"Udah Rud, Udah.. lo kaya ga tau si Juno aja dia orangnya ga bisa serius. Dia Cuma bisa serius waktu nyeduh kopi doang. Hahahahaha."
"Lo kalo ngomong suka bener dah Nic."Aku mengakhiri perdebatan.
Kami tertawa ditemani seruput demi seruput kopi yang hampir habis. Dan kepul asap rokok yang mengudara di langit-langit ruang malam sehabis hujan. Kami sengaja berpindah keluar untuk mendapatkan sensasi udara segar.
"Gue jadi kasihan deh sama presiden kita, sama pejabat-pejabat Negara, walikota sama gubernur yang udah kerja mati-matian buat rakyat, tapi masih aja dihujat. Difitnah lawan politik buat kepentingan sesaat."
Nico sepertinya ingin mengembalikan topik obrolan pada jalur keresahannya terhadap situasi politik yang malah semakin tak jelas arahnya.
"Tapi yang namanya kepemimpinan Rud, Nic. Kaya nyeduh kopi."Kataku.
"Maksud lo gimana jun?"Rudi Kebingungan.
"Nih, ya.. ketika lo nyeduh kopi dengan menawarkan kopi yang sesuai sama yang konsumen pengen, pake seduhan yang ngeluarin rasa kopi yang sesuai sama referensi lidah mereka,"aku mulai tampak serius.
"Tetep aja ada konsumen yang ujungnya minta gula. Ada aja yang kopinya ga dihabisin atau bahkan dibuang."
"Pada akhirnya kita ga bisa menyalahkan selera konsumen. Yang penting kita memberikan yang terbaik buat konsumen kan?"
"Tumben omongan lo ada isinya Jun!"Rudi menepuk pundakku sambil tersenyum bangga. Seolah melihat anaknya yang baru saja  diwisuda.