Hujan rintik-rintik membasahi jalan setapak menuju gereja tua Paroki X. Lukas berdiri di depan pintu utama, memandang altar yang kosong dari kejauhan. Di sana, kenangan-kenangan masa lalu berkelebat: tawa adik-adik misdinar, langkah teratur menuju altar, dan lantunan doa yang khusyuk. Tetapi kini, semua itu terasa jauh.
"Lukas? Apa yang kamu lakukan di sini?" suara lembut namun ragu membuyarkan lamunannya. Pastor Rafael berdiri di belakangnya, membawa payung kecil yang hampir tidak melindungi bahunya dari hujan.
"Hanya melihat-lihat, Pastor," jawab Lukas, tersenyum tipis.
"Masuklah. Kita bicara di dalam."
Di ruang tamu pastoran yang sederhana, Lukas menceritakan kekhawatirannya.
"Organisasi ini berbeda sekarang, Pastor. Kekhusyukan hilang. Adik-adik tidak lagi memahami makna pelayanan. Tapi, setiap kali saya mencoba membantu, saya merasa seperti orang asing."
Pastor Rafael menghela napas panjang. "Saya tahu, Lukas. Saya juga merasakan itu. Tapi masalahnya, para pengurus saat ini -- terutama mereka yang senior seperti Tante Margaretha dan Pak Yosef -- merasa tidak nyaman jika ada perubahan besar."
"Jadi, apa yang bisa kita lakukan?" tanya Lukas, nada suaranya mulai menunjukkan ketegangan.
"Saya punya ide," kata Pastor Rafael, matanya menatap Lukas dengan penuh keyakinan. "Bagaimana jika kita buat program pelatihan khusus? Pelatihan ini akan memulihkan tata gerak liturgi dan kedisiplinan yang dulu pernah kamu tanamkan. Kamu bisa terlibat secara informal, tanpa jabatan resmi. Dengan begitu, kita tidak terlalu menarik perhatian."
Lukas tersenyum samar. "Itu ide yang bagus. Tapi, apakah pengurus saat ini akan setuju?"