Mohon tunggu...
Hariyawan Esthu
Hariyawan Esthu Mohon Tunggu... Ghostwriter -

Ghostwriter, peminat masalah sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hilman, Gerakkan Anak-anak Motor untuk Selamatkan Lahan-lahan Terlantar

10 Mei 2016   16:06 Diperbarui: 10 Mei 2016   16:18 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hilman Jaya Putra. * dok. pribadi

Waktu sepertinya diam. Tidak berputar. Terbukti, setelah 20 tahun meninggalkan desa tempat kelahiran, saat kembali, ternyata keberadaan lemah cai tempatnya lahir sepertinya baru kemarin saja ditinggalkan. Nyaris tidak ada perubahan. Justru di sana-sini terlihat banyak kemunduran. Tanah-tanah yang dulunya hijau, terlihat tandus dan tidak terurus. Banyak yang terlantar. Sementara itu, masyarakat dalam meningkatkan perekonomiannya, tampak semakin sulit.

Hilman Jaya Putra yang dulunya “anak gedongan” di perkebunan, kemudian lama hidup di kota besar, akhirnya tergerak untuk menyingsingkan lengan baju, mengeratkan tali sepatu, bertekad untuk menghijaukan kembali lahan-lahan terlantar itu; dia jadi petani! Dia panas-panasan, bermandi peluh. Hujan-hujanan, menentang angin dan dingin. Semua ini semata-mata demi menuntaskan dua misi utamanya; menghijaukan kembali lahan-lahan terlantar di kampungnya, sekaligus menyejahterakan kehidupan para petani penggarapnya.

DUA puluh tahun meninggalkan desa tempat kelahiran, setelah mengenyam pendidikan di sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah menengah tingkat atas di kota untuk kemudian menikmati hiruk-pikuk kota, saat kembali, ternyata keberadaan lemah cai tempatnya lahir sepertinya baru kemarin saja ditinggalkan. Nyaris tidak ada perubahan.Justru di sana-sini terlihat banyak kemunduran. Tanah-tanah yang dulunya hijau, terlihat tandus dan tidak terurus. Sementara itu, masyarakat dalam meningkatkan perekonomiannya, tampak semakin sulit.

Itu adalah apa yang dilihat dan dirasakan Hilman Jaya Putra, saat dirinya kembali ke desa tempat kelahirannya di Desa Sukakarya, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur. Pria kelahiran 28 september 1970 ini, begitu keluar dari SDN Leuwimanggu Sukanagara (1982), kemudian pergi ke Kota Cianjur untuk melanjutkan sekolahnya di SMP Pasundan Cianjur,seterusnya masuk SMEA PGRI 18 Cianjur. Usai menamatkan SMEA, dia tidak kembali ke desa, malahan kemudian lama hidup di Kota Bandung.

“Saya kembali ke sini pada tahun 2002, berarti telah 20 tahun saya meninggalkan kampung. Ironisnya, nyaris tidak ada perubahan yang saya lihat di kampung saya ini. Saya lihat justru mengalami banyak kemunduran,” kata Hilman, mengawali obrolan dengan penulis di beranda rumah panggungnya, yang terletak tepat di belakang Mesjid Arrohmah, Kampung Cirawa, RT 03/RW 06, Desa Sukakarya, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, beberapa waktu lalu.

penulis-5731a2107893733e056b2f6c.jpg
penulis-5731a2107893733e056b2f6c.jpg
Penulis saat berbincang-bincang di rumah Hilman, di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur. * dok. hariyawan esthu

Terlindung dari gerimis hujan di luar, ditemani beberapa gelas kopi hitam dan makanan ringan yang disuguhkan sang istri, Lina Marlina, lelaki yang tercatat sebagai Juara 1 Wana Lestari PKSM Jawa Barat (2012) dan kemudian menjadi Juara 3 Wana Lestari PKSM Tingkat Nasional (2012) ini pun mengisahkan pengalamannya dalam melakukan konservasi lingkungan di desa tempat kelahirannya.

Hilman Jaya Putra lahir dan menjalani masa kecil di lingkungan perkebunan PTP Nusantara VIII. Bahkan ayahnya adalah salah seorang pejabat berpengaruh di lingkup PTP Nusantara VIII tersebut. Dia tahu, bagaimana keseharian orang bekerja di perkebunan. Dia juga tahu wilayah-wilayah yang menjadi areal perkebunan, khususnya di Kecamatan Sukanagara. Sepengetahuannya, dulu itu wilayah perkebunan di daerahnya terbagi ke dalam 12 wilayah Pasir Nangka (PaN).

“Saya ingat, dulu itu ada 12 PaN, yaitu PaN 1 sampai PaN 12. Tetapi kemudian, ketika saya pulang kampung, dari ke-12 PaN itu banyak yang terlantar. Malahan setelah dilakukan pendataan, tanah milik BUMN yang terlantar itu mencapai hingga 850 hektar,” lanjut Hilman.

Kecamatan Sukanagara secara umum, khususnya Desa Sukakarya, tanahnya dihimpit oleh tanah negara yang dikelola Perhutani dan tanah BUMN PTP Nusantara VIII. Di sini tanah milik rakyat tidak terlalu luas, juga tidak terlalu banyak. Hilman membandingkan, di Kecamatan Kadupandak dimungkinkan warganya ada yang naik haji hasil dari sawah atau hasil dari kebun, karena di sana memang luas sekali tanahnya. Tanah rakyat semua. Tetapi di Sukanagara kebanyakan tanah BUMN, BUMD.

“Jadi kalau di sini ada petani yang punya lahan 1 hektar, maka sudah masuk orang kaya sekali. Seumur hidup saya di sini, tidak ada orang yang naik haji, hasil dari bertani, karena tidak ada lahan. Beda dengan Kecamatan Pagelaran yang banyak sawah. Di sini orang-orang itu, bila sudah sekolah, daripada nganggur maka kerja ke perkebunan. Hasilnya juga di bawah UMR. Jadi kalau orang punya Rp 5-10 juta, di sini itu termasuk mengkhayal,” tegas Hilman.

Hilman berpikir, pantas saja masyarakat di daerahnya secara umum tingkat perekonomiannya rendah, karena lahan garapan yang mereka kerjakan juga sedikit atau terbatas. Sementara itu, penduduk yang sebelumnya banyak bekerja di perkebunan, sedikit demi sedikit mereka tidak bisa bekerja lagi. Pihak perkebunan mengurangi jumlah karyawan, mengingat lahan garapan yang mereka kerjakan pun semakin berkurang.

Makanya ketika Hilman pulang kampung, saat hendak mencari pekerjaan, sulit karena lapangan kerjanya juga tidak ada. Jalan satu-satunya adalah mencari potensi yang ada. Hilman melihat potensi yang ada itu adalah lahan perkebunan yang terlantar. Seketika itu, diniatkan dalam hatinya untuk bergerak di penghijauan. Tadinya minatnya di pertanian, tetapi kalau di pertanian masyarakat di desanya sudah pada pintar juga dalam menanam sayuran. Hanya karena pasarnya yang jauhlah, maka cost-nya menjadi lebih tinggi, jadi tidak bisa bersaing di kota. Transportnya tinggi.

Setelah sekian lama melakukan pengamatan, Hilman menyimpulkan bahwa hal yang cocok dan bersifat investasi bagi masyarakat di daerahnya di masa depan adalah tanaman kayu-kayuan.

“Jadi, selain saya perduli ke lingkungannya, lahan terlantar yang tidak ditanami itu nantinya juga bisa bermanfaat bagi masyarakat. Makanya saya di sini bersama kawan-kawan membuat gerakan penghijauan. Gerakan penghijauan, yang tentu saja berorientasikan peningkatan perekonomian. Tanam kayu, nanti ada hasilnya,” jelas Hilman.

Lika-liku awal perjuangan Hilman yang baru saja datang sebagai anak kota, untuk melakukan penghijauan sekaligus berinvestasi yang bernilai ekonomi, tidaklah selancar seperti terlihat sekarang.

Hilman punya tanah pemakaman kurang-lebih 400 meter. Sebagai awal tekadnya, pada tahun 2002 tanah pemakaman itu dia tanami hanya 50 pohon. Tidak sebatas tanah makam, dia mulai masuk-keluar wilayah tanah-tanah kritis yang terlantar untuk melakukan penanaman.

“Dengan naik motor, saya masuk hutan dan menjangkau tanah-tanah terlantar. Saya bawa bibit-bibit tanaman untuk ditanam. Melihat saya asruk-asrukan seperti itu, banyak penduduk yang merasa heran, malahan menertawakan. Pikir mereka, mungkin saya gila mau-maunya berbuat susah payah seperti itu sekadar untuk menanam pohon,” kenang Hilman, yang mengaku sering menderita dalam melakukan misinya itu, terutama ketika persediaan air minumnya habis, sementara dia berada di lokasi yang jauh dari rumah penduduk, jauh pula dari mata air atau sungai.

Seiring dengan bertumbuhannnya bibit pohon yang ditanam Hilman, bertumbuhan pula kepercayaan pemerintah daerah setempat, terutama masyarakat setempat terhadap hasil yang akan dicapai dari kerja keras yang dilakukan Hilman. Dalam proses berikutnya, dia pun kemudian menjadi Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM).

Mendayagunakan Anak-anak Motor

Konservasi atau penghijauan yang berorientasi peningkatan kesejahteraan masyarakat, tentu saja perlu dilakukan secara terencana dan dilaksanakan secara tepat guna. Berangkat dari keperdulian lingkungan, Hilman menyadari bahwa kalau serempak menanam kayu-kayuan, nanti juga gundul-gundul juga. Makanya dia bersama kawan-kawannya membuat suatu fluktuasi penanaman yang secara periodik, rotasi. Dalam lahan 850 hektar itu diupayakan tahun pertama sekian hektar ditanami tanaman apa saja misalnya, sehingga kalau tanaman hutan yang diproyeksikan itu 5 sampai 6 tahun, misalnya 100 hektar, sehingga ketika sudah 5-6 tahun ditebang, tetap yang itu ada, sehingga terjadi rotasi di situ. Kepada masyarakat pun diberikan analisis ekonomi yang sangat sederhana, bahwa menanam kayu itu perhektar sekian perpohon sekian, harga sekarang taruhlah Rp 150 ribu/pohon dengan fluktuasi populasi tanaman perhektar jarak 2 x 2,5 itu 2.000, kalau 2.000 pohon x Rp 150 rb sajalah, maka 5 tahun kemudian Rp 300 juta buat masyarakat.

“Di sini hal mustahil bagi masyarakat biasa mengumpulkan atau pemasukan sebesar itu. Makanya dengan sedikit sentuhan analisis ekonomi itu, masyarakat banyak yang tertarik,” ujarnya.

Diakui Hilman, memang dalam teknis pelaksanaanya tidak mudah, karena karakteristik masyarakat di sana yang tadinya karyawan, yang menghasilkan uang itu dari hasil bekerja, tiba-tiba bagaimana diajarkan wirausaha dan perduli lingkungan. Jalan keluarnya, Hilman kemudian mengolaborasikan antara petani yang senior dengan pemuda. Misalnya, seperti diketahui, di kota banyak orang dibuat susah dengan keberadaan geng motor. Asal tahu saja, di daerah juga ada.

“Anak-anak muda tersebut kalau disentuh langsung ‘kan larinya brutal. Saya dekati mereka, ajak ngobrol bagaimana keinginan mereka, kita pun masukan harapan kita. Saya tidak habis ide. Komunitas para pemuda bermotor yang ada di sini, saya tarik ke kehutanan dengan membuat sebuah komunitas yang saya namakan KMPH, yaitu Komunitas Motor Perduli Hutan, pada tahun 2010. Mereka dikasih lahan garapan,” cerita Hilman.

kmphh-5731a3097893735d056b2f74.jpg
kmphh-5731a3097893735d056b2f74.jpg
Komunitas Motor Peduli Hutan kini memiliki lahan garapan. * dok. hilman

Soal pemberian lahan garapan pada KMPH, bagi Hilman karena tanah itu bukan tanah pribadi, tetapi tanah negara. Biasanya kalau masyarakat mengelola tanah negara, kalau tidak dikoordinir, ketika pemerintah memerlukan tanah itu, bukan berterima kasih masyarakat itu, malah demo. Justru Hilman dengan masyarakat membuat komitmen. Membuat legalitasnya dari pemerintah, Hilman membuat komitmen dengan masyarakat.

“Boleh ditanami, tetapi ketika pemerintah memerlukan, kita serahkan. Misalnya suatu saat tanah ini diambil negara untuk kepentingan negara, kita tidak akan demo-demo, bahkan akan berterima kasih. Kepentingannya tentu untuk benar-benar kepentingan negara,” ungkapnya.

Karena telah diberi lahan garapan, KMPH pun merasa telah diberi kepercayaan dan tanggung jawab. Akhirnya, mereka juga membantu dalam penanaman. Hal positif yang sangat membantu, penanaman itu biasanya ke pelosok yang jauh-jauh; untuk dipikul jauh, kendaraan juga tidak masuk, merekalah yang berbuat. Mereka bawa pohon-pohon itu ke motor, membawanya ke hutan. Hobinya tersalurkan, mereka pun punya investasi karena diberi lahan garapan.

“Jadi kalau bicara petani, di daerah lain biasanya kakek-kakek ya, aki-aki atau 50 tahun ke atas, tetapi di sini 70%-nya adalah pemuda. Pemuda yang nganggur-nganggur tadinya, sekarang jadi petani,” jelas Hilman bernada bangga.

Tentu saja, kata Hilman, banyaknya para pemuda itu kemudian bergabung, justru karena dorongan para orangtuanya juga. Seperti diketahui, di wilayah perkebunan dulu itu masih ada nilai-nilai feodalisme warisan Belanda, dengan lahirnya istilah “anak gedongan” dan “anak bedengan”. Anak gedongan adalah anak-anak para tokoh atau pejabat di perkebunan. Sedangkan anak bedengan, adalah anak-anak yang orangtuanya bekerja keras sebagai pekerja di perkebunan. Ayah Hilman adalah salah satu tokoh di perkebunan. Lebih-lebih, di perkebunan itu yang namanya tokoh, maka di mata masyarakat dinilai tokoh sekali. Dengan demikian, nasib Hilman berada di kelompok “anak gedongan”. Hal selanjutnya, Hilman yang dulunya hidup di kota, dengan sendirinya bergaya kota, tiba-tiba pulang kampung, mau jadi petani; panas-panasan, hujan-hujanan. Anak gedongan yang kemudian hidup lama di kota, ketika pulang kampung, ternyata mau bekerja keras, bermandi peluh.

“Kang Hilman saja mau, kamu koktidak?” Kurang-lebih seperti itu dorongan yang disampaikan para orangtua agar anak-anaknya mau melibatkan diri melakukan penghijauan bersama Hilman.

Diakui Hilman, basickeilmuan dirinya di kehutanan sebenarnya tidak ada. Pendidikan terakhir Hilman adalah SMEA. Dengan sendirinya, ilmu keekonomianlah yang lebih dia kuasai daripada ilmu kehutanan. Terapi ketika dirinya bergerak di satu bidang kewirausahaan, ilmu keekonomiannya itu ternyata bisa dimanfaatkan.

Perjuangan yang Didukung Keluarga

Sebagai mantan “anak gedongan”, diakui ayah dari Monira Polalina dan Flora Rimba Pertiwi ini bahwa dirinya bersama kawan-kawan petaninya kini sedang berjuang. Secara jujur diakui Hilman, seperti yang lainnya dia juga ingin hidup layak, punya keluarga dengan rumah bagus, anak-anak tercukupi segala keinginannya. Tetapi Hilman bukanlah sosok yang egois, yang dia pikirkan terlebih dahulu adalah lingkungan dulu.

“Rumah saya 5x5 meter yang panggung ini adalah asli rumah saya. Demi Allah. Mungkin orang lain berpikir, Kang Hilman yang juara nasional penghijauan, yang populer itu, rumahnya kok begitu? Sebenarnya ketika saya dari kota banyak uang dari hadiah, bisa saja membangun rumah yang layak. Tetapi tidaklah, saya ingin membangun lingkungan dulu. Berbagi dululah. Tetapi ketika saya ingin berbuat sesuatu buat masyarakat, jadilah orang langka. Kira-kira begitulah. Saya yakin pada suatu saat, atas kerja keras saya akan ada hasilnya itu bisa terganti. Saya juga punya hitung-hitungan. Tetapi saat ini saya berjuang dulu,” kata Hilman yakin.

Ihwal rumahnya saat ini yang sederhana, Hilman menegaskan dirinya orang yang tidak gengsian. Dia mempersilakan teman-temannya yang dulu dari Bandung untuk berkunjung. Malahan dari Kepala Dinas, dari Kementrian Kehutanan dan Perkebunan pernah singgah di rumahnya.

“Saya apa adanya seperti ini. Saya tahu begini, karena saya sedang berjuang. Suatu saat, saya tidak boleh begini lagi,” ulangnya lagi.

Dalam kegiatannya yang begitu banyak menyita waktu, tentu saja tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh pihak keluarga. Hal ini diakui Hilman. Diyakininya, tantangan seorang suami untuk berbuat sesuatu adalah dari rumah, yaitu istri.

“Tetapi ketika kita jeli, mudah sebenarnya untuk menjinakkan istri itu. Yang penting ‘kan dapurnya ngebul. Makanya supaya dapurnya kondusif, saya bikin warung-warungan di depan itu,” tutur Hilman.

Memang disadari Hilman, penduduk perkebunan di tempatnya tinggal itu jumlahnya terbatas. Dengan demikian, pembeli di warungnya pun terbatas pula. Oleh karena itu, dia bekerjasama dengan karyawan PTP Nusantara VIII dan dengan pensiunan. Sifat pembayarannya tidak cash,tetapi perbulan, dari kebutuhan sehari-harinya saja. Jadi perbulannya dipotong dari gaji.

“Tetapi ada juga yang hutangnya gede, yang saat gajian justru masih minus, jadi menggantung. Tetapi ya tidak apa-apa. Intinya membuka warung itu tidak semata-mata mencari keuntungan. Ujung-ujungnya membantu masyarakat juga. Saling menguntungkanlah. Biar istri saya juga ada kegiatan setiap hari, penghasilannya ada, saya juga bisa bergerak bebas,” jelasnya.

Intinya, diakui Hilman, jika tidak ada dukungan keluarga, sangat sulit bagi seorang laki-laki untuk berhasil. Konsekuensinya adalah dapur ngebul dan berani hidup sederhana. Memang terdengarnya sederhana, tetapi belum tentu setiap orang bisa menjalaninya. Menjalani kehidupan yang sederhana, seperti Hilman bersama keluarga tercintanya.*

hilman-3-5731a39927b0bd2d06b9f5f1.jpg
hilman-3-5731a39927b0bd2d06b9f5f1.jpg
Sebagai PKSM, pada 2012 Hilman mendapat penghargaan dari Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan. * dok. hilman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun