Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Raden Patah dan "Kader Darah" Pilpres

18 Agustus 2018   11:56 Diperbarui: 18 Agustus 2018   12:29 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           Oleh: Hari Wiryawan

Penobatan Raden Patah sebagai sultan pertama (1500-1518) Kesultanan Demak bukanlah sesuatu  yang kebetulan. Para wali yang mendaulat Raden Patah untuk memimpin kerajaan Islam pertama di tanah Jawa itu sudah menghitung dengan matang manfaat dan mudharatnya. 

Waktu itu memang belum ada lembaga survey untuk mengukur "elektabilitas" Raden Patah di mata rakyat, tapi mata batin para wali cukup tajam untuk menaksir aspirasi arus bawah bahwa Raden Patah adalah pilihan yang tepat. Paling tidak, tidak ada orang yang  mampu menandingi Raden Patah sebagai raja baru itu.

Mengapa para wali rela hanya sebagai king maker saja dan tidak mengangkat salah seorang dari mereka sendiri untuk menjadi raja Islam di Jawa? Bukankah para wali adalah kaum cerdik pandai yang lebih paham soal Islam, politik dan sosial budaya masyarakat Jawa? dan seorang ulama tidak dilarang menjadi raja. 

Dalam pandangan para wali kekuasaan adalah hal yang strategis untuk penyebaran Islam di Nusantara. Apakah para wali takut dengan Majapahit? Tentu Majapahit harus diperhitungkan karena kekuatan Majapahit masih besar meskipun sudah di dera konflik bersenjata internal dan pemberontakan bertubi-tubi.

Namun bukan sekadar kekuatan militer Majapahit yang harus diperhitungkan. Ini masalah legitimasi. Paling tidak ada dua persyaratan yang wajib dipenuhi bagi seorang raja di kerajaan yang akan didirikan itu. Seorang raja dari kerajaan Islam haruslah orang yang beragama Islam, tidak boleh beragama Hindu atau Budha.

Faktanya, banyak warga negara Majapahit di Jawa maupun di luar Jawa yang beragama Islam. Aktifitas Muslim di kerajaan Majapahit juga sudah lazim dilakukan. Jika faktornya adalah "Islam" saja maka banyak orang yang memenuhi syarat untuk memimpin kerajaan baru itu.

Dalam hal melihat unsur keIslaman, para walilah yang memegang otoritas menilai kadar keislaman calon raja yang akan digadang-gadang itu. Ada banyak tokoh yang tingkat  keislamanya mumpuni, termasuk para wali dan orang-orang disekitar wali. Salah satu orang disekitar wali yang dianggap kuat Islamnya adalah seorang santri murid Sunan Ampel yang berdarah Cina dan lahir di Palembang bernama  Raden Jimbun.

Namun para wali menyadari faktor "ke-Islam-an" saja tidak cukup untuk menjadi Sultan di Jawa. Apalagi ini kerajaan Islam pertama, rekayasa sosial politik pertama di Jawa. Islam bukan faktor politik satu-satunya di Jawa. Ada faktor lain yang juga menjadi penentu. Faktor itu adalah "Majapahit" itu sendiri, kekuatan dan kebesaran Majapahit. Pengaruh budaya, pengaruh politik, ekonomi dan pengaruh Majapahit dalam kehidupan sehari hari tidak bisa dipungkiri: Majapahit adalah keniscayaan hidup di tanah Jawa.

Islam sudah dikenal di Majapahit secara luas sejak Hayam Wuruk (1350-1389), bahkan sejak Prabu Jayabaya (1135-1157) di Kediri. Sejumlah bangsawan sudah memeluk Islam, bahkan ada beberapa putra Brawijaya V yang memeluk Islam. Begitu tingginya intensitas kegiatan kaum Muslim di Majapahit sampai-sampai ada yang menduga bahwa Majapahit adalah sebuah Kesultanan Islam. 

Di luar Pulau Jawa juga telah banyak berkembang kerajaan Islam. Tapi kenyataanya Kerajaan Majapahit ini tetap kokoh berdiri sebagai kerajaan Hindu dengan rajanya Brawijaya sebagai penguasa tunggal tetap beragam Hindu/ Budha, tak tergoyahkan oleh Islam. Ini membuktikan kuatnya pengaruh Majapahit di pusat kekuasaan dan dikalangan masyarakat luas di tanah Jawa khususnya.

Karena itu, adalah mustahil mendirikan kerajaan baru, dengan raja baru dan agama baru tanpa unsur Majapahit. Jika kerajaan berdiri tanpa unsur Majapahit maka bisa-bisa negeri itu hanya berdiri seumur jagung saja, mati dengan sendirinya karena rakyat tidak peduli atau menghadapi pemberontakan dari berbagai penjuru. Jika kerajaan baru tadi hanya memiliki unsur Islam, tanpa unsur Majapahit, bisa jadi akan dituduh sebagai agen asing di bumi Nusantara. 

Dengan demikian maka dua unsur itu bagaikan dua sisi mata uang: "unsur Islam" dan "unsur Majapahit" harus menyatu dalam satu sosok. Karena raja adalah penguasa tunggal, raja tidak memiliki wakil. (Kelak dua unsur ini digunakan dalam memilih pasangan pemimpin di Indonesia modern dimana ada unsur Islam dan unsur nasionalis {Majapahit}).

Singkat kata, Raja Islam di tanah Jawa harus memiliki jiwa "kemajapahitan", 24 karat, yang tidak diragukan lagi oleh siapapun. Jika di Indonesia yang modern saat ini untuk mengukur kadar "keindonesiaan" bisa dilihat dari kesetiannya kepada NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal ika dan sebagainya. Maka di zaman itu kadar "kemajapahitan" seorang raja diukur hanya dari satu tolok ukur saja yaitu: darah, trah atau keturunan. 

Dan darah itu harus langsung dari sang Maharaja Majapahit sendiri: Brawijaya. Pada masa tahun-tahun rencana pendirian Kerajaan Demak raja yang berkuasa di Majapahit adalah Bre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V, yang kelak menjadi raja terakhir Majapahit.

Para wali yang ahli  dalam hal agama, ahli dalam startegi dan politik tidak ada satu pun yang merupakan keturunan langsung dari Raja Majapahit Brawijaya. Begitu pula para santri di Giri dan Ampel tidak ada yang berdarah murni Majapahit, kecuali satu nama: Raden Patah atau Fatah. Ini adalah nama Islam yang diberikan kepada mualaf keturunan Cina, Raden Jinbum, santri dan menantu Sunan Ampel.  Unsur keislaman dan kemajapahitan itu akhirnya terjawab dalam sosok kader darah 24 karat, putra kandung Brawijaya V dengan isteri selir berdarah Cina itu: Raden Patah.

Hubungan antara Raden Patah dan ayahnya, Brawijaya V cukup unik. Ketika sang ibunda mengandung Raden Patah, ia diceraikan oleh suaminya, Brawijaya V. Mantan selir itu kemudian menikah lagi dengan seorang Adipati (Gubernur) Palembang bernama Aryo Damar dalam keadaan mengandung Raden Patah. Padahal Aryo Damar adalah putra tertua Brawijaya V.

Masa lalu dan sepak terjang orang tua Raden Patah tidak terlalu penting bagi masyarakat luas dimana sistem feodalisme sangat mengakar. Bahkan etnisitas juga tidak dipersoalkan, Raden Patah bukan orang Jawa tulen, separuh berdarah Cina dan lahir di Palembang. Tak ada tuduhan agen 'aseng'. Bagi para wali yang utama adalah bahwa Raden Patah adalah putra kandung Brawijaya V. Raden Patah memiliki dua unsur utama  yaitu "Islam" dan "Majapahit".

Darah Majapahit penting bagi kultur masyarakat yang feodalistik, agar rakyat memberikan dukungan penuh. Kalangan elit juga akan segan dengan raja Islam itu karena di dalam tubuhnya mengalir darah Brawijaya sang kaisar dari imperium Majapahit. Dalam masyarakat yang feodalistik-paternalistik maka rekayasa para wali adalah wajar dalam menjawab tantangan zaman saat itu. 

Cita-cita mendirikan kerajaan Islam terpenuhi dengan mengurangi resiko konflik militer dengan Majapahit dan menekan pula gejolak konflik horizontal. Salah satu wejangan Sunan Ampel kepada Raden Patah adalah tidak boleh menyerang Majapahit, menyerang Majapahit sama dengan anak durhaka kepada ayahanda.

Kini Indonesia telah merdeka, Majapahit tinggal sejarah. Bayang-bayang Majapahit hanya terlintas dalam pikiran alam orang Indonesia. Unsur Majapahit dalam kepemimpinan Indonesia tinggal semangat persatuan bangsa sebagaimana warisan Sumpah Palapa. 

Hubungan darah dengan Majapahit tidak diperlukan lagi bagi pemimpin Indonesia. Kita adalah negara dan bangsa merdeka yang menjunjung tinggi demokrasi. Semua warga negara memiliki hak yang sama. Untuk menjadi pemimpin tidak perlu berdarah bangsawan. Namun ditengah reformasi dan demokrasi kini muncul bibit-bibit politik dinasti yang mengagungkan "kader darah".

Dalam Pilpres 2019 ada bibit-bibit feodalisme muncul kembali. Ada upaya menokohkan seseorang bukan karena kecakapanya tapi karena "kader darah", putra seorang tokoh. Dalam Pilpres 2019 dan Pilkada 2018 dua kader darah muncul namun keduanya tumbang. Mereka adalah AHY dan Puti Guntur. Partai Demokrat memelopori politik dinasti dengan menjagokan AHY sebagai "kader darah" SBY. Sementara dalam Pemilihan Gubernur Jatim 2018, Megawati menjagogakan Puti Guntur, "kader darah" Sukarno.

Pilpres 2024, lima tahun lagi, diperkirakan akan banyak muncul "kader darah". Cikeas tetap akan mengusung AHY, Megawati mungkin menjagokan Puan Maharani, Amien Rais punya Hanafi Rais, keluarga Gus Dur ada Yeni Wahid dan tentu saja Cendana punya  Tomy Suharto.

Dikotomi Presidien dan Wakil Presiden yang sering diasumsikan harus merupakan kombinasi faktor Islam-Nasionalis, atau Sipil-Militer atau Jawa-Luar Jawa, mungkin sudah tidak terlalu relevan untuk tahun 2024. Ada kemungkinan kombinasi itu akan berubah menjadi persilangan antar kader darah misalnya antara Trah Sukarno-Trah Suharto, atau Trah Sukarno-Trah Amien Rais, Trah Suharto-Trah SBY, atau Trah Amien Rais-Trah Gus Dur dan seterusnya.     

Para wali memilih Raden Patah karena realitas objetif yang memaksa. Raden Patah  bukan putra salah satu wali. Sunan Ampel atau Sunan Giri atau sunan yang lain tidak  mempromosikan agar anak kandungnya menjadi raja di Demak. Yang dipromosikan adalah putra Brawijaya V, bukan putranya sendiri. Kepentingan umum yang jadi panglima demi ketenteraman masyarakat luas agar tidak terjadi gejolak, bukan kepentingan pribadi orang per orang.

Apa yang kita lihat dalam persiapan pendaftaran Pilpres dan Pilkada amat menarik dalam melihat munculnya fenomena "kader darah". Tidak ada kepentingan umum untuk mendorong AHY menjadi wakil presiden, tidak ada kepentingan bangsa untuk menjadikan AHY menjadi wakil presiden atau Puti sebagai gubernur. Yang ada semata-mata kepentingan atau pertimbangan darah SBY dan trah Sukarno. 

Buktinya setelah AHY atau Puti tidak terpilih tidak ada gejolak sama sekali dimasyarakat luas, tidak ada rasa kecewa di media sosial. Sekadar pembanding, ketika Ahok gagal menjadi Gubernur DKI ada kekecewaan yang meluas di masyarakat, begitu pula ketika Mahmud MD gagal sebagai Capres rasa duka dan kecewa juga tampak di media sosial. Ahok dan Mahmud MD bukan kader darah.

Untuk Pilpres 2024 besar kemungkinan "kader darah" akan makin mengemuka sebagai daya tarik partai untuk merebut kekuasaan. Model relasi politik paternalistik ini mungkin akan berkembang subur di Indonesia hal ini juga didukung oleh kultur politik dan sosial masyarakat kita. Apa yang dilakukan oleh SBY terhadap AHY tidak mendapat kritik sama sekali oleh kalangan internal Partai Demokrat. Artinya, elit politik kita tidak menolak kader darah sebagai bagian dari politik dinasti.

Jika elit politik saja tidak mempermasalahkan politik dinasti, maka rakyat awam akan lebih tidak peduli, bahkan mungkin malah terhibur karena sesuai dengan kultur masyakat Indonesia yang terbiasa dengan ceritera rakyat yang "istana sentris" sebagaimana dalam ceritera wayang atau sinetron di televisi, dimana intrik cinta, tahta dan harta dilakukan oleh para pangeran, putra-putri raja atau kaum elite lainnya. Rivalitas "kader darah" akan lebih menarik sebagai sebuah tontonan "wayang" atau "sinetron" bagi masyarakat awam.

Untuk Pilpres tahun 2024, bukan hanya Partai Demokrat yang akan makin kuat memperjuangkan AHY, tapi hal yang sama diperkirakan juga akan melanda PDIP, PAN, PKB (jika keluarga Gus Dur bisa menguasai) dan Partai Berkarya (jika partai ini masih ada).

Jika ini terjadi maka partai politik yang tidak mempunyai potensi politik dinasti seperti Golkar, PKS dan PPP akan tidak populer di tengah masyarakat. Bagi Gerindra, sebenarnya memiliki potensi untuk masuk kedalam politik dinasti, karena kuatnya pengaruh Prabowo dalam setiap relung partai kepala burung garuda itu, namun masalahnya Prabowo tidak mempersiapkan atau tidak memiliki "kader darah" yang potensial. Sedangkan untuk PKB tergantung hubungan antara Cak Imin dengan keluarga Gus Dur.

Lalu bagaimanakah dengan Jokowi? Akankah Gibran memanfaatkan dirinya sebagai "kader darah" Jokowi? Dalam wawancara empat tahun lalu, ketika ditanya wartawan apakah dirinya tertarik masuk dunia politik? Gibran menjawab: "tidak", namun empat tahun kemudian ketika pertanyaan yang sama diajukan Gibran menjawab: "belum". Mungkin lima tahun lagi jawabanya akan berubah: "sudah".

Ini merupakan tantangan bagi demokrasi di Indonesia untuk masa depan akankah Indonesia menatap masa depan politik Indonesia makin demokratis egaliter atau menuju ke arah demokratis feodalistik. Secara subtansial hal ini justru akan membunuh demokrasi itu sendiri, karena akan menihilkan "kader karir" yaitu kader partai atau anak bangsa yang berpotensi namun bukan keturunan siapa-siapa. 

Jika fenomena kader darah itu benar-benar terjadi maka kita akan sulit menemukan kembali seorang SBY atau seorang Jokowi. Keduanya bukan keturunan siapa-siapa tapi bisa menjadi Presiden RI yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis dan konsititusional. (Wir).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun