Mengapa Sarsito yang dipercaya? Di samping karena keluarga Mangunkusumo, Sarsito juga seorang insinyur lulusan dari Techniche Hogeschule Delft, Kota Delft, Â Belanda. Sarsito bisa sekolah ke Belanda atas bea siswa dari Mangkunegaran. Mangkunagoro VII memberikan skema bea siswa secara beragam, untuk yang kuliah di Belanda mendapat uang sebesar 1.400 gulden per tahun. Penerima bea siswa wajib mengembalikan uang yang telah diterima dengan cara mengangsur setelah dia bekerja. Dana yang dikembalikan itulah yang digunakan untuk generasi berikutnya bersekolah.
Sepulang dari Belanda, Sarsito tidak sendirian, ia membawa gadis Belanda untuk dinikahi namanya Maria Schavers. Pasangan itu kemudian memiliki momongan 3 anak.
Kakak Sarsito bernama Sarwoko Mangunkusumo adalah Patih (Perdana Menteri) di Mangkunegaran. Karena itu ketika Solosche Radio Vereeniging (SRV) belum memiliki gedung sendiri, Sarsito dengan mudah mendapatkan fasilitas di Pendopo Kepatihan, tempat kakaknya bekerja. Sang kakak tinggal di sebuah bangunan rumah di belakang pendopo Kepatihan (rumah dinas), sedangkan Sarsito tinggal di salah satu kamar di Pendopo. Meskipun Sarwoko dan Sarsito seorang pejabat penting namun kehidupanya jauh dari mewah. Mereka adalah pegawai  yang sederhana.
Sarsito membangun gedung SRV (kini RRI) mulai dari nol, mulai dari membuka lahan kosong di Kestalan, sampai membangun  gedung  yang megah (waktu itu). Sarsito beruntung dalam mempersipkan pembangunan itu ia dibantu oleh keponakanya bernama Ir Sediyatmo, seorang lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng  (kini ITB). Meskip keponakan sendiri tetapi tugas dia hanyalah mempersipkan pembentukan panitia tender. Panitianya adalah kalangan profesional, pemenang tender pun berdasarkan pertimbangan profesional, bukan kerabat Mangkunegaran. Pada awal 1960-an Sediyatmo menemukan konstruksi fondasi bangunan Cakar Ayam yang terkenal itu.
Keterlibatan Sarsito dalam dunia penyiaran dimulai ketika mendampingi Mangkunagoro VII menerima hadiah sebuat pesawat radio, 1927. Ia lalu ditunjuk sebagai Ketua (Direktur) SRV sejak berdirinya stasiun itu (1933-1942). Sebagai Ketua SRV, Sarsito tidak hanya berada di Solo, namun juga membantu SRV cabang Jakarta yang bernama VORO (Vereeniging de Ostersche Radio Oemroep). Kepengurusan Periode I VORO dipimpin oleh Gunari Wiriodinoto, seorang pegawai perusahaan kereta api Belanda. Sedangkan periode kedua dipimpin oleh Abulrahman Saleh, dan periode ke II dipimpin oleh Adang Kadarusman. Abdulrahman Saleh dan Adang Kadarusman kelak tahun 1945 mendirkan RRI. Â
Salah satu pernyataan Sarsito ketika mendirikan SRV 1 April 1933 adalah bahwa SRV akan menyuarakan kebudayaan Timur. Sarsito secara konsisiten menjalankan radio dengan menyuarakan kebudyaan Timur. Ini tidak mengherankan karena dibelakang Sarsito ada budayawan kawakan bernama Mangkunagoro VII. Melalui beberapa tulisanya, Sarsito banyak mengungkap tentang peran Mangkunagoro VII dalam merintis penyiaran di Indonesia. Sebagaimana Gusti Nurul yang mengatakan bahwa dirinya adalah "kelinci percobaan" dari Mangkunagoro VII, Sarsito juga mengatakan bahwa dibalik peran yang dilakukan ada Mangkunagoro VII dibelakangnya.
Sarsito Mangunkusumo juga tercatat sebagai Sekretaris PPRK (Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran), 1937-1942 yaitu sebuah asosiasi radio bangsa Indonesia. Ketua PPRK adalah anggota Volksraad Sutarjo, sedangkan Abdurahman Saleh sebagai anggota pengurus. Asosiasi ini terdiri dari SRV (Solo), VORO (Jakarta), VORL (Bandung), MAVRO (Jogja), Radio Semarang, CIRVO (Surabaya). Dari kota-kota inilah kelak mereka mendirikan RRI tahun 1945. Pada tahun 1942, adik Sarsito bernama Sarsidi Mangunkusumo telah dikirim ke Medan untuk mendirikan sebuah Radio Ketimuran sebagai bagian dari program PPRK. Namun belum selesai tugas dilakukan, keburu Jepang datang menyerang.
Ketika SRV Solo diduki Jepang, 1942, Sarsito tidak ada dikantor. Yang menemui tentara Jepang adalah penyiar muda bernama Maladi. Maladi-pun segera menemui Sarsito ke rumahnya untuk berkonsultasi. Sejak saat itulah Sarsito tidak kembali ke dunia radio, Maladi-lah yang kemudian banyak berperan. Â
Setelah Indonesia merdeka, Mangkunegaran menghadapi sengketa dengan Pemerintah RI soal aset pabrik gula. Sarsito adalah orang yang dituakan di Mangkunegaran, waktu itu. Ia terpaksa berhadapaan dengan Pemerintah Indonesia di pengadilan. Sengketa perdata antara Pemerintah RI dengan Mangkunegaran kemudian meluas tidak hanya soal pabrik gula tetapi juga tanah tanah milik Mangkunegaran di berbagai daerah termasuk di Tawangmangu, salah satu pusat bisnis properti dan pembangkit listrik Mangkunegaran.
Ketika "negara Mangkunegaran" sudah berakhir dan kehilangan ligitimasinya, salah satu cara untuk menyelamatkan aset Mangkunegaran adalah mengalihkan tanah-tanah itu menjadi milik perorangan. Sarsito memiliki peluang besar untuk memindahkan sebagian besar aset Mangkunegaran atas nama dirinya. Namun Sarsto tidak mau melakukan itu karena aset yang luasnya setara dengan satu kabupaten itu bukan miliknya pribadi. Akibatnya hampir seluruh aset Mangkunegaran kemudian beralih menjadi aset milik Pemerintah RI. Akibatnya rumah Sarsito di Tawangmangu juga beralih menjadi milik Pemerintah RI. Sarsito akhirnya harus membeli rumah yang dimilikinya dulu.Â
Dulu ketika SRV menghadapi kesulitan alat pemancar, Sarsito bisa mengadukan ke Mangkunagoro VII; dulu ketika SRV tidak punya tanah untuk membangun gedung, Sarsito mengadu ke Mangkunagoro VII; Â tapi setelah Indonesia merdeka dan dirinya dibelit kasus hukum, Sarsito tidak bisa mengadukan lagi karena Mangkunagoro VII telah mangkat, 1944.