[caption caption="H. Chaerudin alias Babeh Idin di KTLH Sangga Buana. * Ft. hariyawan esthu"]
[/caption]
SIANG belum begitu tinggi. Panas matahari pun belum begitu menggigit kulit, ketikakami sampai di “Hutan Kota Pesanggrahan Sangga Buana Karang Tengah, Jakarta Selatan”. Ya, kami telah sampai di hutan kota yang dikelola Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana, tepatnya di Jalan Karang Tengah Raya No. 21 RT 01/RW 03, Kelurahan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan.
Di antara H. Chaerudin –yang akrab disapa Babeh Idin--, KTLH Sangga Buana, dan Kali Pesanggrahan ibarat telah menjadi satu kepaduan. KTLH Sangga Buana adalah nama organisasi yang didirikan Babeh Idin, untuk menindaklanjuti upayanya melakukan konservasi di bantaran Kali Pesanggrahan, yang kini membentuk sebuah taman hutan kota.
Lokasi taman hutan kota ini, memang menyatu dengan bantaran sungai yang dulu dihijaukan kembali oleh Babeh Idin dan kawan-kawannya itu. Dahulunya, lokasi itu juga yang dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga setempat.
Tetapi saat ini, bila melihat hamparan tanah luas yang dipagari puluhan ribu pohon yang menghijau, kalau kita tidak datang sendiri, tidak akan menyangka bahwa berjarak sekitar empat kilometer dari hiruk-pikuk (eks) Terminal Lebak Bulus, di sudut Selatan Jakarta, terdapat hutan kecil yang rimbun. Mirip “dunia lain” dari sisi gegap gempita Ibukota Indonesia, Jakarta.
Kini kawasan ini kerap menjadi tujuan wisata minat khusus, terutama rombongan yang ingin menikmati masih asrinya Kota Jakarta, sambil memancing, menyusuri Kali Pesanggrahan dengan perahu karet, melihat kuda-kuda bebas berkeliaran, melihat cara beternak kelinci dan kambing, bahkan melihat proses pemanfaatan sampah.
Melihat kehadiran para pengunjung di areal taman hutan itu, laki-laki bertubuh kekar kelahiran 13 April 1956 ini tidak kuasa untuk menahan senyum sumringahnya. Senyum dari rasa syukur lebih dari 30 tahun hasil perjuangan dia dan kawan-kawannya, yang telah banyak menghasilkan perubahan.
“Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga secara kejiwaan. Setiap pagi atau sore orang kumpul di sini. Bayangin saja, di taman hutan ini, sambil belajar tentang alam, ‘kan ini masuknya silaturrahmi, ” katanya bersemangat, dengan logat Betawi kental.
Kata Babeh Idin, para pengunjung dapat memanfaatkan hutan kota untuk belajar, karena menyimpan sekitar 60 ribu jenis pohon. Di sepanjang bibir Sungai Pesanggrahan antara lain tumbuh pohon bambu, sukun, melinjo, rambutan, tanjung, belimbing wuluh, atau nangka. Di sini orang boleh memetik buah-buahan apa pun atau memancing ikan secara gratis.
“Orang di sini bebas metik dan mancing, tapi asal (ikut) menjaga (hutan dan sungainya),” katanya tulus.
Babeh Idin menilai, hutan kota tersebut mempunyai nilai kehidupan yang dibutuhkan warga di sekitarnya. Di sisi lain, kehadiran orang-orang itu sangat penting untuk ikut menjaga sungai dari kerusakan.
“Konservasi itu harus punya nilai kehidupan,” tegasnya lagi, seraya menyambung, “Kalau konservasi tidak punya nilai kehidupan, bagaimana orang-orang di sekelilingnya akan perduli? Mereka akan perduli, karena mendapatkan manfaat langsung dari konservasi itu.”
[caption caption="Naik perahu karet di Kali Pesanggrahan. | Ft. Dok. Sangga Buana"]
Tempat Pembuangan Sampah
Melihat langsung puluhan ribu pohon di pinggiran Kali Pesanggrahan, kita tidak bisa membayangkan ketika tumpukan sampah beraroma busuk masih menggunung di kawasan itu, lebih dari 30 tahun silam. Di akhir 1980-an, sampah bertebaran sepanjang bantaran yang tandus atau di kali yang airnya kehitaman. Sampah rumah tangga dan limbah industri, menjadi penyumbang utama tercemarnya air kali.
Babeh Idin bertekad mengembalikan kondisi kali Pesanggrahan ke semula! Hal paling sederhana, yaitu mengangkut sampah dari aliran sungai dan bantarannya ke tempat pembuangan sampah.
Dia pun mulai menanami bantaran sungai, dari mulai ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu bibit pohon, yang menurut ukuran khalayak banyak, tidak masuk akal.Walaupun kala itu sempat dicemooh banyak orang, tetapi dia tetap menjalankan upayanya itu dan berhasil.
Kini hasilnya sungguh luar biasa. Area seluas 40 hektar, membentang sepanjang tepian Kali Pesanggrahan, menjadi ijo royo-royo. Burung-burung berkicau setiap hari. Bahkan burung cakakak yang bersarang di tanah dan sudah jarang ditemui di wilayah lain di Jakarta, kini juga bisa ditemukan. Pohon-pohon yang mulai langka di Jakarta semacam huni, jamblang, kirai, salam, tanjung, kecapi, kepel, rengas, mandalika, drowakan, gandaria, bisbul, dapat dijumpai di sini. Belum lagi tanaman obat yang jumlahnya mencapai 142 jenis.
Di samping menghijaukan bantaran, Babeh Idin dan kelompoknya berhasil menghidupkan kembali tujuh mata air yang dulunya mati. Air sungai tidak lagi kehitaman, sehingga cukup sehat bagi berkembangbiaknya ikan-ikan. Secara berkala, KTLH Sangga Buana melepaskan bibit-bibit ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak ke dalam Kali Pesanggrahan.
Bahkan, upaya yang dilakukan telah berhasil mengangkat kesejahteraan petani-petani di sekitar Kali Pesanggrahan. Mereka bisa memasarkan hasil kebun sayuran maupun pohon-pohon produktif lainnya, semacam melinjo yang diperkirakan berjumlah 8.000 batang pohon, maupun pisang dan buah-buahan lainnya.
Kini, bantaran Kali Pesanggrahan ramai oleh pengunjung dari seluruh Jakarta. Menjadi hutan wisata gratis yang boleh dikunjungi siapa saja. Uniknya, setiap pengunjung akan diajak menanam pohon atau menebar benih ikan di kali. Mereka juga tidak dilarang memancing atau mengambil hasil hutan seperti memetik melinjo dan memotong rebung. Gratis, asalkan kita tidak merusaknya. Tetapi jangan coba-coba mencari ikan dengan racun atau cara-cara "keji" lainnya, karena Bang Idin dan rekan-rekannya serta masyarakat sekitar akan segera menegur kita.
[caption caption="Babeh Idin dengan penulis.* dok. hariyawan esthu"]
Berbagai kelompok dari sekolah maupun perguruan tinggi juga menyumbangkan ilmu dan tenaga mereka di sini. Beberapa rombongan expatriate dari Jerman, Inggris, Perancis, Australia, Belanda, hingga Jepang pun ikut mencoba merasakan keasrian daerah ini. Untuk mendampingi para wisatawan mancanegara, KTLH Sangga Buana dibantu tenaga pemandu wisata dari Universitas Trisakti yang sebelumnya diberikan pengetahuan tentang alam dan sejarah di sana. Tercatat sekitar 4.000 orang datang berkunjung setiap tahunnya. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H