Oleh: Hari Wiryawan
Penobatan Raden Patah sebagai sultan pertama (1500-1518) Kesultanan Demak bukanlah sesuatu  yang kebetulan. Para wali yang mendaulat Raden Patah untuk memimpin kerajaan Islam pertama di tanah Jawa itu sudah menghitung dengan matang manfaat dan mudharatnya.Â
Waktu itu memang belum ada lembaga survey untuk mengukur "elektabilitas" Raden Patah di mata rakyat, tapi mata batin para wali cukup tajam untuk menaksir aspirasi arus bawah bahwa Raden Patah adalah pilihan yang tepat. Paling tidak, tidak ada orang yang  mampu menandingi Raden Patah sebagai raja baru itu.
Mengapa para wali rela hanya sebagai king maker saja dan tidak mengangkat salah seorang dari mereka sendiri untuk menjadi raja Islam di Jawa? Bukankah para wali adalah kaum cerdik pandai yang lebih paham soal Islam, politik dan sosial budaya masyarakat Jawa? dan seorang ulama tidak dilarang menjadi raja.Â
Dalam pandangan para wali kekuasaan adalah hal yang strategis untuk penyebaran Islam di Nusantara. Apakah para wali takut dengan Majapahit? Tentu Majapahit harus diperhitungkan karena kekuatan Majapahit masih besar meskipun sudah di dera konflik bersenjata internal dan pemberontakan bertubi-tubi.
Namun bukan sekadar kekuatan militer Majapahit yang harus diperhitungkan. Ini masalah legitimasi. Paling tidak ada dua persyaratan yang wajib dipenuhi bagi seorang raja di kerajaan yang akan didirikan itu. Seorang raja dari kerajaan Islam haruslah orang yang beragama Islam, tidak boleh beragama Hindu atau Budha.
Faktanya, banyak warga negara Majapahit di Jawa maupun di luar Jawa yang beragama Islam. Aktifitas Muslim di kerajaan Majapahit juga sudah lazim dilakukan. Jika faktornya adalah "Islam" saja maka banyak orang yang memenuhi syarat untuk memimpin kerajaan baru itu.
Dalam hal melihat unsur keIslaman, para walilah yang memegang otoritas menilai kadar keislaman calon raja yang akan digadang-gadang itu. Ada banyak tokoh yang tingkat  keislamanya mumpuni, termasuk para wali dan orang-orang disekitar wali. Salah satu orang disekitar wali yang dianggap kuat Islamnya adalah seorang santri murid Sunan Ampel yang berdarah Cina dan lahir di Palembang bernama  Raden Jimbun.
Namun para wali menyadari faktor "ke-Islam-an" saja tidak cukup untuk menjadi Sultan di Jawa. Apalagi ini kerajaan Islam pertama, rekayasa sosial politik pertama di Jawa. Islam bukan faktor politik satu-satunya di Jawa. Ada faktor lain yang juga menjadi penentu. Faktor itu adalah "Majapahit" itu sendiri, kekuatan dan kebesaran Majapahit. Pengaruh budaya, pengaruh politik, ekonomi dan pengaruh Majapahit dalam kehidupan sehari hari tidak bisa dipungkiri: Majapahit adalah keniscayaan hidup di tanah Jawa.
Islam sudah dikenal di Majapahit secara luas sejak Hayam Wuruk (1350-1389), bahkan sejak Prabu Jayabaya (1135-1157) di Kediri. Sejumlah bangsawan sudah memeluk Islam, bahkan ada beberapa putra Brawijaya V yang memeluk Islam. Begitu tingginya intensitas kegiatan kaum Muslim di Majapahit sampai-sampai ada yang menduga bahwa Majapahit adalah sebuah Kesultanan Islam.Â
Di luar Pulau Jawa juga telah banyak berkembang kerajaan Islam. Tapi kenyataanya Kerajaan Majapahit ini tetap kokoh berdiri sebagai kerajaan Hindu dengan rajanya Brawijaya sebagai penguasa tunggal tetap beragam Hindu/ Budha, tak tergoyahkan oleh Islam. Ini membuktikan kuatnya pengaruh Majapahit di pusat kekuasaan dan dikalangan masyarakat luas di tanah Jawa khususnya.