Mohon tunggu...
HARIS ZAKY MUBARAK
HARIS ZAKY MUBARAK Mohon Tunggu... -

Sejarawan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembangkan Pemikiran Negarawan Indonesia Sejati

28 Januari 2012   01:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:22 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada saat pemerintahan Soeharto tumbang, rakyat Indonesia seolah memiliki ekspektasi yang besar akan terjadinya perubahan signifikan yang berpihak pada rakyat. Namun kenyataan yang terjadi kekinian menunjukkan bahwa harapan besar tersebut telah berubah haluan menjadi setumpuk kekecewaan yang begitu mendalam. Frustasi mengelayuti masyarakat Indonesia. Kerinduan akan kembalinya masa sebelum reformasi yang ditafsirkan lebih nyaman, aman dan sejahtera kini mulai diorientasikan kembali. Refomasi dan agendanya selama ini ditafsirkan hanya dijalankan oleh dan demi kepentingan segelintir orang.

Sejak reformasi politik 1998, pintu demokrasi telah terbuka lebar. Partisipasi rakyat dalam persoalan politik berlangsung setiap saat. Indonesia pun  terlihat sukses menggelar ritual pemilu dan pemilu kada di berbagaidaerah. Bahkan, Indonesia menerima banyak pujian dari sejumlah Negara dan lembaga internasional sebagai negara yang berhasil menjalankan demokrasi. Namun demikian, dibalik pujian tersebut kita masih menyimpan kebobrokan dalam berbagai persoalan besar di negeri ini yang terus-menerus bermunculan. Belum tuntasnya kasus mafia hukum yang melibatkan aparat penegak hukum dengan penyelesaian kasus yang terlihat semakin berlarut-larut Menggambarkan bahwa setelah lebih dari 10 tahun pelaksanan berdemokrasi rakyat Indonesia tidak terlalu berdampak positif  bagi  peningkatan kualitas rakyat.

Reformasi yang terjadi di Indonesia tampak seperti sebuah reformasi prosedural bukan reformasi substansi. Partisipasi rakyat dalam proses berdemokrasi disalah gunakan sebagai bahan legalisasistatus quo dari pihak- pihak yang berkepentingan. Salah satu perwujudan ideologi politik dalam pemerintahan adalah upaya untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam pemerintahan (Prof. DR. Miftah Thoha, MPA,  Birokrasi Politik Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2003, hlm. 86). Reformasi pun kemudian diimplementasikan secara setengah-setengah tanpa ada satu arahan yang jelas.

Hal ini terjadi sebagai akibat maraknya ragam konflik kepentingan antar kelompok yang semakin menjadi-jadi, dimana setiap elemen bangsa berupaya menunjukkan eksistensinya. Agenda reformasi yang semestinya dijalankan secara intens justru terdesak oleh isu-isu hangat yang sebenarnya tidak menyentuh substansi permasalahan bangsa dan memunculkan fanatisme sempit. Yang lebih ironis lagi saat ini, demokrasi kita sekarang ini lebih banyak menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang buruk. Mereka tidak memiliki kompetensi yang memadai dan dapat dibanggakan.

Demokrasi sepertinya hanya menjadi sarana formalitas kekuasaan rezim dari waktu ke waktu, bukan sarana untuk memperbarui kontrak sosial. Demokrasi kita hanya berkualitas dalam prosedurnya, namun sangat buruk dalam substansinya. Pada gilirannya, demokrasi yang seharusnya menjadi fondasi terciptanya tata pemerintahan yang baik (good governance), pada kenyataannya justru mengarah pada pembentukkan pemerintahan yang buruk (bad governance).


Menarik untuk kita telaah. Menyikapi hal ini sebenarnya bukan demokrasinya yang salah, namun memang ada yang salah dalam cara kita berdemokrasi. Dalam demokrasi, tata pemerintahan dijalankan dengan terbuka, kompetitif, dan bebas. Namun, bagaimana cara menjalankannya akan menentukan apakah secara substansi kita sudah demokratis, atau baru sekadar secara prosedural menasbihkan diri sebagai orang yang demokratis. Demokrasi seringkali kita maknai sebagai tujuan, bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah sarana maka demokrasi adalah sistem yang tidak sempurna, yang butuh penyempurnaan dari waktu ke waktu. Jika demokrasi, dengan pengertian sebagai praktik politik yang terbuka, kompetitif, dan bebas dianggap sudah mencapai tujuan, maka tujuan hakiki dari demokrasi akan terabaikan. Banyak yang lupa bahwa tujuan demokrasi yang sebenarnya adalah terciptanya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.

Demokrasi wajib menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, maka setiap warga negara memiliki hak untuk dapat memilih dan dipilih, sepanjang memenuhi persyaratan di mata hukum. Disinilah yang kemudian dapat memunculkan sisi gelap dari suatu demokrasi dikarenakan bahwa setiap orang dapat memilih dan dipilih. Plato sendiri sekitar 6 abad SM, menyebutkan hal ini dengan namatimocracy, yaitu demokrasi yang dilaksanakan di tengah masyarakat korup sehingga secara tidak langsung akan membentuk pemerintahan yang korup pula Relevansi dengan yang dikatakan plato, kondisi demokrasi di Indonesia kekinian sebenarnya berpotensi besar untuk memunculkan yang disebut mobocracy yaitu demokrasi yang dilaksanakan oleh masyarakat yang bodoh, tak berpendidikan, memiliki akhlak buruk, mudah disuap, dan cenderung menyukai kemaksiatan.


Masih maraknya tata kelakuan berdemokrasi yang mengabaikan moralitas hukum. Tervisualisasi jelas dalam praktik pemilu kita seperti kekinian, dimana hingga saat ini lebih didominasi oleh manipulasi simbol demokrasi berupa praktik politik hegemoni, perpanjangan kekuasaan, dan kompetisi uang (money racing) dan masih banyaknya masyarakat kita yang belum optimal menggunakan daya kritis dan nalar kita untuk menilai ukuran kepantasan dan kepatutan seorang calon anggota legislatif dan kepala daerah. Mereka dengan mudah dibutakan mata hatinya hanya dengan lembaran rupiah, sedikit sekali partai politik yang peduli memberikan sebuah pencerahan pendidikan politik kepada masyarakat. Bahkan, parpol dan elite politik seolah dengan sengaja memanfaatkan keterbelakangan masyarakat seperti ini untuk melanggengkan niatannya mendapatkan kekuasaannya.

Uang dan popularitas sengaja dijadikan senjata utama untuk memenangkan setiap proses demokrasi. Bila hal ini telah masuk dan memengaruhi politik, maka sesungguhnya orang yang memiliki kekuatan uang kuatlah yang paling berpeluang besar mendapatkan kekuasaan. Dan manakala kekuasaan telah ada di tangannya, ia akan menggunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan lebih banyak uang demi mengabadikan  kekuasaan itu.


Seyogyanya melihat kenyataan ini kita mestinya termotivasi bekerja keras untuk terus-menerus melakukan perbaikan dalam memberikan pendidikan politik guna mencerdaskan dan membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Para intelektual di negeri ini harusnya mengambil peran yang lebih besar  di tengah kelalaian partai politik, yang seharusnya melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Para intelektual mesti menanamkan kepada generasi penerus beragam nilai dasar, seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, humanisme. dan sikap berkualitas lainnya. Bukan sekadar mengejar pencapaian prestasi, karier, dan uang.

Pundi – pundi  substansi demokrasi harus diselamatkan melalui kampanye pro aktif secara terus menerus dengan berbagai macam media yang dapat diakses masyarakat dalam membekali pencerahan pengetahuannya. Demokrasi tidak direduksi  senbatas melalui tahapan pemilu. Lebih dari itu, kita harus menyelamatkan demokrasi kita, agar tidak terperosok ke dalam praktik demokrasi yang salah. Sebab, pemilu dapat menjadi pintu masuk yang lebar bagi orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dan pemahaman yang baik akan demokrasi.

Perlu dipahami pula secara komprehen bahwa pemilu tidak dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi, pemilu lebih sebatas wadah dalam membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses yang sesungguhnya terletak pada berfungsinya mekanisme keseimbangan antara the ruled & the ruler melalui kontrak politik yang terjadi secara langsung dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Apalagi good governance merupakan proses yang tidak pernah berakhir,tidak dapat diidentikkan dengan figur, kelompok, dan atau partai tertentu.


Good governance merupakan komitmen untuk melakukan apa yang disebut pengembangan berkelanjutandalam tata pemerintahan kita, menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat yang mampu mengarahkan pada perubahan-perubahan yang mendasar bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada jaminan kuat bahwa demokrasi niscaya menghasilkan calon-calon pemimpin terbaik, dalam arti berkualitas dan berintegritas. Karena, demokrasi memang tidak didesain untuk menghasilkan para pemimpin yang terjamin keunggulannya, tetapi untuk memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada siapa pun untuk menggunakan hak pilihnya. Jadi, demokrasi prosedural lebih identik dengan personalitas ataupun popularitas daripada kualitas dan integritas para calon pemimpin yang terpilih.

Oleh karenanya tidak mengherankan jika dalam sejumlah kasus, yang muncul adalah orang-orang yang jauh dari gambaran pemimpin ideal. Bukan tidak mungkin mereka yang mendapatkan posisi terhormat itu menghalalkan segala cara, termasuk praktik politik uang.  Kalau di awal saja mereka telah mengeluarkan ongkos politik yang cukup besar demi memuluskan impian meraih kursi atau jabatan publik, tidak  mengherankan jika ke depannya mereka berharap akan mendapatkan ganjaranperjuangan yang besarnya minimal sama dari apa yang telah mereka korbankan, bahkan kalau bisa lebih besar dari itu. Itulah politik kita sekarang ini, yang selalu sarat kepentingan dan kalkulasi dengan topeng pakaian idealis pejuang aspirasi rakyat.

Dalam konteks demikian, terasa penting bagi kita membuat regulasi sangat ketat demi menyeleksi orang-orang yang akan maju menjadi sebagai kontestan politik. Namun, itu pun tak menjamin bahwa orang-orang pilihan itu, kalau nanti sudah menjabat, akan bersih dari praktik politik uang. Sebab, seseo


rang bisa saja baik dan bersih sebelum masuk ke dalam sistem. Namun, begitu ia sudah berada didalam sistem tersebut, cepat atau lambat akan ada godaan yang membuat kepribadiannya berubah dan mengubah kata kesejahteraan rakyat itu menjadi kesengsaraan rakyat.


Beberapa pra kondisi bagi aktif berfungsinya demokrasi yang berkualitas kenyataan sampai sekarang belum terwujud dalam pelaksanaan dan tradisi politik kita, yaitu adanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, DPR, DPD dan DPRD yang berkualitas, partai politik yang modern dan profesional, pemilih yang kritis dan rasional, kelembagaan masyarakat sipil (Non Government Organization) yang modern, konsisten, dan profesional. Kebebasan pers yang bertanggung jawab dan  masyarakat madani (civil society) yang terorganisasi, memiliki daya sinergi yang konstruktif bagi kelanjutan pembangunan Indonesia.

Inilah saatnya memikirkan secara serius bahwa membangun Indonesia yang demokratis bukan sekadar menginstal sistem, struktur, dan perangkat-perangkatnya, tapi juga ide-ide dan nilai-nilainya. Jumlah rakyat di Indonesia sangat banyak dan pluralistik. Itulah ide yang paling mendasar di dalam demokrasi, bahwa rakyat yang sesungguhnya merupakan subjek di negara tersebut dan bukan dijadikan sebagai objek. Karena itulah, rakyat, selaku pemilik kedaulatan negara, mesti menuntut hak-hak politik mereka yang salah satunya adalah turut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara ke depan. Atas dasar itu, seharusnya demokrasi politik yang dijalankan oleh elite politik kita sekarang ini harus selalu diaplikatifkan secara akomodatif dan terbuka. Itulah dinamika demokrasi, yang di dalamnya terkandung mekanisme untuk mereformasi dirinya terus-menerus.

Sejak reformasi, sebenarnya masyarakat kita memang tengah mengalami perubahan radikal. Reformasi telah mengantarkan bangsa kita ini pada tatanan dunia baru yang sama sekali terbuka dan liberal ditengah sebuah arus yang disebut globalisasi. Globalisasi tidak hanya merubah kecendrungan pandangan hidup satu bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, tetapi juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya dunia (world culture). Hal itu berimbas kepada perlawanan yang terjadi ditanah air kita karena ketika itu dimunculkan dalam ruang publik yang terlalu bebas mengakibatkan terjadinya kekacauan konstelasi politik di tingkat elite. Memunculkan perseteruan nasional yang  pada akhirnya melahirkan konflik antar elite politik.

Untuk itu, perlu ada kesadaran moral tinggi dari kita sekarang ini untuk segera berbenah menyelesaikan lanjutan agenda reformasi kita. Begitu banyak permasalahan yang faktanyamenimbulkan berbagai konsekuensi pelik, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa, yang justru melahirkan sebuah masyarakat baru dengan penuh penghayatan dan kesadaran berbangsa yang lain pula.


Nasionalisme ke Indonesiaan kita sepertinya sedang digantikan oleh sebuah nasionalisme baru yang bercorak tren demokrasi. Contohnya saja kekinian, setiap individu lebih memilih berperan dengan memakai penafsirnya sendiri dengan mengembangkan konsep demokrasi yang ditafsirnya  secara sembarang.


Oleh karenanya, keinginan untuk kembali mengembangkan sekaligus menegakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Negarawan Indonesia sejati seperti masanya Bung Karno ataupun Idham Chalid pada hakikatnya adalah cara yang paling baik untuk menjaga kohesivitas dan keutuhan bangsa, sekaligus sebagai acuan langkah bijak bagi kita sekarang ini untuk mengaplikasikan mekanisme berdemokrasi yang baik.

Bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan dalam keterikatan sebagai comradeship, persaudaraan yang horizontal dan mendalam. Ia lahir bukan ditentukan atas dasar ras, agama, ataupun daerah, tetapi lebih merujuk kepada persaudaraan dan cita - cita bersama dalam sebuah komunitas yang bernama negara, sebagai tanah harapan yang melahirkan beragam pembangunan demi kebutuhan rakyatnya.

Pengembangan semangat dan prinsip-prinsip negarawan Indonesia sejati inilah yang wajib kita tegakkan, karena selain kohesivitas dan keutuhan bangsa kita akan terjaga, pelaksanaan dari prinsip-prinsip itu akan mewujudkan kesejahteraan publik, yang merupakan sebuah tujuan hakiki negara.

Oleh karenanya pelajaran demokrasi yang kita bangun seperti sekarang ini seharusnya diabdikan untuk menegakkan prinsip-prinsip pembangunan Nasional dan diaktualisasikan dalam pola pikir Negarawan Indonesia  yang benar – benar bersinergi untuk membangun negaranya sehingga manfaat demokrasi tidak hanya dinikmati sekelompok golongan. Lihat saja, demokrasi kita sekarang, faktualnya hanya mampu mengontrol masalah politik, akan tetapi tidak terhadap masalah ekonomi sehingga keadilan ekonomi tetap menjadi masalah besar bangsa kita.

Apalagi melihat ancaman laten yang paling membahayakan bagi bangsa Indonesia saat ini yaitu disintegrasi sosial kultural. Gejala memudarnya semangat ke Indonesiaan pasca reformasi yang tumpang tindih dengan sentimen etnisitas adalah gejala yang dapat menunculkan disintegrasi sosiokultural. Bila ini terjadi, tentunya akan mengancam disintegrasi politik; yang selanjutnya, akan mengancam terjadinya disintegrasi bangsa dan akan terjerumus kedalam pelaksanaan pemerintahan yang anarkis dan tidak berdaulat.

Ketika kita bersikap sebagai seorang Negarawan Indonesia sejati sejatinya banyak konsiderasi penting yang mesti kita ambil agar tidak merugikan satu sama lain sehingga harmonisme tetap terpelihara dalam satu masyarakat yang integratif. Pada akhirnya semua itu akan bergerak pada tatanan wilayah implementatif untuk mensinergikan potensi diri dalam pemberdayaan melanjutkan eksistensi pembangunan secara berkelanjutan, sehingga pembangunan bukan hanya dapat dirasakan oleh generasi kita sekarang melainkan dapat pula dirasakan secara berkelanjutan untuk generasi masa depan kita.

Inilah pentingnya kita kembali peduli kepada Pancasila, dengan kembali melaksanakan komitmen-komitmennya, sebagai fundamen dari prinsip-prinsip konstruktif yang benar – benar berguna secara substansi bagi kelanjutan pembangunan Indonesia kedepan.

Selama ini di era reformasi, sejujurnya kita telah kehilangan karakter ke-Indonesiaan kita yang sebenarnya. Reformasi kenyataan hanya menghasilkan identitas eksklusif, yang mengabaikan rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai seorang anak bangsa Indonesia.

Pendahulu kita dengan segala kekurangannya pernah membangun karakter bangsa ini menjadi demikian kuat hingga eksistensi Indonesia dihadapan masyarakat dunia menjadi sangat begitu disegani. Namun, sejak era reformasi citra bangsa yang penuh toleransi, menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan, gotong royong, serta berketuhanan,sepertinya menjadi sesuatu hal yang sangat langka.

Membangun suatu karakter bangsa memang membutuhkan totalitas semangat juang, komitmen tinggi untuk bekerja keras dan ditekuni dengan konsistensi yang tinggi. Namun demikian, mengaplikasikan secara komprehen wawasan demokrasi nasional ke Indonesian kita kedalam agenda reformasi lanjutan secara konsisten, jujur dengan penuh keikhlasan bersama, tentunya kesejahteraan dan peningkatan kualitas rakyat Indonesia yang berkelanjutan bukan menjadi satu hal yang mustahil untuk kita dapatkan. Inilah yang sejatinya diharapkan dari sosok Negarawan Indonesia kekinian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun