Science without religion is lame, religion without science is blind
(Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang,
agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta.
– Albert Einstein (1879-1955).
SERING kita dengar, bahkan barangkali sudah hafal di luar kepala kalimat bijak sarat makna yang disampaikan ilmuwan Swiss-Amerika kelahiran Jerman, Albert Einstein, ihwal eratnya hubungan timbal-balik, antara agama dan ilmu pengetahuan ini. Justru, bila kita kembali menghikmati kalimat-kalimat dari penemu Teori Relativitas tersebut, akan semakin menemukan makna relevansinya dengan kekinian.
Kita sadari, globalisi telah mengubah cara hidup manusia sebagai individu, sebagai warga masyarakat, dan sebagai warga bangsa. Tidak seorang pun dapat menghindar dari arus globalisasi. Setiap individu dihadapkan pada dua pilihan, yakni dia menempatkan dirinya dan berperan sebagai pemain dalam arus perubahan globalisasi, atau dia menjadi korban dan terseret derasnya arus globalisasi.
Arus globalisasi juga masuk dalam wilayah pendidikan dengan berbagai implikasi dan dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam konteks ini tugas dan peranan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan sangat berperan.
Tugas dan peran guru dari hari ke hari semakin berat, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat.
Melalui sentuhan guru di sekolah, diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi. Sekarang dan ke depan, sekolah (pendidikan) harus mampu menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, baik secara keilmuan (akademis) maupun secara sikap mental.
Secara keilmuan (akademis), melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat berkembang, kemajuan SDM semakin kentara. Sementara itu, secara sikap mental, kalangan dunia pendidikan pun semakin intens menerapkan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Intinya, pada setiap kesempatan yang memungkinkan tumbuh-kembangnya kondusivitas pendidikan karakter siswa, maka peluang untuk masuk tidak pernah terabaikan. Ini semata-mata demi mengejar “keseimbangan” ilmu pengetahuan dan agama.
Salah satu kesempatan penguatan mental peserta didik adalah di Bulan Suci Ramadhan ini. Penguatan mental dengan pembobotan nilai-nilai keagamaan, di Bulan Ramadhan dimungkinkan akan lebih member makna bagi peserta didik. Di satu sisi, baik yang baru masuk ke jenjang pendidikan baru (ke SD, SMP, atau SMA/SMK), atau yang baru naik kelas, masih diliputi suasana fresh, yang memungkinkan daya serap penerimaan pendidikan mental bisa cepat terserap. Di sisi lain, suasana Ramadhan yang secara massif memungkinkan lingkungan diorientasikan pada totalitas ibadah, menciptakan kondusivitas yang kental.