Candi Suro Pagiyanten atau sering disebut juga Makam Suroponolawen adalah komplek pemakaman kuno yang biasa digunakan untuk “nyepi” (berkhalwat) bagi para peziarah dengan tujuan untuk bertafakur kepada Tuhan sang pencipta. Hari pasaran nyepi jatuh pada malam Jumat Kliwon.
Acara nyepi itu dijalani dengan melakukan ritual zikir dengan harapan agar mendapatkan “petunjuk” perihal keberuntungan seseorang di masa depan.
Ritual nyepi atau berkhalwat diawali sejak Sayid Syarif Abdurachman bin Sulthon Suleman dari Bagdad (Irak) berkelana menyebarkan agama Islam sekitar abad ke-13 M dan mendarat di Desa Pagiyanten yang kala itu masih berupa pesisir. Letak Candi Suro ini sejauh 500 m dari Kantor Balai desa Pagiyanten, Kec. Adiwerna, Kabupaten Tegal.
Sebagaimana dituturkan oleh Ust. Abdul Khaq sang juru kunci Candi Suro Pagiyanten, Sayid Syarif Abdurachman setiap hari menyebarkan agama Islam di lingkungan sekitar sehingga syiar agama Islam kemudian semakin luas dan melebar di wilayah itu. Adiknya, Sayid Syarif Abdurrochim menyusul tak lama kemudian, lalu mereka berdua mendirikan Tajug (Sunda, yang artinya mushola) bersama warga sekitar di tempat itu. Para warga sekitar bergabung menjadi santrinya.
Mereka berdua setiap hari tetap melakukan syiar Islam ke luar daerah yang dibantu oleh para santri. Persebaran agama Islam ke segenap penjuru sekitarnya hingga mencapai persebaran yang luas dan merata, sebagaimana disyaratkan oleh semua penyebar agama Islam pada wilayah yang semula belum menerima syiar agama Islam.
Mengingat jumlah santri semakin banyak lalu diputuskan mendirikan bangunan tambahan untuk asrama para santri dan ruang penyimpanan barang bawaan dari Irak yang dipajang di bagian atas ruang tengah.
Halaman di luar bangunan candi bagian kanan dan kiri serta belakangnya digunakan untuk pemakaman para santri yang meninggal dan lambat laun jika warga sekitar meninggal juga dimakamkan di tempat itu, sehingga bangunan candi tetap terlihat rapih dikelilingi berderetan makam yang terjaga pemeliharaannya. Di lokasi ini banyak kubur para pemuka agama dan santri berupa sederetan nisan yang mengelilingi bangunan utama.
Sebagai pembatas wilayah candi, sekeliling bangunan candi dipagar bata merah telanjang mengelilingi candi, yang hingga kini masih kokoh. Lambat laun santri di tempat ini semakin banyak lalu Asrama para santri diperluas lagi, masjid pun dibangun di luar tembok keliling candi. Pemakaman warga di sekitar candi juga semakin luas.
Candi Suro Pagiyanten ini hingga sekarang masih tetap menjadi tempat “nyepi” para peziarah. Hari pasaran untuk nyepi jatuh pada malam Jumat Kliwon.
Tiap hari pasaran nyepi - malam Jumat Kliwon - , warga berduyun-duyun mengikuti ritual nyepi di Candi Suro Pagiyanten. Peziarah datang pula dari luar kota, disamping warga sekitar sehingga dapat dikatakan pengunjung membludak nyaris berdesakan sepanjang jalan menuju candi.
Di sekitar lokasi ritual jika malam nyepi situasinya ramai sepanjang malam, banyak warga yang menjajakan makanan dan aneka mainan di sepanjang jalan karena sejak sore warga berduyun-duyun hadir beserta anak-anak. Jalan menuju Candi Suro Pagiyanten terang benderang bagai pasar malam pada setiap malam Jumat Kliwon.
Bila malam Jumat Kliwon tiba, di dalam candi banyak warga yang “nyepi” dengan menggaungkan secara perlahan doa bersama dipimpin seseorang yang biasa disebut Juru Kunci. Pembacaan doa secara bersamaan sehingga mengiring alunan senada yang perlahan pula membahana di sekitar candi sepanjang malam.
Menurut cerita yang berkembang, dahulu kala ada peristiwa unik yang terjadi di antara peziarah, di antaranya ada seorang laki-laki yang pingsan usai keluar dari arena nyepi. Di halaman depan lelaki tersebut terkapar di jalanan, lalu ditolong warga.
Setelah siuman, lelaki itu ditanya mengapa dirinya pingsan?
Lelaki itu menggigau bahwa di dalam candi tadi dirinya menyobek kelambu di dalam makam untuk dibawa pulang. Lalu sobekan kelambu itu dikembalikan di bawah tempat semula, setelah itu lelaki tadi kembali sadar.
Peristiwa lain juga berlangsung di sini, peristiwa unik yang tergelar dari ritual nyepi yang berlangsung. Seorang wanita hamil pingsan di dalam candi. Setelah dibawa masuk ruang juru kunci dan siuman, lalu ditanya juru kunci mengapa dirinya pingsan? Dijawab olehnya: “Suami saya ngomongnya tidak sopan. Pan apa mene-mene, njaluk maring wong mati kuwe dosa!” Artinya, mau apa ke sini dan minta-minta seperti mohon-mohon kepada orang yang sudah mati itu dosa!. Usai mengatakan begitu, saya melihat wajah lelaki Arab yang besar sekali persis nampak di depan saya sambil marah-marah dan saya kaget sekali dan juga takut bukan main karena suami saya berkata tidak sopan. Lalu saya menjadi tak sadar. Pingsan.
Di sisi lain, sepanjang jalan menuju lokasi candi, kemeriahan dan keramaian warga berdatangan tetap terjaga hingga tengah malam. Bila azan Subuh terdengar, para peziarah bersama-sama menuju mesjid untuk solat Subuh berjamaah sebelum mereka beranjak pulang.
Matahari bersinar di ufuk timur. Pagi menjelang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H