang hasil yang diperoleh selama proses pembelajaran di sekolah formal dirasa cukup terbatas, sehingga perlu dukungan tambahan untuk mengisi celah tersebut, dan disinilah peran pendidikan luar sekolah dibutuhkan. Pendidikan luar sekolah merupakan sub sistem dari pendidikan nasional yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar tertentu secara fungsional bagi masa sekarang dan masa depan (Saleh et al., 2020).
Panen Buah Globalisasi
Generasi Kreatif, Inovatif, dan Hi-Tech
Dengan perkembangan teknologi, kegiatan pembelajaran dimungkinkan melewati batas-batas fisik ruang (Oey-Gardiner, et al, 2017). Semakin cepatnya arus informasi dan komunikasi membuat efek domino bagi masyarakat dunia karena apa yang sedang menjadi tren dalam suatu negara lain akan bisa langsung diadopsi oleh negara lainnya (Hermawanto & Anggrani, 2020). Kejadian apapun yang dialami oleh sebuah negara, dalam waktu singkat akan diketahui oleh bangsa-bangsa lain, atau istilah lainnya telah mengglobal (Subayil, 2020). Hal itulah yang menginspirasi dalam melahirkan ide-ide kreatif dan inovatif utama bagi pelajar yang adaptif terhadap perkembangan jaman. Iklim itulah yang pada akhirnya mendorong dan melahirkan generasi penerus yang lebih responsif terhadap perkembangan teknologi, sehingga kedepannya lahir bibit-bibit generasi responsif terhadap teknologi (generasi hi-tech) dari segala lini. Lahirnya generasi hi-tech tersebut juga merupakan penggerak utama dari cepatnya perkembangan globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Era saat ini tidak bisa kita pungkiri merupakan era ketergantungan terhadap teknologi. Kondisi tersebut menjadikan manusia tidak dapat hidup tanpa adanya smartphone dan internet. Dengan adanya smartphone semua kebutuhan telah terakomodasi dan tercukupi dalam satu perangkat yang bernama gadget atau smartphone. Sementara kecanggihan gadget akan semakin sempurna dengan terkoneksinya jaringan internet, sehingga segala kebutuhan di era sekarang cukup terwadahi dalam prangkat gadget, mulai dari aktivitas umum sampai aktivitas yang bersifat privat. Imbasnya adalah banyak dari manusia yang berperilaku secara kompulsif atau bahkan sudah terjangkit sebuah "virus" bernama nomophobia, atau sebuah kondisi dimana seseorang tidak dapat menjalani aktivitas harian secara normal dan nyaman tanpa adanya gadget di tangan.
Sezer dan Atilgan (2019) mendefinisikan nomophobia sebagai gangguan masyarakat modern dalam dunia digital dan virtual yang mengacu pada perasaan ketidaknyamanan, kecemasan terkait dengan ketidakmampuan untuk mengakses ponsel (Fadhilah et al., 2021). Jika kita telusur secara riil di lapangan, nomophobia tidak terjadi secara tiba-tiba begitu saja. Banyak kita jumpai bahwa sejak usia dini, anak anak sudah tidak asing bahkan piawai dalam menggunakan gadget. Kondisi tersebut menjadikan gadget sebagai bagian integrasi yang tak terpisahkan dalam kehidupan sejak usia dini. Padahal dampak berkepanjangan akibat adanya interaksi dengan gadget, terlebih sejak usia dini sangatlah luar biasa, baik dalam hal positif maupun negatif. Pemberian gadget tanpa pengawasan dan pendampingan yang baik akan dapat menimbulkan kecanduan dan kebablasan yang bermuara pada nomophobia. Sehingga seiring berjalannya waktu, menjadi sebuah kebiasaan buruk yang terbawa sepanjang usia. Imbasnya adalah ketika anak-anak dalam usia sekolah, mereka tidak antusias dalam proses pembelajaran yang bahkan cenderung acuh dan lebih memilih bermain gadget daripada belajar dengan tekun.
Â
Degradasi Moral dan Etika
Globalisasi menurut McGrew (1992) adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan dibelahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat dibelahan dunia yang lain (Indratmoko, 2017). Sehingga ketika muncul sebuah hal baru yang cukup menarik perhatian, maka seringkali hal tersebut berpotensi  menjadi sebuah acuan, pertimbangan bahkan sugesti bagi sebagian individu, terlebih pada golongan remaja. Hal demikian terjadi karena pengaruh globalisasi sosial budaya pada era teknologi informasi dan komunikasi yang paling rentan adalah remaja, karena para remaja dapat secara langsung  mengakses berbagai sumber dari internet (Indratmoko, 2017). Pengaruh  globalisasi  tersebut  telah  membuat  banyak  remaja  kehilangan  moral  dan kepribadian  diri  sebagai  bangsa  Indonesia (Setyaningsih, 2019), dan jika diperhatikan dengan seksama, moralitas yang ada pada pada generasi muda sekarang sudah mulai luntur, banyak sekali anak-anak zaman sekarang yang berperilaku tanpa moral di dalamnya (Kurniawan et al., 2023). Tantangan yang muncul di era Revolusi Industri 4.0 (globalisasi) dalam hal pendidikan menurut Qoerul Ahmad Tabiin (2019) diantaranya adalah krisis moral. Hal ini diakibatkan oleh penyalahgunaan media elektronika dan media massa lainnya yang berdampak pada perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah, penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan, malas belajar dan tidak punya integritas dan krisis akhlak (Maharani et al., 2022).
Â
Generasi Instan dan Hoax
Jika kita cermati, adanya globalisasi melahirkan sebuah fenomena baru yaitu komparasi terbuka antar banyak hal. Adanya komparasi terbuka membuat individu relatif menuntut adanya "kesempurnaan", karena banyaknya pilihan yang bersifat praktis dan cepat yang ujung-ujungnya menjadi sebuah standar acuan dan tuntutan. Tren inilah yang lama-kelamaan menciptakan kebiasaan (budaya) baru yang dapat disebut juga sebagai budaya instan. Sehingga tren yang berlaku telah bergeser orientasi kepada hasil, dibandingkan beberapa waktu sebelumnya yang berorientasi kepada proses. Kebiasaan manusia yang ingin segala sesuatu diperoleh secara instan ini menurut (Indratmoko, 2017) merupakan dampak dari tuntutan jaman yang semakin kompleks, sebab itu tuntutan ini akhirnya menciptakan orang-orang, alat-alat, ataupun teknologi yang dapat membantu manusia dalam memperoleh sesuatu secara cepat. Sedangkan untuk kondisi saat ini, generasi yang sedang eksis yaitu generasi Z merupakan pembelajar global yang mempunyai karakteristik mampu mengatasi permasalahan yang kompleks secara cepat dengan merangkai segala sesuatunya menjadi cara baru. Hal tersebut menyebabkan anak generasi Z tidak sabar untuk menunggu proses. Generasi Z juga memiliki kecenderungan terburu-buru ingin menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan cara yang instan karena imbas dari komunikasi dan interaksi dengan media sosial yang cenderung lebih cepat dan bersifat praktis (Handayani, 2019).
Mental Kaca
Generasi Z merupakan kelompok individu yang tumbuh dan berkembang dalam era teknologi, serta mengalami dan menyaksikan kecanggihan era digital. Era digital sendiri telah membawa perkembangan dan perubahan besar dalam banyak aspek, namun juga menyebabkan pengidap penyakit mental semakin tinggi (Bakar et al., 2022). Hasil penelitian O'Reilly et al. (2018) mengungkapkan bahwa media sosial merupakan ancaman pada remaja terhadap kesejahteraan mental terkait penyebab gangguan mood dan kecemasan, platform untuk cyberbullying dan potensi sumber kecanduan yang sebagai imbalannya dapat memberikan penjelasan potensial untuk hasil saat ini (Suswati et al., 2023). Menurut National Institute of Mental Health penggunaan media sosial ternyata dapat meningkatkan risiko gangguan mental pada remaja usia 18 s.d 25 tahun, yang termasuk dalam kategori generasi Z (Rudianto, 2022). Banyak pengguna media sosial merasa depresi, tertekan, hingga memutuskan untuk bunuh diri karena dipermalukan oleh pengguna lain di media sosial (Rosmalina & Khaerunnisa, 2021). Oleh karena itu imbas yang ditimbulkan dari globalisasi utamanya dari media sosial menjadikan mental dari para generasi sekarang mengalami suatu distorsi yang memunculkan kerapuhan pada diri. Kondisi  tersebut jika dianalogikan layaknya sebuah kaca yang mempunyai karakteristik mudah pecah atau rusak jika mendapatkan gangguan atau tekanan yang berlebih, yang notabene kondisi yang kurang lebih sama dengan yang dihadapi oleh generasi pada saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H