[caption id="attachment_383432" align="aligncenter" width="630" caption="Seorang perempuan yang menjadi sandera di kafe Lindt, Sydney, Australia berhasil meloloskan diri. Sejauh ini sudah lima sandera berhasil melarikan diri. (Kompas.com/AFP)"][/caption]
Dalam artikel yang ditulis oleh pengamat intelijen, Prayitno Ramelan, yang pagi hari ini (17/12) menjadi Headline, ditulis dalam analisisnya bahwa pelaku penyanderaan di Lindt Cafe, Sidney, Australia adalah seorang Muslim Syiah (Artikel di link ini).
Saya meragukan analisis itu dan sudah berkomentar di tulisan tersebut dengan memberikan link dari situs salah satu media terkemuka Iran, IRIB, yang ada di Indonesia. Di dalamnya memuat pernyataan Juru Bicara Menteri Luar Negeri Iran dan dari beberapa media mengenai siapakah sosok Mohammad Hasan Manteqi, yang kemudian mengubah namanya menjadi Harun Munis (link berita di sini).
Dengan hanya menelan mentah informasi telanjang di media begitu saja tentu akan menjadi absurd jika itu dinamakan analisis intelijen. Berikut adalah beberapa analisis saya yang meragukan mengenai hal tersebut:
Pertama, berdasarkan informasi dari link IRIB di atas, latar belakang pelaku adalah sebagai berikut:
"Mohammad Hasan Manteqi Boroujerdi, 20 tahun lalu lari dari Iran karena kondisi akhlak dan perilaku tidak seimbang, serta karena memiliki mentalitas anti-Revolusi Islam. Karena kondisi mental yang labil dia meninggalkan istri dan anaknya menuju ke luar negeri. Selama dua dekade dia berada di Australia melakukan berbagai upaya memusuhi Republik Islam dan Syiah dan beberapa waktu terakhir dalam pernyataannya via Facebook, dia telah keluar dari Syiah dan bergabung dengan kelompok teroris ISIS. Dia juga mengubah namanya menjadi Syeikh Harun Munis". Dalam sumber lain dari media Australia disebutkan hal serupa (link di sini).
Selain itu, menurut juru bicara Menteri Luar Negeri Iran, Marzieh Afkham, menyatakan terkejut dengan publikasi berita tidak tepat dan cacat ini tentang pencari suaka asal Iran itu. Dikatakannya, seluruh catatan dan kondisi mental dan kejiwaan orang ini telah berulangkali disampaikan kepada para pejabat Australia dua dekade lalu, dan bahwa waktu itu Tehran telah menjelaskannya kepada para pejabat terkait."
Kedua, ini yang penting. Kenapa saya meragukan bahwa pelaku adalah Syiah? Karena dalam Syiah ajaran tentang "Jihad" atau berperang dalam arti mengangkat senjata areanya bukan area Tafsir yang diserahkan kepada masing-masing orang sebagaimana yang ada di Sunni atau Wahabi. Dalam Syiah, Jihad mutlak wewenang dari Rahbar (Pemimpin Tertinggi), yang saat ini dipegang oleh Ali Khamenei.
Jihad atau berperang hanya boleh dilakukan jika ada perintah/fatwa dari Rahbar. Presiden pun, dalam hal menyuarakan perang, tidak bisa mengeluarkan langsung perintah itu. Ini yang seringkali lolos dari analisis para pengamat (untuk mengetahui lebih dalam mengenai doktrin Jihad dalam Syiah silahkan rujuk ke buku utama yang ditulis oleh penggagas Republik Islam Iran, Imam Khomeini dalam buku al-Hukumat al-Islamiyyah, baik versi asli Farsi maupun Arab. Saya sendiri kebetulan sudah pernah menelaah isi buku tersebut.)
Ketiga, Negara Islam adalah mutlak dan sudah terjadi dalam Syiah, bukan suatu yang masih harus diperjuangkan oleh senjata sebagaimana yang dilakukan oleh ISIS. Iran bentuk negaranya adalah Republik Islam, sehingga untuk berperang atau meneror negara lain karena untuk alasan mendirikan negara Islam sangat tidak mungkin. Memang, Iran banyak membantu negara-negara lain dalam peperangan, tetapi itu bukan tujuannya mendirikan negara Islam. Melainkan aksi perjuangan kemanusiaan. Ini bisa dilihat dari sumbangsih Iran pada perjuangan Palestina dan di negara-negara lain. Begitu pun di Indonesia, Iran dan para sarjana Indonesia lulusan Iran tidak pernah berniat untuk mengekspor konsep negara Islam di NKRI ini (mengenai hal ini silahkan baca disertasi mahasiswa UIN mengenai peran para lulusan Qum di Indonesia).
Keempat, fatwa yang terus didengungkan, baik oleh Imam Khomeini maupun oleh penggantinya Ali Khamenei adalah justru bukan pada sisi kekerasan, peperangan, atau menebar teror, melainkan aspek persatuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Terakhir, penyanderaan di Australia adalah tragedi kemanusiaan, kita semua menyayangkan hal itu terjadi. Patut berbela sungkawa bagi para korban pada tragedi tersebut. Namun, analisa dari kasus itu seringkali lebih bermuatan menyudutkan kelompok tertentu, seperti yang terjadi di Jerman kemarin di mana 15 ribu demonstran menyuarakan Anti-Islamisasi.
Tidak fair juga analisis intelijen tetapi tidak melibatkan di dalamnya analisis kenapa intelijen Australia bisa kecolongan oleh aksi hanya one man show dari Munis. Pak Prayitno hanya menyebutkan di akhir tulisan dalam beberapa kalimat, "Aparat keamanan Australia nampaknya kecolongan karena kepemilikan senjata Monis yang sedang dalam kasus kriminalitas. Atau mungkin ada support agent di belakang Monis yang memperalatnya, kita tunggu penyelidikan polisi Australia". Saya mengharapkan analisis intelijen lebih dari itu. Kalau untuk mengatakan bahwa kepolisian kecolongan semua orang juga tahu itu, tetapi kenapa bisa kecolongan ini yang penting diangkat dari suatu analisis intelijen bukan merembet ke faktor agama dengan analisis seadanya.**[harjasaputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H