Pada perkembangannya, tradisi bakar batu ini mempunyai berbagai nama, misalnya ada yang menyebutnya Gapiia, ada yang menyebutnya Kit Oba Isogoa.
[caption caption="Foto: Hariyawan Esthu"]
Merunut pada asal-usul ritual bakar batu, seperti disampaikan pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Tolikara, Yonas Kogoya, pada zaman dahulu nenek moyang mereka berkebun.
Saat mereka panen dan hasil panennya hendak dimasak, tetapi tidak ada pancinya. Salah satu pasangan suami-istri berpikir dan mengambil batu di kali, lalu batu itu dimasukkan dalam tungku api.
Ia menunggu selama beberapa menit, sampai batu itu menjadi panas/arang. Kemudian ia membuat kolam bundaran kecil di dalam rumah itu dan mengambil dedaunan, lalu menyiapkan alas di kolam bundaran kecil itu.
Selanjutnya menyusun batu di kolam sesuai dengan ukuran kolam; sayuran dan umbi itu dituangkan ke dalam kolam bundaran itu, kemudian menutupinya dengan daunan. Setelah beberapa jam, lalu di buka. Hasilnya ternyata baik untuk dimakan.
“Dari situ mereka mulai berkembang untuk membuat bakar batu. Semakin lama semakin berkembang di seluruh pelosok daerah Pegunungan Tengah sampai kini. Walaupun masakannya dengan dedaunan maupun sayuran sembarangan, tetapi mereka tidak bisa meninggalkan, karena ini merupakan makanan khas mereka dan makanan ini pun tidak mengandung zat kimia dan proteinnya lebih tinggi,” cerita Yonas Kogoya.
Pada setiap tahun, banyak pengunjung dari dalam negeri maupun luar negeri datang ke Tolikara untuk merasakan masakan hasil bakar batu itu. Dengan demikian, ritual bakar batu telah menjadi aset wisata.
Kini tinggal pemerintah daerah mengemasnya, sehingga ritual ini lebih berdaya fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H