(Tulisan ini sebelumnya sudah saya posting di http://hariyantowijoyo.blogspot.com pada tanggal 08 Mei 2011)
KACONG, nama ini sudah tidak asing bagi telinga penduduk yang sudah sekian lama menetap di sungai walanae kampung Maricaya Baru, kota Makassar.
Apalagi untuk era tahun 80-an hingga 90-an, namanya kerap dipanggil untuk memenuhi hasrat pemanggilnya menuju tempat tujuan. Bila sudah mendengar namanya dipanggil, dengan bergegas lelaki kelahiran Bima, Nusatenggara Barat itu segera mendorong
kendaraan tiga rodanya alias becaknya menghampiri pemanggilnya.
Ya benar, Kacong, adalah seorang penarik becak , yang dalam istilah Makassar disebut Pa’roga.
Dengan tinggi sekitar 160 cm, badan kurus, serta kulit yang menghitam terbakar panas mentari Makassar, Kacong dengan sigap dan semangat mengantar pemanggilnya yang jadi penumpang, kemanapun penumpangnya inginkan. Sambil mengayuh roda becaknya, anginpun menerpa namun tak bisa membongkar porandakan rambutnya yang keriting.
Tahun 80-an hingga awal tahun 90-an,di Makassar belum terlalu banyak kendaraan penumpang umum seperti Taxi, atau Bentor, sehingga becak menjadi salah satu favorit kendaraan tumpangan yang ekonomis. Dan diantara penarik becak yang malang melintang disekitaran sungai walanae, Kacong termasuk salah satu penarik becak senior yang bertahan hingga saat ini ( 08 Mei 2011).
Almarhumah mama saya tercinta merupakan salah seorang pelanggan setia Kacong. Kemanapun almarhumah mama saya pergi, hamper selalu menggunakan jasa penarik becak Kacong untuk mengantarnya.
Di tahun 2000-an, kondisi fisik Kacong semakin menurun termakan usia, matanya yang sebelah kiri sudah tidak bisa digunakan lagi untuk melihat, karena tergerus oleh penyakit katarak. Tenaga dan kemampuannya untuk menarik becak sudah tidak sekuat seperti tahun 80-an. Laju becaknya juga semakin lambat.
Namun demikian, Kacong tetap saja menarik becak, karena hanya itulah satu-satunya mata pencaharian nafkah hidupnya yang bisa ia lakukan.Di usianya yang sudah uzur, Kacong sudah tidak mampu lagi bersaing dengan penarik becak lainnya yang masih muda untuk mencari penumpang. Dan untuk mensiasatinya, Kacong pun hijrah dari poskonya di sungai walanae, pindah masuk bermarkas di sudut “L“ lortus, alias lorong tujuh belas.
Umur Kacong saat ini sudah sekitar 70 tahun. Kacong mulai jadi penarik becak saat usianya sekitar 20-an tahun, sehingga bila dihitung-hitung, Kacong sudah melakukan pengabdian selama 50 tahun-an atau setengah abad,untuk masyrakat sungai walanae dan sekitarnya .
Almarhumah mama saya, semasa hidup hingga saat Sang Khaliq memanggilnya (Desember 2010), cenderung lebih memilih menggunakan jasa penarik becak Kacong bila hendak bepergian, dibandingkan menggunakan penarik becak lainnya di sungai walanae. Meskipun beliau tahu kondisi fisik Kacong yang sudah menurun, dan matanya yang sudah tak sempurna lagi digunakan untuk melihat.
Dua tahun lalu saya pernah bertanya kepada almarhumah mama saya, waktu itu sore hari, sambil duduk di teras rumah. Saat itu beliau minta dipanggilkan Kacong untuk mengantarnya ke toko swalayan Hawa Baru, di jalan Gunung Latimojong, sekitar 1 kilo jaraknya dari rumah.
“Ma, kenapa panggil Kacong ? Kacong itu sudah tidak terlalu kuat, becaknya lambat jalannya dan matanya yang sebelah sudah tidak bias melihat lagi . Apalagi jalur menuju Gunung Latimojong itu adalah jalur padat dan ramai, rawan kecelakaan.”
Almarhumah mama saya menjawab pelan sambil tersenyum..”Justru karena becaknya lambat jalannya, dan matanya hanya satu saja yang bias sempurna melihat, maka saya merasa lebih aman..karena pasti Kacong tidak balap (ngebut) dank arena becaknya berjalan dengan pelan dia bisa lebih hati-hati memperhatikan dan mengawasi kendaraan disekitarnya dengan matanya yang cuma satu bias melihat normal.”
>hw08052011-maribar<
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H