Mohon tunggu...
Hariyawan Esthu
Hariyawan Esthu Mohon Tunggu... Ghostwriter -

Ghostwriter, peminat masalah sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bakar Batu, Ritual Memulihkan Dendam dari Papua

19 April 2016   17:23 Diperbarui: 20 April 2016   07:49 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada perkembangannya, tradisi bakar batu ini mempunyai berbagai nama, misalnya ada yang  menyebutnya Gapiia, ada yang menyebutnya Kit Oba Isogoa.

[caption caption="Foto: Hariyawan Esthu"]

[/caption]Asal-usul

Merunut pada asal-usul ritual bakar batu, seperti disampaikan pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Tolikara, Yonas Kogoya, pada zaman dahulu nenek moyang mereka berkebun. 

Saat mereka panen dan hasil panennya hendak dimasak, tetapi tidak ada pancinya. Salah  satu pasangan suami-istri berpikir dan mengambil batu di kali, lalu batu itu dimasukkan dalam tungku api. 

Ia menunggu  selama  beberapa menit, sampai batu itu menjadi panas/arang.  Kemudian ia membuat kolam bundaran kecil  di dalam rumah itu dan mengambil  dedaunan,  lalu  menyiapkan alas di kolam bundaran kecil itu. 

Selanjutnya  menyusun batu di kolam sesuai dengan ukuran kolam; sayuran dan umbi itu dituangkan ke dalam kolam bundaran itu, kemudian menutupinya  dengan daunan. Setelah beberapa jam, lalu di buka. Hasilnya ternyata baik untuk dimakan.

“Dari situ mereka mulai berkembang untuk membuat bakar batu. Semakin lama semakin  berkembang di seluruh pelosok daerah Pegunungan Tengah sampai kini. Walaupun masakannya dengan dedaunan maupun sayuran sembarangan, tetapi mereka  tidak bisa meninggalkan, karena ini merupakan makanan khas mereka dan makanan ini pun tidak mengandung zat kimia dan  proteinnya lebih tinggi,” cerita Yonas Kogoya.

Pada setiap tahun, banyak pengunjung dari dalam negeri maupun luar negeri datang ke Tolikara untuk merasakan masakan hasil bakar batu itu. Dengan demikian, ritual bakar batu telah menjadi aset wisata. 

Kini tinggal pemerintah daerah mengemasnya, sehingga ritual ini lebih berdaya fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun