[caption caption="dok. hariyawan esthu"][/caption]Lubang digali, batu dibakar, babi dipanah. Ratusan lelaki berlarian berkeliling memanggul babi, ratusan lelaki dan perempuan lain berlarian membawa daun singkong, daun pakis, dan dedaunan lain. Para perempuan, sanak saudara, yang lama tidak bersua melepas rindu dengan bersenda-gurau. Para gadis saling menggoda, sementara ibu-ibu mengupas ubi atau menjaga bayi mereka. Persiapan pesta yang riuh. Itulah ritual bakar batu yang secara turun-temurun dilakukan masyarakat Papua.
Bakar batu adalah cara khas masyarakat tradisional Papua memasak babi dengan batu yang dibakar dalam tungku perapian besar, biasanya berukuran 2 x 8 meter.
Proses ini awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa, lalu mulai dibakar sampai kayu habis terbakar dan batu menjadi panas. Setelah itu, babi yang telah dipersiapkan dipanah terlebih dahulu. Biasanya yang memanah adalah kepala suku dan dilakukan secara bergantian.
Pada tradisi ini ada pemandangan yang cukup unik dalam ritual memanah babi. Ketika semua kepala suku sudah memanah babi dan langsung mati, pertanda acara akan sukses dan bila babi yang dipanah tersebut tidak langsung mati, diyakini acara tidak akan sukses.
Setelah mati, seluruh isi perut babi dikeluarkan, menyisakan daging dan lemak tebal yang menempel di kulit babi. Beberapa anak segera berebut usus babi yang biasa mereka tiup layaknya balon.
Dari tungku pembakaran, batu dipindahkan ke dalam galian yang dialasi dedaunan itu, kemudian ditutup dedaunan lagi. Daging dan lemak babi yang masih menempel di kulitnya dimasukkan ke dalam galian itu, ditimbun dengan daun singkong, umbi-umbian, dan dedaunan. Batu panas kembali diletakkan di atas ”adonan” itu dan galian pun ditutup rapat.
Setelah makanan itu matang, semua suku yang hadir pada saat acara bakar batu ini, berkumpul dengan kelompoknya masing-masing dan mulai makan bersama. Tradisi ini dipercaya bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua.
Bakar batu adalah salah satu acara adat terpenting di Papua, biasanya menyertai pesta kegembiraan menyambut kelahiran, merayakan kematian, atau mengumpulkan prajurit untuk berperang.
Bakar batu juga jadi sarana memulihkan keharmonisan hidup manusia yang terganggu dendam peperangan atau kematian.
Prosesi bakar batu juga bisa untuk menghimpun dukungan politik atau sekadar mengumpulkan massa menyambut pejabat dan petinggi negeri. Karena itu, tidak jarang politisi di Papua berkampanye dengan menyelenggarakan bakar batu.
Namun, keindahan sesungguhnya prosesi bakar batu adalah persaudaraan, kebersamaan, dan berbagi kebahagiaan.
Pada perkembangannya, tradisi bakar batu ini mempunyai berbagai nama, misalnya ada yang menyebutnya Gapiia, ada yang menyebutnya Kit Oba Isogoa.
[caption caption="Foto: Hariyawan Esthu"]
Merunut pada asal-usul ritual bakar batu, seperti disampaikan pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Tolikara, Yonas Kogoya, pada zaman dahulu nenek moyang mereka berkebun.
Saat mereka panen dan hasil panennya hendak dimasak, tetapi tidak ada pancinya. Salah satu pasangan suami-istri berpikir dan mengambil batu di kali, lalu batu itu dimasukkan dalam tungku api.
Ia menunggu selama beberapa menit, sampai batu itu menjadi panas/arang. Kemudian ia membuat kolam bundaran kecil di dalam rumah itu dan mengambil dedaunan, lalu menyiapkan alas di kolam bundaran kecil itu.
Selanjutnya menyusun batu di kolam sesuai dengan ukuran kolam; sayuran dan umbi itu dituangkan ke dalam kolam bundaran itu, kemudian menutupinya dengan daunan. Setelah beberapa jam, lalu di buka. Hasilnya ternyata baik untuk dimakan.
“Dari situ mereka mulai berkembang untuk membuat bakar batu. Semakin lama semakin berkembang di seluruh pelosok daerah Pegunungan Tengah sampai kini. Walaupun masakannya dengan dedaunan maupun sayuran sembarangan, tetapi mereka tidak bisa meninggalkan, karena ini merupakan makanan khas mereka dan makanan ini pun tidak mengandung zat kimia dan proteinnya lebih tinggi,” cerita Yonas Kogoya.
Pada setiap tahun, banyak pengunjung dari dalam negeri maupun luar negeri datang ke Tolikara untuk merasakan masakan hasil bakar batu itu. Dengan demikian, ritual bakar batu telah menjadi aset wisata.
Kini tinggal pemerintah daerah mengemasnya, sehingga ritual ini lebih berdaya fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H