Di sebuah kompleks pembuangan sampah.
"Kenapa kalian tidak sholat?," tanya pak dokter berkacamata dengan heran.
Para lelaki pemulung berbadan kerempeng, sebagian bertato, memandang Pak Dokter dengan tatapan kurang senang. "Maksude sampeyan opo'o?"
"Lha ini hari Jum'at, kok tidak Jum'atan?," ulang pak Dokter bernama Michael. Jelas dia bukan Muslim.
"Pak dokter, pak dokter...," ujar mereka seraya tersenyum getir. "Hidup itu untuk makan. Kalo cuman sholat apa bisa dapat uang? Keluarga kami (sehari) cuman makan sekali..."
Tatapan mereka perih, seperih perut mereka yang tengah dililit kelaparan.
Dokter Michael terdiam, mulutnya kering. Ia meyakini, sangat meyakini, manusia tidak hanya butuh kesehatan badan dan jiwa, tapi juga rohani. Selain makanan dan hiburan, manusia juga butuh berdoa. Tapi menjelaskan konsep itu di hadapan manusia-manusia yang sedang kelaparan dalam arti sesungguhnya, tidaklah mudah. Bayangkan, makan sehari cuman sekali. Tidak bisa makan hanya siang atau malam saja. Kalau makannya siang saja, malamnya lapar, kalau makannya malam saja, siangnya lapar. Makan sekali, makannya harus jam setengah empat sore, agar malamnya tidak kelaparan, siangnya tidak kelaparan. Sebuah strategi jitu menyiasati pahit getir kemiskinan.
"Mau tak bikinkan tempat sholat?," Dokter Michael bertanya sambil tersenyum. Mendadak ia mendapat ide.
"Siapa yang mau bikin? Siapa yang mau nyumbang di tempat sampah kayak gini?" Nada-nada sumbang penuh pesimis bersahutan.
"Bisa!" Dokter Michael kembali tersenyum; para pemulung terdiam.
"Kamu bisa cari kayu bekas?," tanya Dokter Michael pada seorang lelaki berkaos oblong di depannya.