Mohon tunggu...
Harits Alam Maulana
Harits Alam Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biology

Manusia yang mencintai alam sepenuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Fly The Pandemic Away

15 Juli 2021   13:47 Diperbarui: 15 Juli 2021   14:09 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Aulia Romadhona Effendi

Paralayang, satu kata yang memberikan percikan asa bagi kami. Seperti banyak manusia  lainnya, kami hanya manusia-manusia yang penasaran akan alam semesta. Beruntungnya,  rasa penasaran tersebut dapat sedikit diobati dengan kegiatan paralayang yang kami jalani  dengan Mapagama sebagai jembatannya. Kami---Dhona, Joanna, Carina, Harits, dan  Hanggara selaku tim gladimadya paralayang yang mengantongi mimpi untuk terbang di  Banda Neira, bersama Fauzi, teman kami dari divisi paralayang Mapagama, berangkat ke  Bogor pada Agustus 2020.  

Maret 2020, kami latihan paralayang untuk pertama kalinya, kami latihan membuka parasut  sebagai persiapan untuk take off paralayang---atau biasa disebut ground handling---di Jogja.  Pertengahan Maret 2020, pandemi Covid-19 meledak di Indonesia yang kemudian  mengharuskan kami karantina mandiri di kediaman masing-masing. Setelah tertunda  beberapa bulan, Agustus 2020 kami bersama berangkat ke Puncak, Bogor, Jawa Barat setelah  menyamakan agenda dengan Mas Get selaku instruktur kami. Saat itu, aku (Dhona) diberi  amanah sebagai kepala divisi paralayang di Mapagama. Dengan Carina, Harits, dan Fauzi  yang baru pertama kali akan terbang paralayang, aku merasa seperti mengantarkan anak anakku pergi sekolah, rasanya campur aduk! 

dokpri
dokpri
Kegiatan latihan bagi divisi paralayang di Mapagama memang tidak seperti kegiatan divisi  lainnya. Kami tidak mendirikan tenda, tidak memasak dengan kompor portable dan mesting,  dan tidak pula tinggal di alam bebas, melainkan kami tinggal bersama di satu rumah---yakni  sekretariat klub paralayang Merapi yang dikelola oleh Mas Get. Lokasi sekretariat Merapi  ada di area pintu masuk menuju tempat take off paralayang di Puncak, yang sangat  memudahkan mobilitas kami ketika terbang. 

Latihan paralayang kami di Puncak, Bogor tentunya meliputi ground handling yang diselingi  dengan teori mengenai alat-alat yang digunakan dalam kegiatan paralayang, aerodinamika,  airmanship, cuaca, dan segala hal lain terkait paralayang. Selain membagi materi mengenai  paralayang dalam bentuk pdf maupun buku, Mas Get lebih suka mengisi cawan ilmu kami  dengan cara bercerita dan evaluasi kegiatan di sela istirahat kami. 

Carina dan Harits---serta  Fauzi tentunya---memiliki target untuk melaksanakan first jump atau penerbangan solo  pertama mereka pada kegiatan kami kali ini. Sedangkan aku dan Joanna yang telah  mendapatkan sertifikasi pilot paralayang sebagai novice pilot atau PL1, bertugas untuk  mendampingi teman-teman yang hendak terbang untuk pertama kalinya dan ikut berproses  dalam kegiatan manajemen. 

Hanggara selaku pendamping teknis dalam tim kami juga ikut  berpartisipasi untuk memberikan evaluasi dan mengontrol kegiatan kami, khususnya dalam  bidang teknis. Sayangnya, Mas Mike, pendamping manajemen tim kami tidak dapat turut  hadir karena kesibukan akademiknya.  

Mas Get, instruktur paralayang kami
Mas Get, instruktur paralayang kami

Suhu di Puncak memang dingin, namun terik mataharinya begitu menyengat, dan cukup  membakar kulit kami yang latihan ground handling dari pagi hingga sore. Setelah beberapa  hari latihan take off dengan metode alpine launch dan reverse launch, tahap selanjutnya ialah  latihan terbang dari Bukit 10, yakni bukit di area landing dengan ketinggian sekitar 15 meter  yang cukup untuk latihan take off, kontrol parasut selama beberapa detik, dan landing. Perjuangan kami makin terasa disini. Selain kulit yang menggelap, luka-luka dan lebam-

lebam juga kami bawa pulang pasca latihan. Herannya, hal-hal tersebut tidak membuat kami  malas untuk latihan, justru rasa penasaran mengenai paralayang makin menggebu. Well, a  smooth sea never made a skilled sailor, right? 

Sebagai kadiv waktu itu, melihat perjuangan teman-teman dari mulai ground handling, jatuh  bangun di Bukit 10, hingga akhirnya dapat terbang dari Bukit 250, perasaanku begitu campur  aduk, tentunya dengan rasa bahagia, haru, dan bangga yang mendominasi. Mungkin rasanya  

mirip dengan ibu yang mengantar anaknya untuk tampil menari di suatu pentas di sekolah,  ya? Entahlah. Tapi yang jelas, aku tidak pernah sebangga dan sebahagia ini melihat orang  lain terbang paralayang. 

Perjalanan kami berlanjut dengan try out kedua yang kami laksanakan di Tulungagung pada  September 2020. Sayangnya, dari tim kami hanya aku dan Harits saja yang berangkat karena  Carina dan Joanna tidak mendapatkan izin orang tua untuk keluar kota. 

Harits pun belum  mendapatkan izin dari Mas Get untuk terbang disana, jadi ia hanya ground handling di  sekitaran pantai saja. Kegiatan kami bertempat di area Pantai Gemah yang digunakan untuk  landing, dengan take off dari bukit di dekat pantai, yang kemudian dinamakan atam karena  memang berada di atas tambak. Angin berhembus dari arah laut dengan cukup kencang.  

Terbiasa dengan angin pegunungan di Puncak, aku perlu beberapa kali terbang untuk  membiasakan diri. Tulungagung dipilih sebagai lokasi try out kedua dan assessment kami  karena di Banda Neira nanti karakteristik anginnya akan jauh lebih mirip di Tulungagung  daripada di Puncak. Sebenarnya ada tempat take off lain di Tulungagung, yakni di bukit yang  jauh lebih tinggi dan jauh dari area landing bernama tumpak marji, namun saat itu tim merasa  belum perlu melakukan penerbangan dari tumpak marji, ditambah akses yang masih sulit  kesana. 

Selama kegiatan try out dan assessment kami di Tulungagung, kami banyak dibantu oleh  Raju Andika, salah satu pegiat paralayang di Tulungagung. Kami kenal dengan Raju karena  ia murid Mas Get juga, dan ia aktif mengembangkan klub Mahesa Paragliding di Tulungagung. Raju sudah lama tinggal di Tulungagung, keluarganya pun menyambut kami  dengan sangat baik. 

Kami bahkan sempat tinggal di rumah nenek Raju, dan ibu Raju selalu  menghidangkan masakan terbaik dari hasil laut Tulungagung. Sayangnya, kami hanya  berkegiatan disana selama 5 hari saat try out kedua dan 3 hari saat assessment. Namun, hanya  dengan beberapa hari tersebut, kami sudah akrab bagaikan keluarga. 

Setelah kegiatan assessment di Tulungagung usai, tim kembali menghadapi berbagai  tantangan, terutama mengenai keberangkatan ke Banda Neira. Melalui diskusi yang panjang  serta setelah berkonsultasi dan koordinasi dengan banyak pihak, tim kami memutuskan untuk  melaksanakan kegiatan kami hingga lapangan assessment dan pengabdian saja. Namun,  mimpi ke Banda Neira tetap kami kantongi dalam kegiatan lain, dengan tetap membawa  nama divisi paralayang Mapagama. 

Karena sebelumnya dalam try out kedua dan assessment di Tulungagung hanya aku dan  Harits yang berangkat, dan hanya aku yang mengikuti assessment teknis dan manajemen,  akhirnya pada April 2021 tim memutuskan untuk kembali berkegiatan di Puncak, Bogor  yakni try out, pengabdian, dan assessment. Kegiatan ini menjadi puncak dari kegiatan tim  gladimadya Banda Neira. Beruntungnya, Joanna dan Hanggara dapat berpartisipasi dalam  kegiatan kali ini. Sayangnya, Carina dan Mas Mike masih harus absen karena agenda  akademik yang tidak dapat ditinggalkan.

Agenda try out kedua kami di Puncak masih kurang lebih sama seperti try out sebelumnya,  hanya saja try out kali ini memiliki target yang berbeda. Harits saat ini berfokus untuk  menambah jam terbang guna mengejar sertifikasi PL1, sedangkan aku, Joanna, dan Hanggara  masih memiliki peranan yang kurang lebih sama dengan try out pertama. Try out kedua kami  di Puncak terasa jauh lebih tertata dan nyaman, karena sudah banyak evaluasi dari try out  pertama kemarin. 

Anggota tim juga telah saling mengenal satu sama lain lebih jauh, jadi  untuk komunikasi pun lebih mudah. Walaupun Carina absen, tim kami menyesuaikan dengan  membagi tugas. Tak lupa, ada briefing dan evaluasi yang rutin kami lakukan sebelum dan  sesudah kegiatan untuk saling kontrol dan mempermudah kegiatan kami ketika di lapangan. 

Kegiatan kami di Puncak kali ini spesial, karena bertepatan dengan bulan Ramadan bagi para  muslim, yang sekaligus menjadi tantangan baru bagi tim karena kami semua belum pernah  ada yang berkegiatan paralayang sembari berpuasa. 

Syukurlah, kegiatan kami tetap lancar  walau tanpa makan dan minum di siang hari. Sekretariat Merapi juga jauh lebih ramai  daripada biasanya karena banyak rekan dari klub Merapi dan kawan mahasiswa dari Mapala  UI. Kami saling membantu dalam hal teknis penerbangan paralayang, dan mengenai hal  kerumahtanggaan seperti memasak, serta kebersihan sekretariat. 

Kegiatan try out kami akhiri dengan kegiatan pengabdian. Kelas mendongeng ialah kegiatan  yang kami pilih sebagai bentuk pengabdian tim kami kepada masyarakat. Bekerja sama  dengan terminal hujan, kami mengikuti kegiatan mereka di daerah Terminal Baranangsiang, Bogor. 

Terminal hujan sendiri ialah gerakan sosial independen yang berfokus pada  pendidikan dan pemberdayaan ekonomi, kegiatan mereka dimotori oleh para volunteer seumuran kami yang melaksanakan kegiatan selama bulan Ramadan pada hari minggu sore di  bangunan KUA. 

Selain membacakan dongeng dengan alat bantu boneka jari kepada anak anak kelas 1-3 SD, kami membantu anak-anak untuk membuat boneka jari mereka sendiri  dan membimbing mereka untuk mendongeng. 

Sore itu makin meriah dengan permainan  kecil-kecilan kami dengan hadiah alat tulis, walaupun kami memang memberikan alat tulis  sebagai souvenir untuk semua anak yang datang sore itu. Kegiatan ditutup dengan pemberian  plakat sebagai tanda kenang-kenangan ke terminal hujan dan buku-buku untuk tambahan  bacaan di perpustakaan terminal hujan. 

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Selepas pengabdian, aku kembali ke Tasikmalaya untuk melanjutkan pelatihan terbang  layang dalam rangka PON 2021 mendatang. Joanna, Hanggara, dan Harits kembali ke  sekretariat Merapi di Puncak dan melanjutkan kegiatan dengan beberapa hari penerbangan  kemudian assessment di site paralayang Bakas, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat. Namun, Harits  mengalami kecelakaan saat penerbangan yang menyebabkan patah tulang di tangan  kanannya. Setelah mengantarkan Harits ke Tegal sesuai keinginan orang tua Harits, Joanna  dan Hanggara melaksanakan assessment di Bakas seperti yang sudah direncanakan.  

Tim gladimadya paralayang Banda Neira telah berproses selama lebih dari satu tahun.  Tersandung pandemi Covid-19, banyak hal yang menghambat mimpi kami. Bukanlah hal  yang mudah untuk menyatukan banyak kepala dengan pemikiran dan mimpi masing-masing.  Terlebih di tengah pandemi, komunikasi adalah salah satu pemantik masalah sehari-hari.  Selama lebih dari satu tahun, suka dan duka telah terlewati bersama. 

Terima kasih telah berproses bersama, jangan lupa safe flight and happy landing!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun